Membatasi Kewenangan Wakil Presiden
Feri Amsari, ; Dosen Hukum Tata Negara; Peneliti Pusat
Studi Konstitusi (PUSAKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas
|
KORAN TEMPO, 23 Juni 2015
Wakil Presiden Jusuf
Kalla diduga berperan dalam kasus korupsi jual-beli kondensat antara SKK
Migas dan PT Trans Pacific Petrochemical Indotama (TPPI). Dugaan itu terkait
dengan peran Kalla dalam memberi perintah agar proses penjualan kondensat
tersebut terjadi.
Jika dugaan itu benar,
Wapres telah bertindak sebagai penentu arah kebijakan strategis pemerintah.
Melihat kewenangan Wapres yang kuat itu dalam praktek penyelenggaraan negara,
ternyata terdapat dua "tongkat komando" pemerintahan. Lalu
bagaimana jika dua tongkat komando pemerintahan itu menunjuk ke dua arah yang
berbeda?
Dalam praktek sistem
presidensial di Amerika, perintah hanya berasal dari komando tunggal, yaitu
presiden. Posisi wakil presiden dalam sistem presidensial dirancang seperti
fungsi "ban cadangan" jabatan presiden. Apabila konstitusi dan
presiden tidak memberi perintah, wapres sama sekali tidak berwenang
menentukan kebijakan dan/atau bertindak atas nama pemerintah.
Sebagai tempat
lahirnya sistem presidensial, wapres di Amerika hanya bertugas menjalankan
fungsi seremonial semata. Setidaknya terdapat tiga tugas seremonial wapres:
(a) sebagai Ketua Senat yang memimpin sidang kamar tinggi lembaga legislatif
tanpa punya hak suara; (b) mengumumkan pemenang pemilu presiden di hadapan
sidang Senat (DPD) dan House of Representative (DPR); (c) mewakili presiden
dalam acara kenegaraan atas perintah presiden.
Menurut Roger Sherman,
tanpa tugas-tugas seremonial tersebut, wapres tidak memiliki "pekerjaan
lain" (Mark O Hatfield, 1997). Berdasarkan penjelasan mengenai tugas dan
kewenangan wapres di atas, bisa disimpulkan bahwa perannya dalam kehidupan
ketatanegaraan sangat pasif. Wapres hanya menunggu perintah konstitusi dan
presiden. Selebihnya, ia harus "diam". Lalu, apakah posisi wapres
di Indonesia berbeda dengan yang diterapkan sistem presidensial di Amerika?
Menurut ketentuan
Pasal 4 ayat 2 UUD 1945, dalam melakukan kewajibannya, presiden dibantu oleh
seorang wapres. Ketentuan ini mempertegas posisi wapres sebagai pembantu
presiden. Meski sama-sama pembantu presiden, jabatan wapres tidak dapat disejajarkan
dengan menteri dalam kabinet. Sekalipun memiliki kewenangan yang pasif,
wapres berkedudukan lebih tinggi daripada menteri karena ia merupakan
cadangan presiden.
Meski para menteri
kabinet memiliki kewenangan yang terang dalam UUD 1945 dan Undang-Undang
Kementerian Negara, wapres tetap harus dianggap sebagai pemimpin para menteri
yang tidak dapat memberi perintah karena jabatannya hanya bersifat
seremonial. Artinya, sebagai pembantu presiden, wapres adalah pembantu
non-job (tanpa kerja). Itu sebabnya, dalam Bab III Kekuasaan Pemerintahan
Negara UUD 1945, tidak terdapat satu pun pasal yang mengatur kewenangan
wapres. Semua kewenangan berada di tangan presiden.
Wapres juga bukan
pemberi nasihat ataupun masukan kepada presiden. Sebab, berdasarkan Pasal 16
UUD 1945, tugas itu dilaksanakan oleh Dewan Pertimbangan Presiden
(Wantimpres).
Ketentuan-ketentuan
konstitusi di atas mempertegas bahwa kekuasaan pemerintahan negara berada di
tangan presiden semata. Kewenangan pemerintah hanya dapat diberikan kepada
wapres apabila presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat
melaksanakan kewajibannya selama masa jabatannya sesuai dengan ketentuan
Pasal 8 ayat 1 UUD 1945.
Posisi wapres yang
begitu pasif, yang sekadar pilihan antisipasi terhadap potensi kekosongan
kekuasaan, merupakan modifikasi dari sistem kerajaan. Jika seorang raja
mangkat, yang menggantikan adalah keturunan sang raja. Dalam sejarah
pembentukan sistem presidensial di Amerika, negara itu menentang konsep
pengkultusan terhadap keturunan para raja. Itu sebabnya, untuk mengisi
kekosongan yang potensial terjadi jika presiden mangkat atau berhalangan
tetap, jabatan wapres dianggap perlu dimunculkan.
Para pendiri bangsa
Indonesia juga menentang penggunaan sistem kerajaan dan memilih sistem
presidensial. Walhasil, sejak awal, jabatan wapres di Indonesia memang
hanyalah posisi pasif yang disiapkan untuk mengisi potensi kekosongan jabatan
presiden.
Penyimpangan
kewenangan wapres terjadi akibat kondisi politik. Dalam catatan sejarah,
misalnya, Wapres Mohammad Hatta pernah mengeluarkan Maklumat Nomor 10 pada 16
Oktober 1945, yang menyerahkan kekuasaan legislatif Presiden Sukarno kepada
Komite Nasional Pusat. Tindakan ekstra-konstitusional Wapres Hatta terjadi
pada masa revolusioner dan bertujuan menyelamatkan Presiden dari jebakan
kekuasaan otoriter karena memegang seluruh kewenangan cabang kekuasaan
negara: eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Maklumat itu merupakan
ketegangan pertama dalam sejarah hubungan presiden dengan wakil presiden di
Indonesia.
Ketegangan antara
presiden dan wapres tidak dirasakan pada era otoriter Orde Baru. Namun
ketegangan hubungan antara presiden dan wapres kembali mencuat pada periode
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wapres Jusuf Kalla. Wapres JK kerap
memberi perintah seakan-akan ia menjabat presiden. Ketika itu, Wapres JK
kerap mendapatkan momentum untuk memberi perintah lebih cepat karena Presiden
SBY dikenal kerap lamban dalam bersikap.
Sikap wapres yang
tidak memahami (atau sengaja melanggar) batasan kewenangannya itu dapat
mengancam posisi presiden dalam sistem presidensial. Bukan tidak mungkin,
jabatan Wapres dijadikan alat untuk mengambil alih kekuasaan presiden. Pengambilalihan
kekuasaan presiden oleh wapres itu dapat menggunakan cara kasar (baca:
kudeta), atau bisa pula presiden dijatuhkan dengan cara menggagalkan
pemerintahannya. Jika pemerintah gagal dan presiden diberhentikan di tengah
jalan, berdasarkan UUD 1945, wapres berhak mengisi kekosongan tersebut.
Sebagai manusia yang
haus akan kekuasaan, posisi wapres memang harus diisi oleh figur yang sejalan
dengan presiden. Itu sebabnya, di banyak negara maju penganut sistem
presidensial, presiden dan wapres berasal dari partai yang sama. Walhasil,
wapres benar-benar bertugas sebagai "ban cadangan" jabatan
presiden.
Konsep politik
pasangan presiden-wapres yang berasal dari partai berbeda juga tidak tepat.
Sebab, jika presiden yang berasal dari partai A mangkat, berhalangan tetap,
atau diberhentikan, jabatan presiden yang baru akan dinikmati kader partai B.
Tentu kondisi tersebut akan mengancam kursi partai A di kabinet dan dukungan
terhadap partai B di legislatif.
Melihat konsep
kewenangan wapres yang tidak sehat tersebut, kesadaran konstitusi seorang
Wapres saja tidak cukup. Perlu dibentuk peraturan perundang-undangan yang
dengan tegas melarang wapres bertindak inkonstitusional. Sayang, rencana
undang-undang lembaga kepresidenan masih menjadi mimpi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar