Makanlah Kalau Imsak
Moh Mahfud MD ; Guru Besar Hukum Konstitusi
|
KORAN SINDO, 27 Juni 2015
Ketika saya masih
kuliah dulu, teman sekamar kos saya di Yogyakarta yang kini menjadi Rektor
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Akhmad Minhaji Moekti, mengambil sikap berbeda
dari orang-orang lain dalam hal makan sahur saat berpuasa.
Kalau orang-orang lain
segera berhenti makan sahur begitu mendengar sirene atau beduk atau
pemberitahuan masuknya waktu Imsak, teman saya ini justru segera memulai
makan sahur begitu mendengar seruan imsak.
Begitu ada seruan ”Imsaak, qad aana waktul imsaak”
(imsak, kini sudah masuk waktu imsak), Minhaji ini langsung makan sahur dan
baru berhenti kalau sudah berkumandang azan subuh.
Kalau sudah melewati
separuh bulan Ramadan biasanya sejak pukul 2.30 dini hari Minhaji sudah
berada di Masjid Almustaqiem untuk melanjutkan salat malam atau membaca
Quran, tapi begitu ada seruan imsak dia segera pulang dulu untuk makan sahur.
Teman-teman pada
berteriak, ”Eh, Min, ini sudah imsak, kok, masih makan?” Dia enteng menjawab,
”Mengapa? Kan, belum azan subuh?”
Bagi banyak orang
sikap dan jawaban Minhaji ini aneh, sebab biasanya begitu mendengar tanda
imsak orang yang berpuasa segera berhenti makan. Banyak orang tua langsung
meminta anak-anaknya berhenti makan begitu mendengar tanda imsak, tak peduli
makannya baru mulai atau sudah lama. ”Ini sudah imsak, berhenti makan minum,
puasa dimulai,” kata mereka.
Sebenarnya dari
sudut fikih, apa yang dilakukan Minhaji itulah yang benar. Di dalam ibadah
puasa yang dituntunkan oleh Rasulullah tidak dikenal adanya imsak seperti
yang kita kenal di Indonesia. Malah ada anjuran untuk mempercepat berbuka begitu berkumandang
azan magrib dan memperlambat waktu sahur sampai berkumandang azan subuh.
Maksudnya biar orang berpuasa tak terlalu lama menahan lapar dan haus. Baik
menurut kitab suci Alquran maupun yang dipraktikkan oleh Rasulullah waktu
dimulainya berpuasasetiaphari adalah saat masuk waktu subuh, bukan saat
dibunyikan sirene atau dikumandangkan seruan imsak.
Di dalam Alquran Surat
Albaqarah ayat 187 difirmankan, ”.... dan makan dan minumlah kamu hingga
terang bagimu benang putih dan benang hitam (yang menunjukkan terbitnya)
fajar.” Ayat ini sudah menegaskan bahwa kita boleh makan dan minum sampai
terbitnya fajar, yakni sampai masuk waktu untuk salat subuh. Terbitnya fajar
itu menandai masuknya waktu subuh. Praktik Rasulullah pun dalam melaksanakan
ibadah puasa seperti itu.
Di dalam sebuah hadis
riwayat Ahmad, Abu Daud, dan Hakim yang ditashih (dinyatakan sahih) oleh
Adzdzahaby disebutkan bahwa Nabi bersabda, ”Jika salah seorang dari kamu
mendengar azan sedangkan ia masih memegang piring (sedang makan sahur), maka
janganlah ia meletakkan piring itu hingga selesai makan.” Jadi, mendengar
azan subuh pun orang yang berpuasa tak harus langsung berhenti makan dan
minum, melainkan harus menyelesaikannya dengan tertib dan tenang, tak usah
dilakukan terburu-buru seperti dikejarkejar sesuatu yang menakutkan.
Dalam hadis lain yang
oleh Syekh Al-Abany dinyatakan sebagai hadis hasan, Ibnu Umar meriwayatkan
bahwa pada suatu hari saat sahabat Alqamah ibn Alaatsah makan sahur bersama
Rasulullah, datang Bilal yang akan mengumandangkan azan subuh, tetapi Nabi
meminta Bilal untuk menunda azan sebentar dengan sabdanya, ”Wahai Bilal, tunggu sebentar azannya,
Alqamah sedang makan sahur.”
Nash-nash tersebut
menunjukkan bahwa melaksanakan ibadah puasa itu yang wajar-wajar saja.
Berbuka puasa, ya, harus disegerakan begitu terdengar azan magrib, tak usah
sok kuat menunda berbuka sampai isya. Yang penting kalau tinggal di Jakarta,
ya, mengikuti waktu azan Jakarta, bukan mengikuti azan magrib Makassar.
Bersahur pun, ya,
dianjurkan agar diakhirkan sampai masuk waktu (azan) subuh, tak usah terlalu
takut batal sehingga terburu-buru mengakhiri makan dan minum padahal belum
fajar, apalagi mengopyak-opyak anak-anak yang masih enak-enak menikmati makan
sahur.
Bagi yang pernah
berpuasa Ramadan di Tanah Suci Mekkah dan Madinah, misalnya, pasti tahu bahwa
di sana tidak ada titik waktu imsak yang terlepas dari azan subuh. Di Mekkah dan
Madinah, waktu imsak dalam arti menahan dan menghentikan makan dan minum, ya,
berhimpit dengan saat azan subuh.
Bahkan banyak terlihat
di Masjidil haram orang yang segera mulai makan lagi begitu berkumandang azan
subuh sebagai makanan terakhir penutup sahur.
Penentuan imsak
(mulai menahan) 10 menit sebelum azan subuh tampaknya hanya kreasi kaum
muslimin di kawasan Asia Tenggara, terutama Indonesia dan Malaysia. Itu tentu baik saja
sebagai informasi bahwa waktu bersahur tersisa 10 menit lagi sehingga
orang-orang yang belum selesai makan sahur dapat segera menyesuaikan diri.
Tapi jangan dihukumkan bahwa imsak adalah titik waktu harus berhentinya makan
dan minum.
Pada saat masuk waktu subuh itulah kita mulai berhenti
makan dengan tenang dan mengakhiri dengan menyikat gigi untuk mulai berpuasa.
Jadi tenang-tenang saja, tak usah tergopoh-gopoh, apalagi sambil panik
berkejaran dengan bunyi beduk, sirene, atau suara azan. Beribadah dalam Islam
itu enak kok, tak memberatkan kita. Islam itu memberi ruang luas bagi kita untuk
hidup dan beribadah dengan enak, tetapi bukan seenaknya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar