Islam Indonesia
Gregorius Afioma, ; Penulis
|
KORAN TEMPO, 23 Juni 2015
Menjelang Ramadan,
ucapan "Islam Indonesia, bukan Islam di Indonesia" dari Jokowi pada
14 Juni lalu, serta ajakan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin melalui akun
Twitter-nya pada 5 Juni 2015 agar warteg tetap dibuka selama bulan puasa demi
toleransi terhadap kalangan non-muslim, tidak serta-merta mendapat dukungan
publik secara luas.
Reaksi yang demikian
sangatlah ironis di tengah tendensi kekerasan atas nama agama yang terjadi
selama bulan puasa. Razia yang dilakukan oleh kelompok radikal, seperti Front
Pembela Islam (FPI), misalnya, selalu berujung tindak kekerasan dan
perusakan.
Lantas, apakah yang
disampaikan Presiden Jokowi dan Menteri Saifuddin itu berlebihan?
Memang pernyataan
Jokowi bisa dianggap berlebihan di saat krisis identitas keislaman masih
menggerogoti kaum muslim. Masih banyak kalangan muslim yang tidak melihat
sebutan Islam Nusantara sebagai hal yang membanggakan.
Pasalnya, otentisitas
Islam selalu diukur dengan episentrum kelahiran Islam di Jazirah Arab. Relasi
antara Islam di Arab dan di Indonesia ibarat pola relasi pusat dan pinggiran.
Pusat dianggap lebih otentik, sedangkan pinggiran sebagai yang tergradasi.
Karena itu, desakan pemurnian Islam di Indonesia semakin kuat agar tidak
menjadi Islam kelas dua.
Tentu saja anggapan demikian
sangat berbahaya. Umat Islam bisa mengabaikan modalitas keberagamaan yang ada
selama ini. Benih-benih Islam yang sudah hadir sejak abad ke-7 justru
berkembang pesat di Indonesia karena melewati proses persenyawaan yang sangat
baik dengan budaya-budaya pra-Islam. Semua itu tidak lepas dari usaha para
Wali Sanga dan para pemikir Islam kontemporer, seperti Gus Dur atau Cak Nur.
Hasilnya, karateristik
Islam Indonesia terlihat lebih damai, moderat, toleran, dan terbuka. Konflik
yang terjadi, meski masih ada, tidak seintensif di Timur Tengah. Wajah Islam yang demikian tidak lepas dari
unsur-unsur pra-Islam yang menjadi tempat persemaian bagi benih-benih
keislaman. Budaya dan agama, yang semula memang hanyalah dua entitas berbeda,
kini tumbuh saling mengkonstitusikan satu sama lain.
Berkat wajah Islam
yang demikian, penerimaan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai
dasar negara menjadi mudah. Asas kesetaraan sebagai warga negara dijunjung
tinggi di atas segalanya. Hak-hak sebagai warga negara dikedepankan ketimbang
kepentingan-kepentingan primordial, seperti agama, budaya, suku, dan etnis.
Namun, jika tidak
melihat fakta keberagamaan itu sebagai kekuatan, bukan hanya umat Islam yang
berkonflik, tapi nilai keindonesiaan juga bisa terganggu. Sebab, hanya Islam
Indonesia yang dikenal toleran, moderat, dan terbuka, yang sangat kokoh
menyanggah keindonesiaan selama ini.
Bertolak dari
kenyataan itu, Jokowi berupaya menyadarkan kaum muslim bahwa Islam Indonesia
bukanlah Islam kelas dua. Islam Indonesia tidak kalah otentik dari Islam
Timur Tengah. Mengingat jumlah penganut Islam di Indonesia yang mencapai 12,
5 persen dari total 1,6 miliar pemeluk Islam di dunia, karateristik Islam
Nusantara justru bisa menjadi referensi bagi peradaban Islam di dunia.
Searah dengan
pemikiran tersebut, pernyatan Saifuddin sangatlah wajar. Diperbolehkannya
warteg dibuka demi menghormati hak-hak umat non-muslim sangat bernada toleran
dan sesuai dengan karateristik Islam Indonesia itu sendiri. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar