Siapa Berani Memimpin KPK?
Wiwin Suwandi, ; Koordinator Riset Anti Corruption
Committee/ACC Sulawesi
|
KORAN TEMPO, 24 Juni 2015
Bagi siapa saja yang
berpikir normal, menjadi pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah
pekerjaan dengan risiko tinggi. Mengapa? Satu di antara banyak alasan, karena
jabatan pimpinan KPK ibarat "bertaruh dengan maut", dan risikonya
adalah nyawa.
Ya, perlu menjadi
"gila" untuk memimpin KPK. Bisa saja hal itu sifatnya subyektif,
tapi bukan sekadar asumsi. KPK menjadi "mata-mata" yang bertugas
mengawasi kinerja penegak hukum dan penyelenggara negara agar tidak
menyimpang dari undang-undang dengan melakukan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) yang berpotensi
korupsi. Ancaman terhadap KPK datang setiap saat. Tidak jarang, KPK mendapat
perlawanan balik dari oknum koruptor dan antek-anteknya yang merasa terusik
dengan kerja KPK (corruptor fight back).
Ketika KPK mulai masuk
ke episentrum kekuasaan, baik dalam eksekutif maupun legislatif, serangan
berlapis ditujukan kepada KPK, dari menghilangkan penyadapan dalam revisi UU
KPK, revisi RUU KUHAP-KUHP yang ingin menghilangkan korupsi sebagai delik
khusus, hingga kriminalisasi terhadap pimpinan, penyidik, dan pegawai KPK.
Namun, tidak seperti pendahulunya, KPK membuktikan diri mampu bertahan di
tengah gencarnya upaya pelemahan, hingga ancaman pembubaran. Ditopang
masyarakat sipil, KPK melawan segala upaya pelemahan melalui rangkaian
skenario berlapis.
Bambang Widjojanto
dalam kesempatan diskusi di Makassar mengungkapkan ada tujuh tantangan KPK ke
depan. Pertama, "corruptor fights back". Muncul perlawanan dari
gangs of corruptor, beneficiaries, gate keeper, dan mereka yang memiliki dana
tak terbatas, ditopang oleh jaringan politik yang kuat serta punya akses luas
dalam kekuasaan dan media.
Kedua, dasar
eksistensi KPK terancam mengalami delegitimasi. Sudah lima belas kali
kewenangan KPK diuji materi (UU KPK) di Mahkamah Konstitusi. Ketiga, adanya
revisi UU Tipikor, UU KPK, dan KUHAP-KUHP yang tidak sepenuhnya untuk
kepentingan pemberantasan korupsi. Keempat, destruksi konsolidasi SDM di KPK,
dengan ditariknya penyidik KPK, dan si penyidik harus berasal dari lembaga
penegakan hukum tertentu.
Kelima, politisasi
kinerja KPK. Kasus yang ditangani dipolitisasi seolah hanya untuk kepentingan
kelompok tertentu serta dinafikannya kerja KPK dalam membangun sistem dan
budaya antikorupsi. Keenam, modus operandi korupsi semakin canggih, memakai
seluruh sumber daya dan akses. Ketujuh, menghancurkan kredibilitas KPK
personal character assassination melalui cyber army dan jaringan media.
Secara normatif, tidak
sulit bagi panitia seleksi KPK untuk menemukan pimpinan KPK sesuai dengan
kriteria undang-undang. Pasal 29 UU KPK menyebutkan sepuluh kriteria calon
pemimpin KPK, antara lain ketakwaan, tidak pernah melakukan perbuatan
tercela; cakap, jujur, memiliki integritas moral yang tinggi, dan memiliki
reputasi yang baik; serta tidak menjadi pengurus salah satu partai politik.
Meski di atas kertas
kriteria tersebut dianggap cukup, kenyataannya belum tentu teruji di
lapangan. Selain kriteria di atas, seorang pemimpin KPK mesti memiliki
keberanian dalam mengusut korupsi tanpa pandang bulu. Karena, tanpa
keberanian, KPK hanya ibarat singa tanpa taring, mengaum tapi tak bisa
menggigit.
Dibanding
pendahulunya, KPK mampu menghapus mitos penegakan hukum tajam ke bawah tumpul
ke atas. Beberapa penegak hukum dan petinggi negara dijebloskan ke tahanan
karena korupsi. Dalam kasus korupsi kepolisian, KPK berani menetapkan seorang
jenderal polisi aktif sebagai tersangka, bahkan ia dijerat pasal TPPU.
Dalam kasus Hambalang,
KPK kembali menetapkan menteri aktif sebagai tersangka korupsi. Itu belum
dihitung dengan jumlah anggota DPR, kepala daerah, pengusaha, dan
penyelenggara negara lain yang sudah merasakan dinginnya lantai penjara.
Ketika mengusut kaus korupsi Hambalang, Century, dan BLBI, KPK bahkan mampu
masuk ke poros kekuasaan dengan mengusut keterlibatan kader partai penguasa.
KPK adalah "anak
kandung" reformasi yang diserahi tanggung jawab amat besar: memberantas
korupsi yang sudah beranak-pinak selama lebih dari enam dekade. KPK bukan
satu-satunya lembaga antikorupsi yang pernah dibentuk. Sejumlah sumber
mencatat setidaknya ada tujuh lembaga antikorupsi yang pernah dibentuk
sebelum KPK.
KPK dihadapkan pada
tantangan kejahatan korupsi yang lebih canggih dan masif pasca-Orde Baru
(Orba). Kalau pada masa Orba praktek korupsi terjadi karena semata-mata
ditopang rezim, korupsi pasca-Orba lebih sistematis. Mereka menyusup ke dalam
birokrasi, mempengaruhi regulasi, membangun oligarki dan dinasti, parpol di
parlemen ramai-ramai membajak uang negara dengan modus dana aspirasi, serta
membajak institusi penegak hukum.
Jadi, melihat beratnya
tugas KPK, seorang pemimpin KPK mesti menjadi "manusia setengah
dewa" yang berani memberantas korupsi tanpa pandang bulu. Dan harapan
itu melekat di pundak sembilan Srikandi pansel pimpinan KPK saat ini. Akan
menjadi apa KPK ke depan, ini bergantung pada ketelitian dan kecakapan mereka
dalam memilih figur. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar