Apakah Reshuffle Kabinet Solusi?
HS Dillon
; Ketua MWA-ITB 2004-2006
|
KORAN TEMPO, 26 Juni 2015
Kekurangpuasan
terhadap kabinet yang sudah muncul sedari awal kini memperoleh momentum.
Berbagai opini masyarakat dijaring untuk menilai menteri-menteri tanpa
kriteria yang jelas.
Akhir pekan lalu,
Presiden menghimpun laporan hasil kerja menterinya selama enam bulan terakhir
dan kabarnya akan mempergunakan empat kriteria yaitu, struktur kelembagaan
yang melancarkan pencairan dana, tepat dan sesuai dengan jadwal penerapan
program, efektivitas sosialisasi program, serta kemampuan menjual program,
dan kemajuan yang telah dicapai kepada masyarakat.
Bagaimana sebenarnya
kriteria yang sahih untuk menilai kinerja seorang menteri? Yang paling
pertama adalah transparansi tujuan awal pengangkatan (original intent) oleh
formatur kabinet maupun partai pengusungnya. Apakah rekam jejak kompetensi,
keberpihakan, dan penerimaan masyarakat sudah ditelusuri secara saksama?
Sudahkah pemahaman dan kemampuan berperan sebagai anggota tim pembantu
mewujudkan visi dan misi Presiden didalami? Bagaimana penguasaannya tentang
perihal batasan jangkauan dan bidang singgung portofolionya dengan
pemain-pemain lainnya? Turut dinilaikah penguasaan tentang alat-alat
kebijakan yang akan didayagunakan untuk mewujudkan tujuan?
Tentunya dalam menilai
kinerja harus bisa dipilah faktor-faktor yang sepantasnya dapat dikelola
seorang menteri dari faktor yang memang berada di luar jangkauan dan
kemampuan sang menteri, tetapi berdampak terhadap kinerjanya. Kisaran ini
terbentang mulai dari pelambanan perekonomian global hingga ke tata
pemerintahan nasional, mencakup sifat-sifat yang sudah menjadi kultur bahkan
natur orang Indonesia, yang tidak dapat diubah dalam tempo singkat.
Kini, Presiden sudah
lebih menguasai kompleksitas dan mengakarnya permasalahan yang menghadang,
dan memahami bahwa menerbitkan Perpres tidak serta-merta membawa perbaikan;
serta menyadari bahwa tekad kuat (political
will) harus bermuara pada kemampuan politis (political capacity) agar seorang Presiden dapat secara efektif
mewujudkan visi dan misinya selama masa jabatannya. Karena itu, pembentukan
kabinet mendatang haruslah merupakan langkah mendasar memantapkan political capacity Presiden Joko
Widodo.
Yang ideal, kabinet
presidensial disusun berlandaskan penyerasian program-program dari
masing-masing partai pendukung ke dalam satu platform kukuh, dan bukan lagi
merupakan "fait a compli"
calon menteri yang ditodongkan kepada Presiden. Koalisi perlu diingatkan
bahwa mereka mendukung capres Joko Widodo karena diperkirakan calon mereka
sendiri kurang mampu meraih dukungan pemilih.
Dalam kaitan dengan
struktur, karena demikian banyaknya wewenang dan pendanaan sudah dialihkan
kepada daerah selama ini, maka sudah tibalah saatnya menuntut tanggung jawab
mereka yang sepadan dalam mensejahterakan rakyatnya. Dengan demikian, mungkin
kementerian negara atau jumlah kabinet cukup 25. Manakala dirasa perlu,
diangkat wakil-wakil menteri yang bukan anggota kabinet. Misalnya Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan dapat membawahkan Wakil Menteri Kebudayaan, Wakil
Menteri Pemuda dan Olahraga, serta Wakil Menteri Riset dan Pendidikan Tinggi.
Untuk mengefektifkan
koordinasi dan menghilangkan kesimpangsiuran, menteri koordinatornya cukup
dua. Penyelarasan program serta struktur yang dimaksud sudah mulai dapat
dirancang dari sekarang melalui Diskursus Setara dengan para ideolog/pemikir
partai masing-masing, memperhatikan pertimbangan dari sosok berpengalaman,
seperti Sofjan Effendi, J.B. Kristiadi, Erry Ryana Hardjapamengkas, Maswadi
Rauf, dan sekelasnya.
Pembentukan kabinet
2015-2019 harus merupakan landasan operasionalisasi revolusi mental yang
meluruskan pemahaman bahwa pejabat adalah abdi rakyat, bukan tuannya. Ini
awal koreksi strategi pembangunan agar pembentukan modal terjadi di rumah
tangga petani, nelayan, perajin, serta buruh-bukan lagi memusatkan modal di
perbankan negara maupun konglomerat.
Sebagai langkah
transisi, mungkin sekali ini partai pendukung masih dapat diminta mengajukan
tiga calon, termasuk petahana, untuk setiap portofolio yang dibidiknya.
Masing-masing calon ditugasi menyiapkan dua halaman yang menampilkan
bagaimana dia akan mengoperasikan misi Presiden dalam bidangnya, bekerja sama
dengan instansi terkait. Policy brief
ini dapat mengungkapkan pemahaman tentang tugas pokok dan memberikan gambaran
keluwesan serta keserasian menjadi pemain tim. Penekanan harus tetap
diberikan pada jejak rekam keberpihakan, integritas, kompetensi, dan
kepercayaan dari masyarakat.
Kalau perlu, melalui
kerja sama dengan LAN, dapat diselenggarakan kegiatan semacam "War
Games" yang menghadapkan dua tim. Pertama-tama ditugasi menemu-kenali
tantangan yang paling menghadang perjalanan bangsa, seperti perubahan iklim,
kemiskinan dan kesenjangan, maupun fragmentasi. Kedua tim dibawa retret ke
Bogor pada akhir pekan untuk melihat munculnya terobosan menangani tantangan
yang dimaksud. Bagaimana mereka memanfaatkan momen perekonomian global yang
melamban justru sebagai peluang untuk membangun momentum mentransformasi
kelas menengah konsumtif menjadi kelas menengah produktif yang berlandaskan
SDM dan SDA (daratan maupun maritim) bernilai-tambah tinggi.
Presiden dapat
mengikuti jalannya War Games dari dekat, baik langsung maupun melalui CCTV,
bilamana perlu mengajak serta ke Bogor para sesepuh/pengabdi Republik,
seperti A.R. Ramli, Soebroto, Saparinah Sadli, Sjafii Maarif, Daoed Joesoef,
dan Bambang Hidayat, sebagai teman konsultasi. Dari perangai dan prestasi
yang terungkap selama permainan sepantasnya dapat ditemu-kenali kepeloporan
dan kepemimpinan para sosok yang mampu menjadi tokoh panutan di dalam proses Nation and Character Building.
Agar reshuffle menjadi langkah menuju
solusi, dari sanalah disusun kabinet, berintikan elemen-elemen mengarah ke
kutub yang sama, yaitu mulai dikokohkannya landasan Republik yang berdaulat,
berdikari, dan berkepribadian, di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar