Pancasila dan Piagam Jakarta
M Fuad Nasar ; Konsultan the Fatwa Center Jakarta; Wakil
Sekretaris Baznas
|
MEDIA INDONESIA, 23 Juni 2015
DALAM buku Pertumbuhan Historis Rumus Dasar
Negara dan Sebuah Proyeksi, Prawoto Mangkusasmito meng ungkapkan Pancasila
sebagai dasar negara untuk pertama kali mendapatkan rumusnya yang lengkap
pada 22 Juni 1945 dalam satu dokumen yang disusun dan ditandatangani sebuah
panitia yang terdiri atas sembilan orang anggota Badan Penyelidik (Ir
Soekarno, Drs Mohammad Hatta, Mr AA Maramis, Abikusno Tjokrosujoso, Abdul
Kahar Mudzakkir, Haji Agus Salim, Mr Achmad Subardjo, Wahid Hasjim, dan Mr
Muhammad Yamin). Rumusan Pancasila yang pertama itu kemudian terkenal dengan
nama Piagam Jakarta atau Jakarta
Charter.
Piagam Jakarta bukan sekadar dokumen sejarah.
Piagam Jakarta merupakan dokumen kenegaraan karena memuat konsensus nasional
dan gentlemen's agreement founding
fathers tentang dasar negara Republik Indonesia (RI), yaitu antara kaum
`nasionalis islami' yang menginginkan negara berdasarkan Islam dan
`nasionalis sekuler' yang menginginkan negara kebangsaan dengan pemisahan
secara mutlak agama dari negara.
Pancasila sebagai perjanjian luhur bangsa dan
dasar falsafah negara mempertemukan kedua cita-cita kenegaraan itu. Dimulai
pidato Bung Karno pada 1 Juni 1945 tentang lima prinsip dasar negara, yaitu
kebangsaan Indonesia, internasionalisme atau perikemanusiaan, mufakat atau
demokrasi, kesejahteraan sosial, dan ketuhanan.
Rumusan Pancasila Bung Karno disempurnakan
Panitia Sembilan. Ketuhanan yang oleh Bung Karno ditempatkan dalam urutan
kelima, dalam rumusan Piagam Jakarta dijadikan prinsip yang pertama. Seperti
dikatakan Bung Hatta, Panitia Sembilan mengubah urutan fundamen Pancasila
itu, yakni meletakkan fundamen moral di atas dan fundamen politik di
bawahnya. Dengan urutan dan rumusan baru itu, dasar ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’
menjadi dasar yang memimpin cita-cita kenegaraan kita untuk melaksanakan segala
yang baik bagi rakyat dan masyarakat.
Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dalam sidangnya pada 22 Juni 1945 menerima
rumusan Panitia Sembilan sebagai Pembukaan UUD 1945 yang dikenal sebagai
Piagam Jakarta. Susunan dan urutan Pancasila dalam Piagam Jakarta ialah
ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat islam bagi pemeluk-pemeluknya,
kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, dan
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Salah satu tokoh pendiri RI dan Pahlawan
Nasional Mahaputra Prof Dr Mr H Muhammad Yamin dalam bukunya Proklamasi dan
Konstitusi Republik Indonesia menguak ‘kabut apriori’ tentang Piagam Jakarta.
Ia menegaskan, “Piagam Jakarta berisi garis-garis pemberontakan melawan
imperialisme-kapitalisme dan fasisme, serta memuat dasar pembentukan Negara
Republik Indonesia. Piagam Jakarta yang lebih tua dari Piagam Perdamaian San
Franscisco (26 Juni 1945) dan Kapitulasi Tokyo (15 Agustus 1945) itu ialah
sumber berdaulat yang memancarkan Proklamasi Kemerdekaan dan Konstitusi RI.
Piagam Jakarta itulah yang menjadi mukadimah (preambule) Konstitusi RI serta UUD 1945 yang disusun menurut
filosofi dan politik yang ditentukan di dalam piagam persetujuan itu. Piagam
Jakarta berisi pula kalimat Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang dinyatakan
pada 17 Agustus 1945. Piagam Jakarta itulah yang melahirkan Proklamasi dan
Konstitusi.”
Pagi 18 Agustus 1945 menjelang dimulainya sidang
Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang mengagendakan pengesahan
UUD, Bung Hatta melobi tiga pemimpin Islam, yaitu Ki Bagus Hadikusumo, Kasman
Singodimedjo, dan Teuku M Hasan. Hal itu terkait dengan peristiwa sore hari
17 Agustus 1945, yaitu Bung Hatta menerima seorang opsir Kaigun (Angkatan
Laut) Jepang yang memberitahukan wakil-wakil Protestan dan Katolik di daerah
yang dikuasai AL Jepang berkeberatan dengan bagian kalimat mengenai
‘kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya’ dalam Pembukaan
UUD.
Jika bagian kalimat itu ditetapkan juga, mereka lebih suka berdiri di
luar RI.
Bung Hatta dalam buku Sekitar Proklamasi
mengungkapkan, “Saya katakan bahwa itu bukan suatu diskriminasi, sebab
penetapan itu hanya mengenai rakyat yang beragama Islam. Waktu merumuskan
Pembukaan UUD itu Mr Maramis yang ikut serta dalam Panitia Sembilan tidak
mempunyai keberatan apa-apa dan pada tanggal 22 Juni ia ikut
menandatanganinya.”
Singkat cerita, sebelum Sidang PPKI, Bung
Hatta meminta para pemimpin Islam bersedia menghapus kalimat mengenai syariat
Islam dalam Pembukaan UUD. Seluruh tekanan psikologis dan kata putus saat itu
berada pada Ki Bagus Hadikusumo, satusatunya eksponen perjuangan Islam yang
paling senior dan Ketua Umum Muhammadiyah. Kasman ikut membujuk Ki Bagus agar
menerima saran Bung Hatta. Menurut keterangan Pra woto Mangkusasmito, HA
Wahid Hasjim tidak hadir dalam pertemuan 18 Agustus itu karena sedang dalam
perjalanan ke Jatim.
Bung Hatta menulis, ‘pada waktu itu kami dapat
menginsafi bahwa semangat Piagam Jakarta tidak lenyap dengan menghilangkan
perkataan Ketuhanan dengan kewajiban syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya
dan menggantinya dengan Ketuhanan Yang Maha Esa’.
Prawoto, mantan Wakil Perdana Menteri dan
Ketua Umum (Terakhir) Masyumi, berkesempatan menanyakan kepada Ki Bagus
tentang arti istilah ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’ itu. Jawab Ki Bagus singkat
saja, yaitu ‘tauhid’. Hal itu ditanyakan pula kepada Mr Teuku M Hasan yang
hadir dalam pertemuan 18 Agustus. Tokoh asal Aceh tersebut tidak
membantahnya.
Dalam buku biografinya Hidup Itu Berjuang, Kasman menulis, ‘perubahan tujuh kata rumus
Ketuhanan itu amat penting. Sebabnya ialah Yang Maha Esa menentukan arti dari
Ketuhanan’. Pancasila yang kini secara geruisloos menjadi filsafat negara kita
itu, tidak mengenal ‘Ketuhanan’ sembarang ketuhanan. Sekali lagi bukan
ketuhanan sembarang ketuhanan, tetapi yang dikenal Pancasila itu ialah
‘Ketuhanan Yang Maha Esa’. Bung Hatta sendiri pada Juni dan Agustus 1945
menjelaskan ‘Tuhan Yang Maha Esa’ itu ialah Allah, tidak lain kecuali Allah
yang Tunggal.
Tokoh Islam dan mantan Menteri Agama, Prof KH
Saifuddin Zuhri dalam kata pengantar buku Piagam Jakarta karya Endang
Saifuddin Anshari menyatakan Piagam Jakarta tidak kehilangan fungsinya
ataupun peranannya sebagai alat pemersatu seluruh bangsa Indonesia seperti
yang pernah diucapkan Presiden Soekarno dalam rapat peringatan lahirnya
Piagam Jakarta pada 22 Juni 1965 di Istora Jakarta. Dekrit Presiden 5 Juli
1959 tentang Kembali Kepada UUD 1945 menegaskan kami berkeyakinan bahwa
Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai UUD 1945 dan merupakan suatu
rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut.
Sejarah mencatat umat Islam telah banyak
memberi untuk kemerdekaan dan persatuan nasional. Dalam hal ini, saya
mengulang yang pernah dikemukakan H Alamsyah Ratu Perwiranegara semasa
menjabat Menteri Agama, yaitu Pancasila ialah pengorbanan dan hadiah terbesar
umat Islam untuk persatuan dan kemerdekaan Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar