Rabu, 10 Juni 2015

Roh KPK Disandera

Roh KPK Disandera

       Fransisca Ayu Kumalasari   ;   Alumnus Pascasarjana Fakultas Hukum UGM
KORAN JAKARTA, 04 Juni 2015


                                                                                                                                                           
                                                
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bagai berada di ujung tanduk. Pukulan demi pukulan dilancarkan dari berbagai sudut untuk menyudutkan ruang gerak komisi antirasuah ini. Kali ini KPK harus menuai kekalahan untuk yang ketiga kalinya setelah palu hakim praperadilan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Haswandi jatuh dan memerintahkan KPK menghentikan penyidikan terhadap mantan Dirjen Pajak Hadi Poernomo.

Gugatan Hadi dikabulkan dengan kesimpulan bahwa penggeledahan dan penyitaan yang dilakukan KPK terhadap Hadi adalah tidak sah. Tak hanya itu, surat perintah penyidikan penetapan tersangka oleh KPK terhadap Hadi juga dinyatakan tidak sah. Putusan Haswandi ini sungguh di luar dugaan. Sebelumnya, praperadilan juga mengalahkan KPK dalam kasus mantan Wali Kota Makassar Ilham Arief Sirajuddin dan Komisaris Jenderal Budi Gunawan. Dalam kasus Ilham, KPK dinilai tidak memiliki bukti permulaan yang cukup untuk menersengkakan Ilham. Sedangkan dalam kasus Budi, hakim mengatakan, KPK tidak berhak menyelidiki Budi karena Budi bukanlah penyelenggara negara dan bukan penegak hukum.

Meski memiliki kemerdekaan untuk memutuskan, putusan hakim Haswandi mengundang banyak misteri dan pertanyaan. Putusannya untuk menghentikan penyidikan dianggap melampaui substansi perkara yang diajukan Hadi yakni sebatas memohon penghentian penyidikan KPK karena tidak sesuai prosedur. Itu pun permohonan ini sejatinya melanggar Pasal 40 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 yang menyatakan KPK tidak boleh menghentikan penyidikan atas sebuah kasus. Selain itu, dalam putusan praperadilan juga dinyatakan bahwa penyelidikan kasus Hadi tidak sah karena penyelidiknya bukan diangkat dari Polri sehingga dianggap ilegal. Putusan ini tentu saja akan merestriksi kewenangan progresif sebagai salah satu senjata KPK untuk mengusut dan memproses kasus-kasus korupsi yang sangat sistemik dan berjejaring.

Ini tentu saja sebuah distorsi peran yang dimainkan lembaga praperadilan khususnya di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan untuk mencoba merusak irama pemberantasan korupsi yang kini tengah dikomandoi KPK. Padahal sidang praperadilan sudah jelas hanya bertujuan untuk menguji hal-hal yang sifatnya prosedural serta administratif, baik dalam hal penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan. Karenanya, praperadilan tidak dalam domain menilai kebenaran alat bukti, kewenangan atau keabsahan para penyelidik/ penyidik.

Jika Haswandi Effect ini terus dibiarkan, kita khawatir perjalanan hukum di negeri ini akan mati suri karena ada organisme hukum yang seenaknya menafsirkan fakta dan proses hukum berdasarkan kehendak dan kepentingan di luar nalar dan akal sehat. Dikatakan Haswandi Effect karena hakim ini pernah menjadi ketua majelis hakim dalam kasus Anas Urbaningrum dan Andi Mallarangeng. Namun pertanyaannya mengapa Haswandi tidak mempersoalkan prosedur penyidikan kasus keduanya. Padahal kita tahu pada saat itu, proses pemidanaan Anas memperoleh atensi yang luas dari berbagai kalangan baik media maupun praktisi hukum karena dianggap sarat dengan aroma kontroversi atau kental bobot politisnya. Perlakuan hukum yang berbeda ini tentu saja melahirkan kecurigaan.

Kalau saja Mahkamah Konstitusi (MK) tidak menelorkan putusan bernomor 21/PUU-XII/2014 yang berimbas pada perluasan obyek praperadilan dengan menyatakan penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan adalah obyek praperadilan, penulis yakin mungkin nasib KPK tidak “semenderita” sekarang.Dengan Putusan MK itulah kemudian para hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menjadikannya sebagai amunisi legal untuk mengabulkan secara membabibuta permohonan praperadilan yang diajukan oleh para tersangka korupsi. Putusan MK ini seolah menyembelih roh pemberantasan korupsi KPK.

Alarm pemberantasan korupsi

Kekalahan KPK di praperadilan ini harus menjadi alarm bahwa lonceng pemberantasan korupsi di negeri ini memang sedang mendekati ambang kehancuran. Ironisnya itu secara diam-diam didesain oleh para penegak hukum itu sendiri. Padahal KPK adalah jantung yang memompa darah sehat antikorupsi ke seluruh organ negeri ini. Dan jika detak jantung ini terhenti, punahlah kehidupan hukum dan moral negeri ini karena yang didapat sebaliknya adalah aliran darah kotor patologis korupsi.

Kemampuan dan keberanian KPK menyeret orang-orang penting di negeri ini ke bui merupakan sebuah jendela harapan bahwa masih ada kebenaran dan moralitas yang berbicara bagi bangsa ini, setelah sekian lama para pejabat dibiarkan bermandi ria uang kotor oleh sistem kekuasaan yang rapuh dan berbelukar. Lembaga eksekutif, legislatif maupun yudikatif yang dulunya tabuh disentuh oleh penegak hukum konvensional, kini berhasil dibuat gemetar oleh langkah dan lompatan hukum KPK. Keadaan ini harus diakui seperti mencopot selimut tebal di musim dingin bagi musuhmusuh KPK. Eksistensi dan jaringan mutualisme kepentingan mereka yang sudah terbangun lama serasa diguncang oleh militansi lembaga KPK yang dikandung oleh sejarah reformasi 1998. Maka dicarilah lubang-lubang kelemahan KPK agar sebisa mungkin menumpulkan taringnya sehingga kemudian berujunglah pada “proyek” kriminalisasi masif terhadap pimpinan, komisioner maupun para karyawan KPK. Aksi kriminalisasi ini sangat menguras energi bangsa dan ikut pula menyeret wibawa kepresidenan. Implikasinya terus terasa hingga sekarang. Resistensi terhadap KPK tidak saja dilakukan langsung oleh koruptor yang sedang diperiksa, namun juga didesain oleh kekuatan-kekuatan terselubung yang dianggap memiliki power untuk melemahkan dan mengaburkan mekanisme kerja KPK agar tidak bergigi berhadapan dengan koruptor-koruptor raksasa.

Terlalu mahal harga yang dibayar bangsa ini oleh putusan-putusan kerdil para hakim yang seolah ingin kompromi terhadap kebusukan dan kejahatan korupsi. Selain turut andil merusak optimisme bangsa ini untuk bangkit dari kultur korupsi, para pendekar hukum juga akan berhadapan dengan pemilik segala kebenaran yakni Sang Khalik, tempat di mana setiap keputusannya dipertanggungjawabkan.

Harta negara

KPK bagaimanapun adalah harta negara yang perlu dijaga dan dipertahankan eksistensinya. Rakyat pasti akan tetap mendukung kinerjanya sampai titik darah penghabisan, karena mereka sudah telanjur sakit hati dengan koruptor yang tega bersenang-senang di atas penderitaan rakyat. Untuk menunjukkan sikap pantang nyerah-nya, KPK sudah sepantasnya mengajukan perlawanan hukum terhadap putusan praperadilan tersebut lewat kasasi atau peninjauan kembali. Penulis setuju dengan saran mantan penasihat KPK Abdullah Hehamahua agar Undang-undang KPK segera direvisi terkait posisi tegas dan prosedur perekrutan sendiri penyelidik, penyidik, JPU di luar kepolisian dan kejaksaan, sehingga setiap langkah dan keputusan yang diambil kelak memiliki legitimasi yang tidak mudah untuk dipersoalkan di kemudian hari. Untuk tidak memberikan preseden negatif bagi integritas institusi hukum kita, sudah sepantasnya hakim Haswandi diperiksa oleh Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung sebagai bagian dari akuntabilitas lembaga hukum.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar