Pengembalian
Uang Korupsi
Agus Riewanto ; Pengajar Fakultas Hukum dan Pascasarjana Ilmu Hukum UNS
|
KORAN
JAKARTA, 09 Maret 2018
Di
tengah atmosfir semangat pemerintahan Joko Widodo untuk memberantas korupsi
tiba-tiba publik tersentak dengan kebijakan baru yang ironis dan paradoksal.
Ada Memorandum of Understanding (MoU) antara Inspektur Jenderal Kemendagri,
Sri Wahyuningsih, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus, Adi Toegarisman, dan
Direktur Reskrim Mabes Polri, Ari Dono Sukmono. Ini dalam koordinasi Aparat
Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) dan Aparat Penegak Hukum (APH) terkait
Indikasi Korupsi.
Dalam
MoU dinyatakan, jika seorang pejabat daerah yang diduga melakukan tindak
pidana korupsi, lalu mengembaikan uang kerugian negara selagi masih dalam
penyelidikan, kasusnya akan dihentikan (Koran Jakarta, 3 Maret 2018).
Kebijakan
hukum berupa MoU yang melepaskan sanksi hukum pidana kepada para koruptor
jika mengembalikan uang korupsi ini jelas menohok nurani publik. Ini
bertentangan dengan asas hukum pidana di mana korupsi merupakan tindak
kejahatan yang tidak mengenal proses penyelesaian di luar sistem peradilan
pidana (out of court settlement).Misalnya, alternatif di luar peradilan
(alternatif dispute resolution/ADR), perdamaian antarpihak, resolusi konflik
dan melalui perantara ketiga (arbriter).
Pola
penyelesaian di luar peradilan pidana hanya mungkin terjadi terhadap perkara
hukum perdata, hukum administrasi Negara, dan sebagian kecil hukum tata
negara.
Di
samping itu kebijakan ini juga telah mengkhianati doktrin hukum pidana
(principle of public law) di mana perbuatan kriminal apa pun nama dan
bentuknya semestinya dihukum (penjara, kurungan dan denda). Sebab fungsi
penghukuman dalam doktrin hukum pidana menumbuhkan aspek penjeraan
(deterrence of effect), agar pelaku tidak mengulangi perbuatan yang sama. Ada
juga pesan moral agar publik tak meniru perbuatan tersebut.
Ini
berarti isi MoU kasus korupsi pejabat daerah akan dihentikan jika
mengembalikan uang kerugian negara, asalkan masih dalam tataran penyelidikan,
telah sengaja menelikung beberapa peraturan perundangan yang bersifat positif
dalam penegakan hukum. Di antaranya, bertentangan dengan sistem hukum pidana
terutama UU No 1 tahun 1946, yakni Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
yang tidak mengenal istilah kompromi dalam penegakannya.
Kemudian,
berbenturan dengan UU Pokok Pemberantasan Korupsi (UU No 31/1999 junto UU No
20/2002). Asas penegakannya terletak pada penghukuman pidana. Itikad baik
untuk mengembalikan uang hasil korupsi tidak otomatis menggugurkan aspek
pidananya, tapi hanya meringankan sanksi pidana.
Berbenturan
dengan UUD 1945, Tap MPR No.VII/MPR/2001, Tap MPR No X/MPR/2001, Tap MPR No
VI/MPR/2002 yang menempatkan pengarusutamaan pemberantasan korupsi sebagai
kejahatan luar biasa (ordinary crime), sehingga kebijakan penegakan hukumnya
harus dipilih dengan cara-cara luar biasa pula.
Inkonsistensi
dengan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 7 tahun 2015 tentang Aksi Pencegahan
dan Pemberantasan Korupsi (Aksi PPK). Ada 96 butir Aksi PPK untuk
mengoptimalkan upaya-upaya penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana
korupsi untuk menghukum pelaku korupsi dan menyelamatkan uang negara.
Padahal
Inpres ini produk andalan utama pemerintahan Jokowi sesaat setelah dilantik
menjadi presiden baru hasil pemilu langsung 2014. Inpres tersebut juga
penjabaran dan pelaksanaan lebih lanjut Peraturan Pemerintah (PP) Nomor
55/2012 tentang Strategi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Jangka
Panjang Tahun 2012-2015. Dalam Inpres, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
(Bappenas) ditugaskan untuk memantau dan mengevaluasi pelaksanaan Aksi PPK
Tahun 2015, khususnya di lingkungan kementerian dan lembaga.
Pemerintah
telah mengkhianati janjinya sendiri di berbagai kesempatan. Presiden pilihan
rakyat akan memimpin langsung pemberantasan korupsi. Ini dinyatakan nalam
Nawacita. Membuat pemerintah tidak absen dengan membangun tata kelola
pemerintahan yang bersih, efektif, demokratis, dan tepercaya. Ini dengan
memberi prioritas pada upaya memulihkan kepercayaan publik pada
institusi-institusi demokrasi dengan melanjutkan konsolidasi demokrasi
melalui reformasi sistem kepartaian, pemilu, dan lembaga perwakilan.
Menolak
negara lemah dengan melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas
korupsi, bermartabat, dan tepercaya.
Pertanyaanya,
mengapa kebijakan yang jelas berbenturan dan bertentangan dengan aneka
realitas regulasi pemberantasan korupsi, prinsip, asas dan doktrin pidana ini
tetap digulirkan? Mudah diduga, aparat penegak hukum pemerintahan Jokowi
telah dirasuki pola penegakan hukum korupsi dengan membidik tercapainya
tingkat pengembalian (recovery rate) utang. Bila para koruptor telah
mengembalikan uang hasil jarahannya dipastikan negara akan dapat menutup
defisit APBN, tanpa mempertimbangkan aspek moralitas dan psikologis publik.
Instan
Kebijakan
yang dipilih untuk membebaskan koruptor dari sanksi pidana jika telah
mengembalikan uang merupakan cara instan memperoleh pendapatan Negara, tanpa
harus berkeringat dan berdarah-darah. Padahal cara ini irasional karena hanya
akan menguntungkan para koruptor. Dalam jangka panjang jelas akan merugikan
kepentingan nasional tentang penegakan hukum dan menumbuhkan diskriminasi
hukum.
Ini
terkesan kuat hukum lebih berpihak pada elite politik, ketimbang rakyat.
Sebab realitasnya, jika rakyat melakukan tindak pidana sekecil apa pun, tetap
diberi sanksi pidana dan tidak pernah ada pikiran untuk menawarkan alternatif
untuk tidak disanksi pidana jika bersedia mengembalikan kerugian tertentu
pada korban. Padahal prinsip hukum positif, asas kesederajatan antarsemua
warga (equaliy before the law).
Selain
itu, bukan tidak mungkin cara ini justru akan menyuburkan perilaku korupsi. Para
koruptor kendati telah mengembalikan uang dan tidak diberi sanksi pidana
dipastikan akan melakukan perbuatan dengan motif sama, kendati pilihan
berbeda. Di titik inilah rakyat menegarai MoU kemungkinan besar berkat
keberhasilan lobi tingkat tinggi antara elite politik dan penegak hukum di
Senayan dan Istana Presiden menjelang Pemilu Serentak Tahun 2019.
Dalam
konteks penegakan hukum, pilihan cara membebaskan sanksi hukuman pada
koruptor jika telah mengembalikan uang hasil korupsi menunjukkan, betapa penegakan
hukum masih harus bertekuk lutut pada elite politik dan konglomerat.
Pendeknya,
uang masih menempati urutan pertama dalam piramida kebijakan penegakan hukum
Indonesia. Itulah sebabnya MoU ini perlu dinjau kembali agar dapat meluruskan
nalar pemberantasan korupsi berbasis hukum, bukan kompromi politik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar