Guru Demokrasi
Jean Couteau ; Penulis kolom “Catatan Minggu” Kompas Minggu
|
KOMPAS, 28 Juni 2015
Sebuah tulisan
mewakili lebih dari sekadar opini sang penulis. Karena hadir dalam momen
tertentu gelombang sejarah, sang penulis selalu menyeleksi topik dan
mengambil sikap di dalam hal-hal yang lima puluh tahun kemudian bakal
dianggap tidak relevan....
Dengan lain kata dia
terbawa arus. Namun, bila dia lebih dari sekadar pencatat, dan meskipun arus
sejarahnya memang membawanya, dia tidak akan membiarkan dirinya hanyut. Dia
memahami bahwa di seberang arus sana, ada sesuatu yang lebih kekal, yang
hendaknya senantiasa menjadi tujuannya: sejumlah prinsip yang membuatnya
melampaui zaman dan tempatnya.... Wartawan ideal adalah penulis seperti ini.
Itulah sekelumit
pikiran yang tebersit di benak saya ketika memikirkan nasib para penulis
Kompas selama 50 tahun, setelah surat kabar kesayangan kita ini didirikan
pada tanggal 28 Juni 1965.
Kompas memilih saat
yang paling sulit untuk dilahirkan, yaitu beberapa bulan sebelum peristiwa 30
September 1965. Zaman penuh paranoia, penuh skizofrenia juga, di mana suasana
Perang Dingin berkelindan dengan semangat merdeka. Bahasa politik zaman itu
sarat persaudaraan, tetapi sarat juga permusuhan.
Oleh pemimpinnya,
Indonesia dirumuskan sebagai anggota suatu gerakan ”pembebasan” revolusioner
lintas bangsa—dengan musuh ”reaksioner” secara lokal dan musuh ”imperialis”
secara internasional. Rakyatnya tentu saja tersihir dan tak peduli paradoks.
Ia menelan dengan penuh semangat, baik acuan pada teori konflik yang Marxis
(kelas, revolusioner, imperialisme, feodal) maupun acuan pada teori konsensus
nasional dan agamis (gotong royong).
Yang mengemuka kala
itu adalah retorika, dan yang menguasai retorika adalah sang pemimpin besar
Soekarno. Bisa jadi rakyatnya semakin miskin dan pabrik-pabrik tidak
berjalan, tetapi tidak apa-apa: Indonesia diyakini kala itu mampu mengatasi
segala rintangan. Realitas wajib tunduk; ekonomi wajib turut; partai politik
wajib bersatu; ”imperialis” wajib takluk.... Pendeknya Indonesia menjadi
negara teater, dan teater itulah yang menjadikan bangsanya suatu bangsa
besar.
Masalahnya,
lama-kelamaan teater itu menjadi drama: pertarungan verbal menjadi
pertarungan nyata; persaudaraan antar-bangsa menjadi konfrontasi; konsensus
Nasakom menjadi gelanggang permusuhan; kaum cendekiawan (Manikebu) dan
militer kian capek menyaksikan kontradiksi antara norma ideal yang muluk dan
kenyataan yang menyedihkan. Maka, drama memuncak menjadi darah pada pengujung
bulan Oktober 1965. Hingga tatanan yang telah berlaku hingga waktu itu—Orde
Lama—seketika tumbang. Sang proklamator revolusioner kiri digeser oleh
seorang ”smiling general” bersemangat kanan. Kuasa retorika diganti oleh
kuasa realita: Wacana revolusi dan keadilan sosial ”out”, wacana stabilitas
dan pembangunan ekonomi ”in”. Marx dan teori konflik harus mengalah pada
Rostow dan teori ”take-off”-nya.
Zaman Orde Baru telah
tiba. Alhasil ekonomi memang membangun. Pragmatisme merajalela. Yang tadinya
dimusuhi sebagai imperialis disulap sebagai investor, sementara rekan-rekan
Indonesia-nya diangkat menjadi konglomerat atau ditolerir sebagai koruptor.
Rakyat tidak lagi lapar. Namun, meski ekonomi tumbuh, hilanglah impian
keadilan sosial, yang semakin mengakar di antara masyarakat Indonesia. Jadi
bila ”retorika” presiden pertama telah sering memicu konflik, ”realita”
sosial presiden kedua, yang telah muncul dalam darah, kerap juga bermuara
konflik.... Orde Baru pada gilirannya tumbang. Terbukalah pintu untuk demokrasi.
Itulah saat yang telah
lama dinantikan oleh Kompas. Selama puluhan tahun, generasi demi generasi,
wartawannya terpaksa pasrah mengalah. Baik di dalam tajuk maupun di dalam
beritanya, mereka lebih menyiratkan daripada menyatakan, mengimbau daripada
menegaskan. Namun, bak setangkai bambu yang menunduk di hadapan badai, Kompas
tidak pernah pecah dan selalu mampu kembali berdiri tegak.
Mengapa? Karena
senantiasa setia pada segelintir prinsip yang dipegang teguh:
humanis-spiritual atas segalanya; rasional; hati-hati terhadap retorika
radikal apa pun tetapi teguh di dalam menuntut keadilan; bersemangat dalam
kebinekaan dan terbuka terhadap perbedaan. Pendeknya, yakin bahwa kunci
kebersamaan yang sukses terletak pada proses tawar-menawar antarkelompok
sosial-ekonomi, religius, dan etnis yang disokong oleh landasan hukum yang
kokoh. Pendeknya, Kompas selama 50 tahun adalah guru demokrasi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar