Bumi makin Panas
Topo Suprihadi ; Dosen Fisika di UIN Syarif Hidayatullah,
Ciputat, Tangerang Doktor Fisika Justus Liebig University of Giessen Jerman
|
MEDIA INDONESIA, 24 Juni 2015
US Department of Com Commerce cq National
Oceanic Atmospheric Administra tion melaporkan kenaikan suhu permukaan tanah
dan lautan di seluruh dunia 0,82 °C (1,48°F) di atas rata-rata suhu abad
ke-20 pada kuartal pertama 2015. Kenaikan suhu yang terjadi merupakan bagian
kecenderungan kenaikan suhu sejak Revolusi Industri dan diprediksikan
berlanjut ke depan, di saat dalam 100 tahun berikut diperkirakan mencapai 1
°C¬6,5 °C. Dunia berada dalam pemanasan global.
Pemanasan global merupakan pemicu dan bentuk
awal dari perubahan iklim. Pemanasan global muncul dari efek rumah kaca
ketika konsentrasi gas rumah kaca (GRK), terutama CO2, berlebihan di
atmosfer. Intergovernmental Panel on
Climate Change (IPCC), sebuah panel PBB yang mencakup lebih dari 1.300
ilmuwan seluruh dunia, dalam Assessment
Report 5 2014, menyatakan, `Human
interference with the climate system is occurring, and climate change poses
risks for human and natural systems'.
Sinyalemen lanjut IPCC ialah kenaikan suhu di
atas 1 °C tidak dapat dihindari mengingat GRK di atmosfer telanjur
berlebihan. Padahal, kenaikan suhu di atas 1 °C dapat menimbulkan respons
yang tak terduga dan nonlinear yang mengarah kepada kerusakan fatal
ekosistem.
Pernyataan IPCC itu bukan cek kosong. Terbukti
dari kejadian badai tropis dengan durasi, frekuensi, dan intensitas yang
meningkat. Musim kering berkepanjang an dengan intensitas kekeringan lebih
tinggi dan beberapa kali berlanjut kebakaran hutan di beberapa wilayah dunia
termasuk Indonesia. Muncul gelombang panas (India) yang mematikan, pelelehan
dataran Larson B Antartika yang berlangsung lebih cepat dari yang
diprediksikan, dan termutakhir ialah gelombang panas terjadi di Pakistan yang
menewaskan lebih dari 400 orang.
Kemendesakan tanggapan
PBB menanggapi serius kebolehjadian paparan
risiko, bahaya, serta kerentanan sistem manusia dan sistem lingkungan hidup
yang ditimbulkan pemanasan global, dengan mendorong tindakan mitigasi radikal
melalui proposal kesepakatan yang mengikat untuk mencapai pembatasan
pemanasan global tak lebih dari 2 °C. Proposal akan diajukan pada United Nations Framework Convention on
Climate Change (UNFCCC) ke-21 di Paris, Desember 2015.
Menurut IPCC, seandainya emisi CO2 dihentikan
hari ini, hal itu tidak segera mampu menahan laju kenaikan suhu. Sudah cukup
banyak CO2 di atmosfer dengan waktu hidup 20¬200 tahunan. Oleh karena itu,
bersamaan dengan proposal kesepakatan tadi, IPCC juga menyampaikan lima butir
alasan untuk prihatin yang meminta perhatian khusus dari para pembuat
kebijakan dunia, sebagai berikut:
Peningkatan suhu rata-rata global 2 °C relatif
terhadap suhu rata-rata dunia pada 1990;
1. Berdampak signifikan pada banyak
sistem unik dan rentan serta kecenderungan peningkatan status kepunahan pada
spesies terancam.
2. Meningkatkan risiko kejadian ekstrem,
termasuk banjir, kekeringan, gelombang panas.
3. Memunculkan dampak negatif di beberapa
wilayah di dunia (negara-negara di sekitar Benua Arktika, pulau-pulau kecil),
dan ancaman baru yang signifi kan pada kelompok populasi rentan, misalnya
masyarakat yang tinggal di pedalaman atau pegunungan dan pantai dengan
tingkat kemiskinan yang signifi kan.
4. Mempunyai agregat dampak negatif, terutama
kenaikan risiko kekurangan air bersih dalam berbagai aspek gangguan kesehatan
manusia termasuk penyakit masa depan yang belum diketahui.
5. Memunculkan kejadian tunggal skala besar,
seperti pelelehan sebagian besar lapisan es Greenland dan lapisan es
Antartika Barat (sudah terjadi pada dataran Larson B Antartika) yang memberi
kontribusi signifi kan kenaikan permukaan laut mencapai dari 4-6 m.
Lima butir alasan untuk prihatin sebenarnya
merupakan sebuah proposal kepada para pemimpin negara sedunia untuk
menjadikan bagian pertimbangan dalam penyusunan kebijakan setempat.
Adaptasi dan mitigasi
Selain sebagai proposal butir pertimbangan
dalam penyusunan kebijakan, lima butir alasan untuk prihatin sekaligus
merupakan rekomendasi arah tindakan adaptasi dan mitigasi dalam menghadapi
pemanasan global. Mengingat representasi paparan risiko, bentuk bencana, dan
kerentanan butir demi butir tergantung geologi, geografi, dan topografi
wilayah, perlu pendalaman dan analisis spesifik memadai terkait dengan
manajemen mitigasi dan adaptasi yang menjangkau bagian hulu dan hilir dari
risiko. Manajemen pada hilirnya saja, yaitu penanggulangan bencana, berharga
lebih mahal. Sementara itu, manajemen bagian hulu sudah harus muncul dalam
seluruh aspek kebijakan wilayah dalam bentuk analisis risiko.
Realisasi pembatasan pemanasan global tak
lebih dari 2 °C tidak dicukupkan dengan pengurangan emisi CO2 saja pada level
tertentu seperti halnya Protokol Kyoto, tetapi mengarah kepada eliminasi
rezim bahan bakar fosil menjadi rezim bahan bakar miskin emisi CO2.
Implementasi kesepakatan bisa saja mempunyai peta jalan sampai dengan 2050,
tetapi tak urung sektor yang segera terimbas ialah industri energi listrik.
Rezim teknologi kaya emisi CO2 mayoritas industri energi listrik dan sektor
itu merupakan sistem ekonomi raksasa yang dihuni orang banyak. Sementara itu,
kandidat paling rasional pengganti rezim teknologi kaya emisi CO2 ialah
teknologi nuklir jika ditinjau dari kelayakan teknis seperti syarat utama
miskin emisi CO2 ataupun kapasitas pasok, karakter intermitensi dan dispatchability, serta keekonomian
dalam era rezim miskin CO2.
Namun, teknologi nuklir masih menyisakan masalah
penerimaan masyarakat.
Indonesia yang terletak di khatulistiwa,
pinggiran cincin api, dan sebagai negara kepulauan berada di posisi kritis
terhadap dampak pemanasan global. Selama ini, respons tepat terhadap dampak
pemanasan global belum menjadi ‘mainstream’ para pembuat kebijakan. Semoga
hal itu tidak dibayar mahal oleh masyarakat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar