Brain Drain dan Ogah Berkiprah
Azrul Ananda ; Dirut Jawa Pos Koran
|
JAWA POS, 24 Juni 2015
KATANYA, orang tipe A
akan cocok dengan orang tipe A juga. Tapi, orang tipe B justru lebih suka
yang tipe C. Lalu, orang C suka tipe D, begitu seterusnya…
***
Ungkapan itu lebih
banyak dibicarakan di bidang human resource alias SDM. Entah siapa yang
mengucapkannya duluan.
Ungkapan itu semacam
warning untuk proses rekrutmen. Bahwa orang tipe A akan merekrut orang tipe A
juga, sementara orang tipe B justru akan merekrut yang tipe C.
Alasannya, orang A
yang tergolong pintar/baik akan senang bekerja dengan orang yang juga pintar/baik.
Sama sekali tidak terancam oleh orang yang dia rekrut. Malah mencari
orang-orang pintar/baik lain supaya dia bisa bekerja lebih efektif dan
berkembang lebih jauh.
Sedangkan orang tipe B
atau yang kurang pintar/kurang baik justru akan mencari orang-orang tipe C
atau lebih tidak pintar/lebih tidak baik. Alasannya, supaya orang tipe B itu
tidak merasa terancam oleh anak buah atau sekelilingnya.
Gampang mengucapkan
dan menjelaskannya, tapi tidak mudah menerapkannya. Apalagi kalau kita yang
harus menerapkannya.
Lha kita ini tipe apa?
A atau B?
Jangan-jangan kita ini
malah tipe C?
Mencoba memperhatikan
sekeliling, mungkin ucapan itu benar juga. Mungkin bukan untuk mengukur
tingkat kepintaran, tapi sebagai alat ukur sifat/kebiasaan juga bisa.
Kenalan-kenalan saya
yang tipenya banyak omong tapi minim berusaha, kumpulnya ya dengan
mereka-mereka yang begitu juga.
Kenalan-kenalan saya
yang bersemangat, aktif, dan berani habis-habisan dalam berbuat, kumpulnya ya
dengan mereka yang seperti itu juga.
Yang suka makan kumpul
dengan yang suka makan, yang suka ”nakal” juga kumpul dengan yang suka
”nakal”.
Sekarang coba lihat
sekeliling Anda…
***
Takdir membuat saya
terlahir di Indonesia, dari dua orang tua warga negara Indonesia. Walau
sempat pergi menimba ilmu (cieeee…) ke luar negeri selama bertahun-tahun,
pada akhirnya kembali ke Indonesia.
Kembalinya benar-benar
by choice. Karena pilihan.
Pada 2000 itu,
sebenarnya ada pilihan tidak pulang. Menerima pekerjaan di sana. Dan itu
pilihan yang mungkin enak di saat saya lulus kuliah dulu. Sebab, saat itu
ekonomi di sana sedang booming. Teman saya seangkatan hanya dalam dua tahun
bisa membeli kondominium dan mobil Mercy sendiri. Tanpa minta orang tua,
benar-benar jadi diri sendiri.
Lalu, ada pilihan
pulang. Yang sebenarnya juga enak. Berkat kerja keras orang tua, hidup saya
tidak akan susah. Dan karena kerja keras sendiri, saya pun bisa ”jadi” juga.
Saya pikir, kalau saya
pulang, mungkin bisa lebih berguna. Dengan posisi seperti saya yang beruntung
ini, di Indonesia saya bisa lebih ”berbuat”.
Itung-itung ikut
membantu mengurangi terjadinya brain drain, yaitu ketika sebuah tempat
(negara) kehilangan orang-orang yang mampu atau bisa berbuat karena tidak mau
menetap.
Dan saya tidak sendirian.
Ada banyak yang mau pulang karena merasa mampu berbuat lebih. Walau beberapa
mungkin juga dipaksa oleh orang tuanya (”Kalau kamu tidak pulang, pabrik saya
jual!”).
Ya, Indonesia tetap
ada ”Indonesia”-nya. Harus berkutat dengan sistem birokrasi dan pemerintahan
yang ”Indonesia banget”, harus berkutat dengan banyak anggota masyarakat yang
”Indonesia banget”.
Tapi, Indonesia masih
punya hope. Masih punya harapan. Masih harus menjalani proses panjang menuju
negara idaman, tapi minimal jalan menuju ke sana bisa dilihat.
Tidak seperti melihat
cahaya di ujung terowongan gelap. Karena terowongannya tidak pernah
benar-benar gelap.
***
Lima belas tahun
kemudian…
Problem yang dulu ada
sekarang masih ada. Hal-hal yang ”Indonesia banget” dan seharusnya sudah
tidak ”banget” ternyata masih ”banget”, bahkan sampai kebangetan.
Saya jadi
bertanya-tanya. Masyarakat kita ini tipe apa ya? A atau B? Atau malah C.
Sehingga orang-orang yang kita pilih ini apa ya? Tipe A juga. Atau malah tipe
C, D, atau lebih buruk lagi.
Karena saya ikut
memilih, berarti saya ini tipe apa ya? Jangan-jangan saya ini tipe C?
Bukankah seharusnya
setelah 15 tahun berlalu, masyarakatnya semakin pintar?
Kalau memang kita
masyarakat tipe A, orang yang kita pilih adalah orang A. Dan dia akan
benar-benar mengelilingi dirinya dengan tipe A juga. Kalau terhalang, dia
akan mencoba mencari cara supaya orang-orang tipe A tetap ada di
sekelilingnya.
Tapi kalau yang kita
pilih tipe B, atau malah C, dia akan dikelilingi oleh orang-orang yang
tipenya lebih rendah. Yang kemudian mencari cara supaya orang-orang tipe
lebih rendah itu terus bertahan, menekan orang-orang tipe A supaya tidak
bermunculan.
Buntutnya, kalau
orang-orang tipe A ditekan, orang-orang tipe A lain akan ogah untuk ikut
berkiprah. Akhirnya, B dan C terus berkuasa, terus menggandeng orang-orang C
dan D. Dan pusaran itu akan terus berputar menenggelamkan semua…
Dan kalau kita
telanjur salah, berarti kita harus menunggu lima, sepuluh, atau bahkan lebih
lama lagi untuk mengoreksinya.
Ingat: Mengoreksi.
Bukan mengembangkan.
Kadang saya berpikir,
apakah saya ini sudah membuang begitu saja 15 tahun terakhir ini?
Jangan-jangan, saya akan jauh lebih enjoy kalau pada 2000 dulu memutuskan
untuk tidak pulang saja.
Dan tak heran kalau
banyak orang seperti saya jadi tidak mau pulang. Plus, mereka yang dapat
kesempatan untuk pergi akan melangkah dengan mantap meninggalkan negeri ini.
Dan itu berarti brain
drain…
Dan kalau terus brain
drain, ditambah dengan orang A ogah berkiprah, seperti apa masa depan kita
nanti? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar