Kisruh Angka Surplus Beras
M Husein Sawit ; Mantan Ketua Forum Komunikasi Profesor
Riset,
Kementerian
Pertanian
|
KOMPAS, 27 Juni 2015
Pemerintah
berkeyakinan terjadi surplus beras walau pasar memperlihatkan hal yang
sebaliknya. Keyakinan itu telah menimbulkan kekisruhan
antarkementerian/lembaga sehingga
memperlambat keputusan intervensi pasar, ketidakpastian jumlah pengadaan beras dalam negeri dan penumpukan
beras untuk cadangan beras pemerintah (CBP), pernyataan petinggi yang mengharamkan
impor beras. Hal itu mendorong spekulasi dan ekspektasi kenaikan harga beras.
Untuk mengurangi rasa
"malu" atas surplus yang terlalu besar, digunakanlah angka konsumsi
beras 139,15 kilogram/kapita/tahun. Pada 2005, dibuatlah
"kesepakatan" antarlembaga untuk menggunakan angka rata-rata Neraca
Bahan Makanan (NBM) periode 2001-2004.
Padahal, NBM tidak bebas dari jumlah produksi. Walaupun produksi beras
turun menjadi 44,4 juta ton pada 2014, total konsumsi beras hanya 35,1 juta
ton, sehingga surplus mencapai 9,3 juta ton.
Selama tiga tahun
terakhir, Badan Pusat Statistik (BPS) dan Badan Ketahanan Pangan (BKP)
Kementerian Pertanian telah meneliti dengan metodologi cukup bagus dan data
lengkap, mencakup konsumsi beras dalam
dan luar rumah tangga. Diperoleh angka
konsumsi beras per kapita/tahun relatif stabil: 113,72 kg (2012); 114,80 kg
(2013); dan 114,13 kg (2014). Kalau
angka itu dikalikan jumlah penduduk pada tahun yang sama, terungkap surplus
beras 15,4 juta ton (2012); 16,2 juta ton (2013); dan 15,6 juta ton (2014).
Dengan surplus sebesar itu, Indonesia seharusnya telah menjadi negara
eksportir neto beras. Kalau tidak diekspor, harga beras dalam negeri akan
rendah. Namun, yang terjadi sebaliknya, harga beras terus naik, Perum Bulog
mengimpor beras 1,4 juta ton (2012) dan 0,4 juta ton (2014).
Estimasi berlebih
Banyak bukti angka
produksi beras Indonesia overestimate. Pada 1998, BPS membandingkan hasil survei
rumah tangga tentang luas areal panen disandingkan dengan taksiran luas areal
panen dengan metode estimasi pandangan mata (eyes estimation), terungkap luas areal panen overestimate 17,1
persen.
Pada 2000-2001, Badan
Kerja Sama Internasional Jepang (JICA) melakukan survei pada tingkat petani
untuk proyek Agriculture Statistic
Technology Improvement and Training menemukan overestimate produksi gabah di Jawa 13 persen. Sekarang, angka overestimate luas areal panen akan
lebih tinggi lagi, karena pesatnya konversi lahan sawah di Jawa dan luar
Jawa.
Pendekatan lain adalah
membandingkan angka produksi gabah kering giling (GKG) dengan jumlah GKG yang
digiling oleh penggilingan padi (PP) hasil sensus penggilingan padi 2012
(PIPA BPS) dalam periode yang sama. Jumlah produksi GKG (67,3 juta ton) sedangkan jumlah GKG
yang diolah oleh 182.000 unit PP 32,9 juta ton GKG. Padahal, jumlah PP dan
total kapasitas giling terpasang tinggi, terus bertambah, serta kapasitas
telantar tinggi, khususnya penggilingan padi kecil/sederhana (PPK/S) yang
hanya beroperasi 3-4 bulan per tahun.
Pada saat yang sama,
PP menyatakan bahwa kesulitan utama mereka adalah bahan baku gabah,
dikeluhkan oleh 40 persen PP dari total 156.000 unit PP. Kelebihan produksi
GKG perlu dikoreksi dengan jumlah stok akhir GKG yang disimpan
petani/PP/perdagangan gabah/Bulog sebesar 10 juta ton GKG. Namun, produksi
gabah masih tersisa 24,4 juta ton GKG atau overestimate produksi GKG 36 persen.
Mengapa pemerintah
membiarkan penggunaan "data kesepakatan" terus berlanjut dan belum
mengoreksi angka produksi beras? Pada Rapat Koordinasi Terbatas, 14 April
2015, Wakil Presiden Jusuf Kalla juga meminta agar dibentuk tim pemantauan
panen, harga, dan penyerapan gabah/beras untuk mengatasi perbedaan yang
sangat besar data harga gabah/beras yang disampaikan Kementan dan Bulog. Ini
mengingatkan kita kepada pemerintahan Orde Baru, data produksi padi yang
dilaporkan BPS jauh berbeda dengan laporan Kementan. Maka, pada 1973, Widjojo
Nitisastro sebagai Menko Ekuin/Ketua Bappenas meminta agar digabungkan dua
sistem pengumpulan data.
Perhitungan
produktivitas padi dilaksanakan sebagian oleh mantri statistik, sisanya oleh
mantri pertanian dengan menggunakan metodologi yang sama. Hasil estimasinya
dianggap akurat. Urusan taksiran total luas areal panen dilaksanakan
sepenuhnya oleh mantri pertanian, dengan metode pandangan mata. Pendekatan
ini juga digunakan pada tingkat internasional, namun yang ditaksir adalah
perubahan luas areal panen, bukan total luas area panen.
Sebaiknya pemerintah
menghentikan kekisruhan ini agar tidak berlanjut? Pertama, kaji ulang metodologi
dalam estimasi produksi padi, khususnya taksiran luas areal panen. Kedua, sejumlah angka konversi telah usang
perlu diperbarui, antara lain: angka-angka konversi gabah kering panen (GKP)
ke GKG, rendemen giling GKG, galengan, seperti saran Iswadi (Opini, Kompas,
20/3/2014).
Ketiga, percayakan
semua data resmi taksiran produksi gabah/beras pada BPS, bukan oleh
kementerian/lembaga teknis. BPS di samping sebagai lembaga independen, tak
bias kepentingan, serta hasil estimasinya dapat dipertanggungjawabkan secara
ilmiah. Janganlah ada lagi "angka kesepakatan" yang dapat membuat
gaduh berkepanjangan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar