Berhala
Demokrasi Mantra
J Kristiadi ; Peneliti Senior CSIS
|
KOMPAS,
01 Maret
2018
Bongkar pasang tata kelola
kekuasaan negara sejak Indonesia merdeka secara populer disebut Demokrasi
Liberal (1950-an), Demokrasi Terpimpin (1960-an), dan Demokrasi Pancasila
(akhir 1960-an sampai akhir 1990-an). Sementara praktik manajemen kekuasaan
negara pascareformasi belum mempunyai predikat baku.
Banyak kalangan sependapat
praktik demokrasi dewasa ini telah lepas dan bablas nyaris tanpa kendali,
menabrak marka dalil- dalil mulia berbangsa dan bernegara. Demokrasi hanya
terpaku menjadi perangkat ritual politik para elite mendapatkan legitimasi
negara untuk memuaskan hasrat kuasanya.
Proses berdemokrasi
sekadar mantra dan seremoni politik. Hal itu dilakukan dengan mendaraskan
serta menafsirkan rapal dari ayat dan pasal-pasal konstitusi dan regulasi,
seturut dengan naluri interes pribadi, kroni, serta kelompoknya. ”Demokrasi
mantra” adalah lingkaran setan yang dimulai dari niat sesat membuat regulasi
dan mempergunakan aturan yang tumpat dan berjejal dengan transaksi menjadi
tumpuan memproduksi regulasi lagi.
Mereka sadar atau tidak,
proses tersebut menjadikan demokrasi mantra berhala yang siap
memorakporandakan tatanan negara dan bangsa. Dalam jagat pakeliran berhala
semula adalah ksatria, tetapi karena dorongan nafsu amarah dan serakah yang
luar biasa, ia berubah menjadi raksasa, mengubrak-abrik dan merusak tatanan
dunia.
Demikian pula demokrasi
yang sarat dengan nilai-nilai mulia, dapat menjadi berhala karena para elite
politik dirasuki oleh amukan nafsu nikmat kuasa.
Contoh yang paling aktual
dan dramatis yang membikin masyarakat cemas adalah Revisi Undang-Undang Nomor
17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3). Revisi yang semula
hanya terbatas menambah jumlah pimpinan DPR melebar ke mana-mana, terutama
menambah pasal yang oleh banyak kalangan dianggap membunuh demokrasi, yaitu
pasal tentang dugaan merendahkan kehormatan DPR (Pasal 122), kewajiban polisi
membantu memanggil paksa pihak yang tidak memenuhi panggilan DPR (Pasal 73),
dan pertimbangan Majelis Kehormatan Dewan bagi anggota DPR yang diduga
melakukan tindak pidana (Pasal 245).
Tragisnya, munculnya
pasal- pasal tersebut tanpa disertai uji publik dan uji akademik. Padahal, UU
No 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, khususnya Pasal
96 Ayat (1), menegaskan, ”Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan
dan/atau tertulis dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan”. Namun
sayang, ketentuan yang amat bermakna tersebut nyaris hanya menjadi rangkaian
huruf mati tanpa arti. Partisipasi publik sebagai institusi politik yang
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam memberikan legitimasi politik diredam
oleh demokrasi mantra.
Meskipun dilakukan uji
publik, sering kali pemahaman terhadap paradigma dan cakrawala peraturan
perundang-undangan, politik hukum, semakin didominasi oleh debat dan
retorika, bukan dialektika. Dua hal yang sangat berbeda, perdebatan hanya
bertujuan mengalahkan lawan bicara, sedangkan dialektika adalah wacana yang
didasarkan atas rasionalitas untuk menemukan kebaikan bersama, kemuliaan dan
keadilan, serta mengakui sisi positif pendapat lawan politiknya. Dialektika
tidak hanya membenarkan pendapat sendiri.
Peristiwa lain yang
memasygulkan publik adalah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menetapkan
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah bagian dari lembaga eksekutif. Hal
ini bertentangan dengan empat keputusan MK sebelumnya, yakni putusan Nomor
012-016-019/PUU-IV/2006, 19/ PUU-V/2007, 37-39/PUU-VIII/ 2010, dan
5/PUU-2011, sementara empat hakim MK menyatakan beda pendapat (dissenting
opinion). Protes masyarakat atas sanksi ringan Dewan Etik Mahkamah Konstitusi
dan desakan 54 guru besar dari berbagai perguruan tinggi agar Ketua MK
mengundurkan diri sama sekali tidak mempan. Yang bersangkutan tetap tegar di
”singgasananya” (Kompas, 10/2).
Berhala demokrasi mantra
menandai praktik demokrasi di Indonesia mengalami krisis. Fenomena yang
mencemaskan ini, sekitar 50 tahun yang lalu, juga pernah melanda kawasan
Eropa Barat, Amerika, dan Asia (Laporan kepada Komisi Tripartit tentang
Krisis Demokrasi; Michel J Crozier, Samuel P Huntington, dan Joji Watanuki,
The Crisis of Democracy, 1975).
Misalnya, Willy Brandt
mencemaskan demokrasi di Eropa Barat hanya akan bertahan 20 tahun sampai 30
tahun mendatang karena dikepung oleh negara-negara otoritarian. Inggris juga
mengkhawatirkan demokrasi parlementer akan diancam oleh kediktatoran. Mantan
Perdana Menteri Jepang Takeo Miki pada hari pertama menjabat mengatakan kalau
demokrasi Jepang akan kolaps. Sementara di Amerika Serikat terjadi penurunan
kepercayaan publik terhadap pimpinan dan institusi politik, pembusukan sistem
kepartaian, dan sebagainya. Namun, laporan tersebut juga menyebutkan penyebab
krisis adalah karena keberhasilan demokrasi sendiri, antara lain meningkatnya
jumlah kelas menengah yang menuntut kehidupan yang lebih baik.
Di Indonesia, penyebab
utamanya adalah defisitnya wacana tentang gagasan yang mengakibatkan
pendangkalan publik mengenai ide dan cita-cita bangsa. Oleh karena itu,
masyarakat banyak berharap agar pemilu serentak 2019 tidak hanya dijejali
dengan ritual dan mantra politik, tetapi juga sarana konsolidasi nasional dan
medan pendidikan politik bangsa. Dengan demikian, berhala demokrasi mantra
menjadi sirna, digantikan oleh demokrasi yang memuliakan kehidupan bersama. ●
|
Apakah kamu sudah tau prediksi togel mbah jambrong yang jitu? bila belum baca Prediksi jitu mbah jambrong Sgp
BalasHapus