Politik Pembaruan Hukum
Albert Hasibuan ; Anggota Dewan Pertimbangan Presiden
2012-2014
|
KOMPAS, 24 Juni 2015
Keluhan dan kerisauan
saya terhadap perkembangan hukum saat ini rupanya juga dirasakan oleh Radhar
Panca Dahana dalam "Kriminalisasikan Bangsa Ini" yang tersua di
halaman Opini Kompas edisi 29 Mei.
Radhar dalam
karangannya mengemukakan, "Kitab hukum-juga politik-itu bukan untuk
mencipta keadilan, ketenteraman, dan kesejahteraan, melainkan sekadar
mempertahankan kekuasaan. Kekuasaan dari 0,1 permil bangsa ini saja."
Dari tulisan itu saya
mendapat kesan bahwa dia sudah berada dalam tahap keprihatinan dan kecewa
terhadap perkembangan hukum akhir-akhir ini. Radhar kecewa karena hukum tidak
lagi menciptakan keadilan, ketenteraman, dan kesejahteraan masyarakat.
Sementara itu, Komisi
Yudisial (KY) juga berpendapat sama ketika
menyatakan, "Dalam situasi keterpurukan hukum seperti ini, upaya
pembenahan dan perbaikan di bidang ekonomi dan bidang-bidang lainnya niscaya
merupakan yang mustahil dilakukan."
Sebelumnya KY
mengemukakan, "Institusi penegak hukum yang dijadikan tumpuan pembebasan
dan pencerahan justru menjadi kurang dipercaya oleh masyarakat. Dampaknya
kehidupan hukum menjadi tidak terarah dan terpuruk."
Seperti diketahui,
penilaian KY ini merupakan permintaan kepada saya sebagai anggota Wantimpres
untuk menulis artikel di buku Pembaharuan Sistem Hukum Indonesia yang
diterbitkan pada 2012.
Timbul pertanyaan:
mengapa sekarang ini hukum, yang seharusnya bertindak sebagai pembebas dan
pencerah masyarakat, masih dijadikan alat mempertahankan kekuasaan seperti
dikemukakan Radhar Panca Dahana? Lalu, mengapa hukum dan penegak hukum yang
seyogianya melaksanakan keadilan
berdasarkan keadilan hukum justru mempraktikkan hal-hal kebalikannya yang
bersifat antitesis?
Menurut saya, salah
satu jawabannya adalah kita harus terlebih dulu melihat dari perspektif
sejarah, yaitu Orde Baru, yang berkaitan secara berkesinambungan dengan
reformasi, khususnya reformasi hukum.
Perspektif sejarah
Dari perspektif
sejarah ini, kita telah mengalami selama Orde Baru kekuasaan yang amat berperan menjadikan
hukum sebagai alatnya. Tidak salah kalau kita sebut bahwa pada masa itu hukum
telah dijadikan sebagai alat kekuasaan yang menghalalkan segala cara demi
menghasilkan kepentingan-kepentingan tertentu.
Sosiolog Jerman,
Maximilian Weber (1864-1920), menyebut fenomena ini sebagai Politisches
Rechts atau politik hukum yang memastikan penerapan hukum yang dipengaruhi
aneka kekuasaan dan kepentingan. Apa yang disebut Weber dengan Recht der
Machthaber atau hukum dari yang punya kekuasaan merupakan legitimasi secara
bebas menggunakan hukum untuk mencapai kepentingan tertentu.
Kemudian, setelah Orde
Baru berakhir dan berlangsung Era Reformasi yang bersifat korektif terhadap
hal-hal yang ademokratis, dengan sendirinya hukum mengalami pembaruan dan
reformasi. Namun, apa lacur, setelah pembaruan hukum berlangsung 17
tahun, masyarakat merasa bahwa
perkembangan hukum tak seperti yang diharapkan. Masyarakat merasa pada saat
ini perkembangan hukum mirip dengan situasi pra-Reformasi 1998.
Kalau boleh saya
katakan, hukum sekarang hampir-hampir melaksanakan proses pengulangan sejarah
dengan masa Orde Baru. Yang jelas, akibatnya, timbul tendensi masyarakat yang
menganggap wibawa dan otoritas hukum merosot. Masyarakat ragu terhadap tujuan
ideal dan penegakan hukum itu.
Dengan wibawa hukum
seperti ini, dengan sendirinya masyarakat skeptis bahwa hukum akan
memperlakukan setiap anggota masyarakat secara sama tanpa diskriminasi.
Ketentuan equality before the law and equal protection of law atau kesamaan
di muka hukum dan perlindungan yang sama bisa dianggap oleh masyarakat
sebagai sebutan yang tidak berarti apa-apa alias kosong.
Juga mereka kurang
percaya terhadap hukum yang ramah kepada yang lemah, miskin, dan
terpinggirkan karena dari pengalaman praktis sehari-hari, hukum cenderung
berpihak kepada yang punya kekuasaan, baik kekuasaan politik maupun kekuasaan
ekonomi. Kita kenal sebutan
"hukum tajam ke bawah dan tumpul ke atas".
Selanjutnya masyarakat
juga ragu bahwa hukum akan memperlakukan setiap anggota masyarakat secara
adil karena sering kali hukum cenderung hanya dinikmati oleh segelintir orang
yang mempunyai privilese atau kelebihan tertentu. Menurut saya, semua ini
akan memengaruhi kesadaran dan perasaan hukum masyarakat terhadap kepatuhan
hukum. Padahal, kesadaran hukum memainkan peran penting dan menentukan
pelaksanaan prinsip konstitusional negara hukum atau rechtsstaat.
Sikap kita
Pertanyaannya,
bagaimana kita menyikapi keadaan ini? Bagaimana kita mengadakan koreksi untuk
menjalankan pembaruan hukum?
Pertama, menurut
pendapat saya, harus ada politik pembaruan hukum dari pemerintah yang
mendorong berbagai program pembaruan hukum berdasarkan sembilan program Nawacita.
Seperti diketahui, program ke-4 Nawacita Joko Widodo-Jusuf Kalla berbunyi,
"Melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi,
bermartabat dan terpercaya".
Kedua, harus ada ide
dan konsep-konsep baru di bidang hukum dan penegakan hukum sesuai dengan Era
Reformasi. Dalam hal ini, karena sekarang ini sangat sedikit ide dan konsep
hukum yang baru, saya menyayangkan dihentikan dan pembubaran Komisi Hukum
Nasional yang dipimpin Prof Sahetapy dan Prof Mardjono Reksodiputro yang
telah giat dan produktif menyusun konsep-konsep hukum yang baru.
Ketiga, pengawasan
dengan intensif secara eksternal masyarakat dan internal penegak hukum
terhadap perkembangan hukum agar sesuai dengan pembaruan hukum. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar