Rekaman Ngaji
Junaidi Abdul Munif ; Penulis
|
KORAN TEMPO, 27 Juni 2015
Setiap Ramadan, banyak
masjid dan musala memutar rekaman mengaji Al-Quran untuk menemani saat sahur
dan menjelang berbuka puasa. Tujuannya ingin memberi kekhusyukan dan
mendapatkan berkah pada bulan puasa.
Pada Ramadan tahun
ini, Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) mengimbau masjid-masjid tidak memutar
rekaman lantunan ayat Al-Quran. Tahun lalu, JK, yang menjabat Ketua Dewan
Masjid Indonesia, pernah melontarkan kritik azan subuh yang menggunakan
pengeras suara terlalu keras. Bahkan masjid-masjid seolah berlomba
menyuarakan azan subuh.
Anjuran Jusuf Kalla
menuai banyak kecaman. Ada yang menganggap JK melarang orang mengaji. Di
negeri yang masih mengidap euforia kebebasan pers, pernyataan JK mudah
dipelintir.
Iwan Fals, dalam lagu
Si Tua Sais Pedati (Sarjana Muda, 1981), menyinggung maraknya penggunaan
teknologi dan mesin dalam kehidupan manusia, termasuk rekaman suara azan.
Katanya, seakan suara azan yang dikasetkan, sementara itu sang bilal (gawat)
pulas mendengkur. Lagu itu menjadi satire Iwan Fals terhadap gejala pemutaran
kaset azan dan ayat Al-Quran. Tugas bilal dan qari (pembaca Al-Quran) telah
digantikan oleh rekaman.
Memutar rekaman bacaan
Al-Quran "dilegitimasi" teks Islam. Kaum muslim lekat dengan hadis
Nabi yang mengatakan, pahala orang yang mendengar suara mengaji sama dengan
pahala orang mengaji. Tentu yang dimaksud tidak hanya mendengar sambil lalu,
tapi juga mendengar dengan memperhatikan apa yang dibaca.
Di masyarakat beredar
anekdot, pada hari kiamat, yang masuk surga itu tape recorder, kaset, dan
MP3. Sebab, benda-benda itulah yang rajin mengaji. Sedangkan manusia telah
merasa puas hanya dengan memutar MP3 Al-Quran, sambil membalas pesan BBM,
menjelajah Internet, berbalas komentar di Facebook, dan melakukan sederet
kegiatan lain.
Cendekiawan Martin van
Bruinessen (2013) menyimpulkan bahwa masyarakat menganggap fenomena pemutaran
kaset mengaji dan MP3 dianggap sebagai propaganda dari Yahudi. Tujuannya untuk
menjauhkan umat Islam dari tradisi mengaji secara langsung. Kebetulan pula,
maraknya kaset ngaji berbarengan dengan riuhnya isu anti-Zionis di Indonesia.
Tampaknya kritik Jusuf
Kalla mesti kita letakkan pada kesimpulan bahwa lebih baik mendengar secara langsung
orang mengaji ketimbang melalui rekaman. Dalam suasana halaqah seperti itu,
terjadi hubungan manusia yang paling genuine, pertemuan antarmanusia yang
tidak memerlukan alat bantu apa pun. Orang berkumpul mendaras Al-Quran,
bergantian membaca dengan keras, saling menyimak, dan mengingatkan kalau ada
bacaan yang salah, mungkin hanya kita temui setelah salat tarawih. Mereka
adalah orang yang masih setia tadarus dengan cara "konvensional".
Kita tampaknya perlu
membaca hadis lain bahwa, dalam perkumpulan orang yang saling mendaras
kitabullah, Allah akan menurunkan ketenangan dan rahmat. Mereka dikelilingi
malaikat, serta Allah akan menyebut nama mereka di sisi-Nya. Begitu indah
manfaat dari mengaji bersama secara langsung. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar