Roh
KPK Disandera
Fransisca Ayu Kumalasari ; Alumnus Pascasarjana Fakultas Hukum UGM
|
KORAN JAKARTA, 04 Juni 2015
Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) bagai berada di ujung tanduk. Pukulan demi pukulan dilancarkan
dari berbagai sudut untuk menyudutkan ruang gerak komisi antirasuah ini. Kali
ini KPK harus menuai kekalahan untuk yang ketiga kalinya setelah palu hakim
praperadilan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Haswandi jatuh dan
memerintahkan KPK menghentikan penyidikan terhadap mantan Dirjen Pajak Hadi
Poernomo.
Gugatan Hadi
dikabulkan dengan kesimpulan bahwa penggeledahan dan penyitaan yang dilakukan
KPK terhadap Hadi adalah tidak sah. Tak hanya itu, surat perintah penyidikan
penetapan tersangka oleh KPK terhadap Hadi juga dinyatakan tidak sah. Putusan
Haswandi ini sungguh di luar dugaan. Sebelumnya, praperadilan juga
mengalahkan KPK dalam kasus mantan Wali Kota Makassar Ilham Arief Sirajuddin
dan Komisaris Jenderal Budi Gunawan. Dalam kasus Ilham, KPK dinilai tidak
memiliki bukti permulaan yang cukup untuk menersengkakan Ilham. Sedangkan
dalam kasus Budi, hakim mengatakan, KPK tidak berhak menyelidiki Budi karena
Budi bukanlah penyelenggara negara dan bukan penegak hukum.
Meski memiliki
kemerdekaan untuk memutuskan, putusan hakim Haswandi mengundang banyak
misteri dan pertanyaan. Putusannya untuk menghentikan penyidikan dianggap
melampaui substansi perkara yang diajukan Hadi yakni sebatas memohon
penghentian penyidikan KPK karena tidak sesuai prosedur. Itu pun permohonan
ini sejatinya melanggar Pasal 40 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 yang
menyatakan KPK tidak boleh menghentikan penyidikan atas sebuah kasus. Selain
itu, dalam putusan praperadilan juga dinyatakan bahwa penyelidikan kasus Hadi
tidak sah karena penyelidiknya bukan diangkat dari Polri sehingga dianggap
ilegal. Putusan ini tentu saja akan merestriksi kewenangan progresif sebagai
salah satu senjata KPK untuk mengusut dan memproses kasus-kasus korupsi yang
sangat sistemik dan berjejaring.
Ini tentu saja sebuah
distorsi peran yang dimainkan lembaga praperadilan khususnya di Pengadilan
Negeri Jakarta Selatan untuk mencoba merusak irama pemberantasan korupsi yang
kini tengah dikomandoi KPK. Padahal sidang praperadilan sudah jelas hanya
bertujuan untuk menguji hal-hal yang sifatnya prosedural serta administratif,
baik dalam hal penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan. Karenanya,
praperadilan tidak dalam domain menilai kebenaran alat bukti, kewenangan atau
keabsahan para penyelidik/ penyidik.
Jika Haswandi Effect
ini terus dibiarkan, kita khawatir perjalanan hukum di negeri ini akan mati
suri karena ada organisme hukum yang seenaknya menafsirkan fakta dan proses
hukum berdasarkan kehendak dan kepentingan di luar nalar dan akal sehat.
Dikatakan Haswandi Effect karena hakim ini pernah menjadi ketua majelis hakim
dalam kasus Anas Urbaningrum dan Andi Mallarangeng. Namun pertanyaannya
mengapa Haswandi tidak mempersoalkan prosedur penyidikan kasus keduanya.
Padahal kita tahu pada saat itu, proses pemidanaan Anas memperoleh atensi yang
luas dari berbagai kalangan baik media maupun praktisi hukum karena dianggap
sarat dengan aroma kontroversi atau kental bobot politisnya. Perlakuan hukum
yang berbeda ini tentu saja melahirkan kecurigaan.
Kalau saja Mahkamah
Konstitusi (MK) tidak menelorkan putusan bernomor 21/PUU-XII/2014 yang
berimbas pada perluasan obyek praperadilan dengan menyatakan penetapan
tersangka, penggeledahan, dan penyitaan adalah obyek praperadilan, penulis
yakin mungkin nasib KPK tidak “semenderita” sekarang.Dengan Putusan MK itulah
kemudian para hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menjadikannya sebagai
amunisi legal untuk mengabulkan secara membabibuta permohonan praperadilan
yang diajukan oleh para tersangka korupsi. Putusan MK ini seolah menyembelih
roh pemberantasan korupsi KPK.
Alarm pemberantasan korupsi
Kekalahan KPK di
praperadilan ini harus menjadi alarm bahwa lonceng pemberantasan korupsi di
negeri ini memang sedang mendekati ambang kehancuran. Ironisnya itu secara
diam-diam didesain oleh para penegak hukum itu sendiri. Padahal KPK adalah
jantung yang memompa darah sehat antikorupsi ke seluruh organ negeri ini. Dan
jika detak jantung ini terhenti, punahlah kehidupan hukum dan moral negeri
ini karena yang didapat sebaliknya adalah aliran darah kotor patologis
korupsi.
Kemampuan dan
keberanian KPK menyeret orang-orang penting di negeri ini ke bui merupakan
sebuah jendela harapan bahwa masih ada kebenaran dan moralitas yang berbicara
bagi bangsa ini, setelah sekian lama para pejabat dibiarkan bermandi ria uang
kotor oleh sistem kekuasaan yang rapuh dan berbelukar. Lembaga eksekutif,
legislatif maupun yudikatif yang dulunya tabuh disentuh oleh penegak hukum
konvensional, kini berhasil dibuat gemetar oleh langkah dan lompatan hukum
KPK. Keadaan ini harus diakui seperti mencopot selimut tebal di musim dingin
bagi musuhmusuh KPK. Eksistensi dan jaringan mutualisme kepentingan mereka
yang sudah terbangun lama serasa diguncang oleh militansi lembaga KPK yang
dikandung oleh sejarah reformasi 1998. Maka dicarilah lubang-lubang kelemahan
KPK agar sebisa mungkin menumpulkan taringnya sehingga kemudian berujunglah
pada “proyek” kriminalisasi masif terhadap pimpinan, komisioner maupun para
karyawan KPK. Aksi kriminalisasi ini sangat menguras energi bangsa dan ikut
pula menyeret wibawa kepresidenan. Implikasinya terus terasa hingga sekarang.
Resistensi terhadap KPK tidak saja dilakukan langsung oleh koruptor yang
sedang diperiksa, namun juga didesain oleh kekuatan-kekuatan terselubung yang
dianggap memiliki power untuk melemahkan dan mengaburkan mekanisme kerja KPK
agar tidak bergigi berhadapan dengan koruptor-koruptor raksasa.
Terlalu mahal harga
yang dibayar bangsa ini oleh putusan-putusan kerdil para hakim yang seolah
ingin kompromi terhadap kebusukan dan kejahatan korupsi. Selain turut andil
merusak optimisme bangsa ini untuk bangkit dari kultur korupsi, para pendekar
hukum juga akan berhadapan dengan pemilik segala kebenaran yakni Sang Khalik,
tempat di mana setiap keputusannya dipertanggungjawabkan.
Harta negara
KPK bagaimanapun
adalah harta negara yang perlu dijaga dan dipertahankan eksistensinya. Rakyat
pasti akan tetap mendukung kinerjanya sampai titik darah penghabisan, karena
mereka sudah telanjur sakit hati dengan koruptor yang tega bersenang-senang
di atas penderitaan rakyat. Untuk menunjukkan sikap pantang nyerah-nya, KPK
sudah sepantasnya mengajukan perlawanan hukum terhadap putusan praperadilan
tersebut lewat kasasi atau peninjauan kembali. Penulis setuju dengan saran
mantan penasihat KPK Abdullah Hehamahua agar Undang-undang KPK segera
direvisi terkait posisi tegas dan prosedur perekrutan sendiri penyelidik,
penyidik, JPU di luar kepolisian dan kejaksaan, sehingga setiap langkah dan
keputusan yang diambil kelak memiliki legitimasi yang tidak mudah untuk
dipersoalkan di kemudian hari. Untuk tidak memberikan preseden negatif bagi
integritas institusi hukum kita, sudah sepantasnya hakim Haswandi diperiksa
oleh Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung sebagai bagian dari akuntabilitas
lembaga hukum. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar