Jalan
Komaruddin Hidayat ; Guru Besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
|
KORAN SINDO, 26 Juni 2015
Yang namanya hidup itu
berarti selalu bergerak. Salah satunya adalah berjalan. Makanya kalau kita
melihat sekeliling, pasti akan ditemukan yang namanya jalan, entah jalan
besar atau kecil, lurus atau berkelok, datar, naik atau turun.
Manusia selalu
bergerak merupakan naluri bawaan. Selalu ingin melihat wilayah yang baru.
Selalu ingin memperluas wawasan dan pengalaman hidupnya. Untuk memfasilitasi
naluri sebagai peziarah ini, diciptakanlah sarana sejak dari sandal, sepatu,
jalan, kendaraan hingga sekian peralatan lain agar perjalanan nyaman.
Tak kalah penting,
manusia juga membangun jembatan. Tidak cukup melalui daratan, manusia juga
berjalan dengan menggunakan jalur lautan dan udara. Lautan dan udara pun
dikavling-kavling untuk lalu lintas kapal dan pesawat udara sehingga
kemacetan tidak saja terjadi di daratan, tetapi sekarang jalan udara di atas
Bandara Soekarno- Hatta Jakarta dan Adisutjipto Yogyakarta juga sering macet.
Pesawat mesti antre untuk takeoff maupun landing.
Ketika perjalanan dan
pengembaraan fisik untuk mengetahui luasnya dunia terhambat secara teknis,
diciptakanlah internet dan teknologi fotografi serta televisi demi memenuhi
dahaga berziarah berlanglang buana. Sekarang, dengan duduk di depan komputer
atau televisi, kita bisa menjangkau dunia yang lebih luas dan warna-warni
meskipun dalam sajian potongan-potongan gambar, rekaman video atau foto.
Orang bilang kita
hidup di era visual age. Meskipun
begitu, dorongan untuk melihat teritori, bukan sekadar peta, tak pernah mati.
Makanya industri motor, mobil, dan pesawat selalu berkembang. Agen-agen
travel pun bermunculan.
Ketika realitas ini
saya kaitkan dengan ajaran Islam, saya menemukan beberapa istilah konseptual
di mana Islam juga sangat menekankan etos gerak. Anda mungkin sangat akrab
dengan istilah-istilah ini yang semuanya memiliki konotasi gerak dan jalan.
Misalnya kata syariah, thariqah,
sabilillah, hijrah, thawaf, madzhab, musafir, ziyarah, sa’i, isra’, mi’raj.
Kata-kata itu semuanya mengandung makna berjalan atau bergerak baik pada
level fisik maupun spiritual, berdimensi horizontal maupun vertikal. Kata
syariah misalnya berasal dari sebuah jalan yang mendekatkan sumber mata air.
Oleh Islam lalu ditransendensikan sebagai jalan menuju kebahagiaan dan
keselamatan dunia-akhirat. Jadi di situ Islam (dan agama pada umumnya)
memberikan dimensi moral spiritual agar aktivitas hidup yang selalu ditandai
dengan gerak itu memiliki tujuan yang lebih bermakna, bukan sekadar mobilitas
fisik tanpa tujuan yang bersifat Ilahi.
Ketika seseorang
memiliki mobil, sebuah pertanyaan moral muncul. Untuk bergerak ke mana dan
untuk tujuan apa seseorang menjalankan mobilnya? Ketika kaki melangkah keluar
rumah, ke mana dan untuk apa tubuh ini hendak dibawa? Semua aktivitas fisik
dan intelektual yang kita lakukan ujungnya mesti mengundang pertanyaan moral,
apa makna dan manfaat apa dari semua itu?
Mengabaikan pertanyaan
moral sama saja menempatkan manusia tak ubahnya seperti hewan atau mesin.
Pasalnya, salah satu dimensi dan misi manusia sebagai moral being adalah
menegakkan nilai-nilai moral dalam kehidupannya di mana pun berada.
Bayangkan saja, di
mana pun pergi kita akan melihat sarana jalan dan teknologi yang mendukung
agenda perjalanan manusia. Mobilitas migrasi manusia semakin bertambah.
Pergerakan manusia terjadi di sekeliling kita dan kita juga menjadi bagian
dari gerak itu. Lagi-lagi, sesungguhnya apa agenda paling primer dari
mobilitas ini semua?
Bagi mereka yang tidak
memiliki tujuan hidup mungkin saja tidak penting bertanya ke mana tubuh ini
mau dibawa. Tidak penting kaki akan berhenti di mana karena tidak memiliki
tujuan. Bisa jadi yang primer adalah avoiding
the pain, menghindari apa pun yang menyakitkan, lalu looking for the pleasure, mengejar apa pun yang dirasakan
menyenangkan.
Dalam konteks ini
semua, hidup itu pun sebuah ziarah. Sebuah perjalanan. Kita tengah menelusuri
lorong waktu yang kadang terasa pengap dan kadang menyegarkan. Kadang terang
dan lain kali remang-remang atau gelap.
Faina tadzhabun? Ke mana engkau hendak pergi, tanya Allah
dalam Alquran. Dalam perjalanan ini jika ditanyakan pada akal, ke mana
ujungnya, tak lain adalah kematian.
Tapi kesadaran moral
dan agama menyatakan bahwa di sana mesti ada jalan dan kehidupan lain
mengingat banyak sekali utang-piutang moral seseorang yang belum lunas
terbayar. Dan sungguh melukai rasa keadilan jika kematian yang menanti di
pengujung jalan ini mengakhiri semua cerita dan drama kehidupan seseorang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar