Hibah
Putu Setia
; Pengarang; Wartawan Senior Tempo
|
TEMPO.CO, 28 Juni 2015
Suasana rapat di sebuah desa di lereng gunung
yang mayoritas penduduknya masih bertani. Kepala Desa melaporkan renovasi
balai desa yang belum selesai. Iuran warga tahun lalu dan dana hibah dari
anggota DPRD belum mencukupi. "Bulan depan kita memasuki panen kopi,
saya kira warga masih bisa memberi iuran lagi," kata Kepala Desa.
Seseorang berteriak: "Interupsi, Pak
Kades. Sebentar lagi ada pilkada, kita coba cari dana hibah dari calon-calon
bupati dan juga dari DPRD seperti selama ini." Interupsi (warga kampung
sering salah ucap dengan: erupsi) menyusul dari warga lain. "Pak Kades,
balai desa belum penting benar, tunggu saja tahun depan. Nanti ada dana aspirasi
yang lebih besar. Menarik iuran dari masyarakat sudah kuno."
Apakah Anda paham dana hibah? Dana hibah atau
disebut dana bansos (bantuan sosial) adalah dana yang dikucurkan lewat APBD
(Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) untuk membantu proyek yang digagas
masyarakat. Proyek itu melewati proses proposal yang. diajukan ke pemda
provinsi. Kalau proposal disetujui, maka dana mengucur lewat pemda
kabupaten/kota. Tapi ada pula dana hibah yang merupakan jatah anggota DPRD
yang sudah ditentukan jumlahnya. Namun anggota DPRD tak memegang uang itu.
Jika proposal disetujui anggota DPRD, proyek pun berjalan lewat kucuran dana
dari pemda kabupaten/kota.
Hibah DPRD populer di pedesaan. Beberapa
proyek pun diterangkan lewat papan pengumuman. Misalnya, "Jalan ini
dibantu hibah DPRD Fraksi Golkar" atau "kolam pancing ini dari
hibah DPRD Fraksi PDIP" dan tertera nama anggota DPRD itu. Meski dana
mengucur dari pemerintah, masyarakat tak perlu repot mengurusnya. Anggota
DPRD itu yang mencairkannya, lalu menyerahkan uang ke masyarakat sebagai
"dana untuk membina konstituen". Bahwa uang yang diterima
masyarakat tidak sebesar kuitansi yang diteken, itu sudah umum.
Masyarakat
telanjur puas, tak perlu mengusut di mana uang itu berkurang, di anggota DPRD
atau di pemda kabupaten, atau sudah ada "pembagian".
Dana hibah atau dana bansos ini rupanya rawan
penyelewengan. Karena itu, Menteri Dalam Negeri membuat peraturan untuk
mengendalikan pemanfaatan hibah dan bantuan sosial yang dananya bersumber
dari APBD itu. Yakni lewat Permendagri Nomor 32 Tahun 2011. Di situ
ditekankan tertib aturan mengucurkan dana hibah. Kepada masyarakat diminta
pertanggungjawabannya atas dana itu dan akan ada pemeriksaan dari intern
aparat pemda maupun dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Menindaklanjuti Peraturan Menteri, para
gubernur bersikap. Di Bali, misalnya, ada Peraturan Gubernur Nomor 67 Tahun
2012 tentang Pedoman Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial Provinsi Bali. Karena
rawan korupsi, penerima hibah diperketat. Yang menarik jatah hibah lewat DPRD
juga diperketat dan diperkecil—yang sempat menimbulkan kehebohan. Konon jatah
setiap anggota DPRD dibatasi cuma Rp 300 juta dari Rp 2 miliar sebelumnya.
Dana aspirasi yang sudah disahkan DPR ini
sesungguhnya mengadopsi dana hibah yang sudah dikenal di daerah-daerah. Kalau
aliran dana Rp 300 juta saja penuh kerawanan, bagaimana dengan Rp 20 miliar?
Undang-Undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD memang menyebutkan anggota Dewan berhak
memperjuangkan program pembangunan di daerah pemilihannya. Tetapi caranya
bukan menentukan sendiri proyek dan besaran dananya. "Kerawanan"
yang jauh lebih besar lagi adalah dana hibah dan dana aspirasi (jika
disetujui pemerintah) akan membuat swadaya masyarakat dalam membangun desanya
jadi hilang. Kepala desa dan stafnya hanya sibuk membuat proposal. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar