Mengikis
Oligarki Ekonomi
Arif Budimanta ; Wakil Ketua Ekonomi dan Industri Nasional
|
KOMPAS,
01 Maret
2018
Terwujudnya keadilan
ekonomi menjadi salah satu fokus kerja dari pemerintah saat ini. Salah satu masalah keadilan ekonomi yang
kita hadapi adalah kuatnya oligarki ekonomi. Oligarki ekonomi adalah suatu
sistem penguasaan aset dan akses terhadap sumberdaya ekonomi yang dikendalikan
oleh sekelompok pelaku ekonomi.
Richard Robison dan Vedi
Hadiz, dalam Reorganising Power: The Politics of Oligarchy in the Age of
Markets (2004) menjelaskan, oligarki adalah sistem kekuasaan yang menekankan
kekuatan sumber daya material sebagai kekuatan utama. Selanjutnya, Jeffrey
Winters, dalam Oligarchy (2011), mengemukakan bahwa penggunaan kekayaan para oligark bertujuan
memperbesar lagi kekayaan mereka.
Mengukur
oligarki
Winters mengajukan konsep
Material Power Index (MPI) sebagai indikator untuk mengukur kadar oligarki di
sebuah negara. MPI dihitung berdasarkan rata-rata aset 40 orang terkaya
dibandingkan rata-rata pendapatan per kapita penduduk. Berdasarkan MPI,
nyatanya oligarki di Indonesia sudah terbilang parah. Nilai MPI Indonesia
tahun 2017 mencapai 584.478. Itu artinya, setiap orang yang masuk daftar 40 orang terkaya di Indonesia memiliki aset
584.478 kali lipat lebih banyak dari rata-rata pendapatan per kapita.
Nilai MPI Indonesia tipis di atas MPI Amerika Serikat
(521.411). Bahkan, dibanding negara-negara Asia lainnya, MPI Indonesia jauh
lebih besar. Kecuali jika dibandingkan dengan Filipina (657.880). Winters
menegaskan, MPI yang tinggi menunjukan kadar oligarki yang kuat setidaknya
dalam bentuk oligarki ekonomi. Dalam hal ini para aktornya tidak terjun
langsung menjadi politisi tetapi memengaruhi pengambil kebijakan melalui
kekayaan mereka dengan tujuan mengamankan dan mengakumulasi kekayaan secara
besar-besaran.
Memang tak banyak kalangan
orang terkaya Indonesia yang terjun langsung dalam politik. Jadi, model
oligarki di sini lebih bernuansa oligarki ekonomi. Namun, ini saja sudah jadi
soal. Sara Hsu (2008) dalam The Effect of Political Regimes on Inequality 1963-2002,
menyatakan, ada pengaruh dari oligarki terhadap ketimpangan. Hasil penelitian
terhadap data time series MPI, pertumbuhan ekonomi, dan ketimpangan (indeks
Gini) oleh Megawati Institute (2017) memperlihatkan, oligarki berpengaruh
signifikan meningkatkan kesenjangan. Lantas, kendati tidak terlalu kuat,
oligarki di Indonesia juga berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi.
Oligarki
Indonesia
Menurut Winters (2011),
oligarki Indonesia memang bersifat ekstraktif, tidak produktif. Mereka bukan
industrialis, karena yang dilakukan hanya mengeruk sumber daya alam sebanyak
mungkin lalu terlibat ‘konsensus” bagi-bagi di antara mereka. Kathy Fogel dalam Oligarchic Family
Control, Social Economic Outcomes, and the Quality of Government (2005)
menulis, oligarki merusak perkembangan institusi ekonomi seperti property
right, perkembangan lembaga finansial, dan keterbukaan akses modal.
Pertumbuhan wira usaha baru terhambat dan persaingan jadi tak sehat.
Ujung-ujungnya, ketimpangan kian
menyolok. Saat ini, ketimpangan ekonomi Indonesia terbilang mencemaskan.
Nilai Indeks Gini berada di level 0.393—lebih tinggi dari posisi di akhir
Orde Baru yang sekitar 0.35 (tahun 1996).
Megawati Institute (2017)
menyatakan laju pertumbuhan kekayaan orang-orang terkaya di Indonesia sepuluh
kali cepat dibandingkan dengan laju pendapatan per kapita. Forbes (2017)
menyatakan total kekayaan 40 orang terkaya di Indonesia adalah 119,7 miliar
dollar AS atau setara Rp1.616 triliun.
Laporan Credit Suise
(2017) menunjukkan 1% penduduk terkaya Indonesia menguasai 45.4% kekayaan
nasional. Data LPS (April 2017) menunjukkan 57,6% total simpanan di perbankan
hanya dikuasai 0,12% masyarakat terkaya. Gini lahan lebih parah lagi: di Jawa
0,72 dan di luar Jawa 0,58 (Policy Brief Epistema Institute, 2016).
Jika ketimpangan ini tak
teratasi, potensi kecemburuan sosial membayangi dan itu dapat menyebabkan
konflik dan kekerasan. Masalahnya, tidak mudah menjinakan oligarki. Selain
bisa memengaruhi para politisi, oligarki juga menciptakan “Wealth Defense
Industry” yang dihuni para pengacara, pelobi, akuntan, humas, dan mungkin
jurnalis atau aktivis. Bahkan krisis tak bisa melenyapkan mereka. Alih-alih
punah, krisis 1998 justru menjadikan oligarki ekonomi di Indonesia kian kuat.
Dalam 10 tahun, laju kekayaan 40 orang terkaya Indonesia melonjak empat kali
lebih besar dari pertumbuhan ekonomi nasional (Megawati Institute, 2017).
Ada
harapan
Namun, kita masih punya
harapan. Sepanjang pemerintahan Presiden Joko Widodo, ketimpangan sejatinya
mulai menurun. Maret 2017, indeks gini berada di posisi 0,393. Maret 2015
angka itu masih berada di posisi 0,408 dan Maret 2016 di level 0,397. Bahkan
menurut Megawati Institute (2017) nilai MPI sebenarnya juga berkurang dari
tahun 2014 (677.451) dan 2016 (584.478). Kita hanya perlu lebih konsern dan
konsisten dalam mengelola fenomena oligarki ekonomi ini.
Penegakan hukum—terutama
untuk kasus korupsi, perpajakan, pencucian uang, dan kejahatan kerah putih
lainnya—harus berkelanjutan. Persaingan usaha harus adil dan berjalan sehat. Belanja negara untuk kegiatan politik dan
kepartaian sebaiknya ditambah guna memangkas ketergantungan kepada kaum kaya
dalam berpolitik. Dalam hal ini, ada baiknya disediakan kuota politik minimal
20 persen bagi kekuatan akar rumput: petani, buruh, pedagang
tradisional—seperti kuota perempuan—sehingga kaum pinggiran bisa memiliki
wakil di parlemen tanpa lewat dompet oligark. Keputusan partai dalam memilih
calon kepala daerah perlu dipikirkan lagi formatnya agar tidak mengundang
oligark turut cawe-cawe.
Jalan
keluar
Di bidang ekonomi banyak
yang bisa dilakukan. Thomas Piketty dalam Capital in the Twenty-First Century
(2014) mengusulkan pajak progresif untuk kelompok kaya dan transfer fiskal
untuk kelompok miskin. Perlu juga meningkatkan kualitas pendidikan dan
pelatihan pekerja. Upah minimum harus memenuhi kebutuhan hidup layak dan
terbayarkan rutin. Hapus diskriminasi dalam pekerjaan serta perkuat serikat
buruh.
Pembangunan infrastruktur
oleh Presiden Joko Widodo bisa mendorong pengurangan ketimpangan. Reforma
agraria dapat mempercepat redistribusi aset dan akses untuk masyarakat bawah serta memperkuat faktor
produksi mereka. Perlu juga mengoptimalkan dana desa, memperkuat UKM, dan
jadikan koperasi sokoguru perekonomian nasional. Berikan pembiayaan murah
bagi UKM dan koperasi.
Birokrasi dan regulasi
harus dibuat sederhana, efektif, dan bersih. Pemerintah juga harus mengatur
ekonomi digital agar tidak memperlebar kesenjangan tetapi untuk memangkas
kendala ekonomi.
Dalam sebuah obrolan dengan
Ilham Habibie, awal 2018, kami menyepakati, oligarki yang menjadi masalah ini
bisa turut diatasi dengan meningkatkan kemudahan berusaha agar ekonomi
berjalan inklusif. Wirausaha di sektor formal diperbanyak dari saat ini yang hanya 1,8% penduduk, kelas menengah
terdidik terus muncul dan menguat, penyerapan tenaga kerja berlangsung
efektif, dalam suatu sistem rantai pasokan usaha yang memiliki corak usaha
bersama antar pelaku usaha besar, menengah kecil.
Jerman bisa menjadi
teladan soal ini. Sergio Grassi dalam Social Market Economy & Qualitative
and Inclusive Growth in Germany (2007), menegaskan, inklusivitas ekonomi di
Jerman—yang menjadikan keadilan social sebagai prinsip utama serta menolak
kapitalisme berlebihan dan kompetisi brutal—berhasil membuat Jerman sebagai
negara ekonomi terkemuka di dunia. Obrolan ini merupakan kelanjutan dari
pertemuan Megawati Soekarnoputeri dan BJ Habibie beberapa pekan sebelumnya.
Selain itu, perlu
diperkuat desentralisasi fiskal—tidak hanya otonomi belanja melainkan juga
penerimaannya. Dengan begitu, pusat pertumbuhan akan menyebar ke seluruh
nusantara. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar