Senin, 19 Maret 2018

Pengembalian Uang Korupsi

Pengembalian Uang Korupsi
Agus Riewanto  ;   Pengajar Fakultas Hukum dan Pascasarjana Ilmu Hukum UNS
                                               KORAN JAKARTA, 09 Maret 2018



                                                           
Di tengah atmosfir semangat pemerintahan Joko Widodo untuk memberantas korupsi tiba-tiba publik tersentak dengan kebijakan baru yang ironis dan paradoksal. Ada Memorandum of Understanding (MoU) antara Inspektur Jenderal Kemendagri, Sri Wahyuningsih, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus, Adi Toegarisman, dan Direktur Reskrim Mabes Polri, Ari Dono Sukmono. Ini dalam koordinasi Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) dan Aparat Penegak Hukum (APH) terkait Indikasi Korupsi.

Dalam MoU dinyatakan, jika seorang pejabat daerah yang diduga melakukan tindak pidana korupsi, lalu mengembaikan uang kerugian negara selagi masih dalam penyelidikan, kasusnya akan dihentikan (Koran Jakarta, 3 Maret 2018).

Kebijakan hukum berupa MoU yang melepaskan sanksi hukum pidana kepada para koruptor jika mengembalikan uang korupsi ini jelas menohok nurani publik. Ini bertentangan dengan asas hukum pidana di mana korupsi merupakan tindak kejahatan yang tidak mengenal proses penyelesaian di luar sistem peradilan pidana (out of court settlement).Misalnya, alternatif di luar peradilan (alternatif dispute resolution/ADR), perdamaian antarpihak, resolusi konflik dan melalui perantara ketiga (arbriter).

Pola penyelesaian di luar peradilan pidana hanya mungkin terjadi terhadap perkara hukum perdata, hukum administrasi Negara, dan sebagian kecil hukum tata negara.

Di samping itu kebijakan ini juga telah mengkhianati doktrin hukum pidana (principle of public law) di mana perbuatan kriminal apa pun nama dan bentuknya semestinya dihukum (penjara, kurungan dan denda). Sebab fungsi penghukuman dalam doktrin hukum pidana menumbuhkan aspek penjeraan (deterrence of effect), agar pelaku tidak mengulangi perbuatan yang sama. Ada juga pesan moral agar publik tak meniru perbuatan tersebut.

Ini berarti isi MoU kasus korupsi pejabat daerah akan dihentikan jika mengembalikan uang kerugian negara, asalkan masih dalam tataran penyelidikan, telah sengaja menelikung beberapa peraturan perundangan yang bersifat positif dalam penegakan hukum. Di antaranya, bertentangan dengan sistem hukum pidana terutama UU No 1 tahun 1946, yakni Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang tidak mengenal istilah kompromi dalam penegakannya.

Kemudian, berbenturan dengan UU Pokok Pemberantasan Korupsi (UU No 31/1999 junto UU No 20/2002). Asas penegakannya terletak pada penghukuman pidana. Itikad baik untuk mengembalikan uang hasil korupsi tidak otomatis menggugurkan aspek pidananya, tapi hanya meringankan sanksi pidana.

Berbenturan dengan UUD 1945, Tap MPR No.VII/MPR/2001, Tap MPR No X/MPR/2001, Tap MPR No VI/MPR/2002 yang menempatkan pengarusutamaan pemberantasan korupsi sebagai kejahatan luar biasa (ordinary crime), sehingga kebijakan penegakan hukumnya harus dipilih dengan cara-cara luar biasa pula.

Inkonsistensi dengan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 7 tahun 2015 tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi (Aksi PPK). Ada 96 butir Aksi PPK untuk mengoptimalkan upaya-upaya penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi untuk menghukum pelaku korupsi dan menyelamatkan uang negara.

Padahal Inpres ini produk andalan utama pemerintahan Jokowi sesaat setelah dilantik menjadi presiden baru hasil pemilu langsung 2014. Inpres tersebut juga penjabaran dan pelaksanaan lebih lanjut Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 55/2012 tentang Strategi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Jangka Panjang Tahun 2012-2015. Dalam Inpres, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) ditugaskan untuk memantau dan mengevaluasi pelaksanaan Aksi PPK Tahun 2015, khususnya di lingkungan kementerian dan lembaga.

Pemerintah telah mengkhianati janjinya sendiri di berbagai kesempatan. Presiden pilihan rakyat akan memimpin langsung pemberantasan korupsi. Ini dinyatakan nalam Nawacita. Membuat pemerintah tidak absen dengan membangun tata kelola pemerintahan yang bersih, efektif, demokratis, dan tepercaya. Ini dengan memberi prioritas pada upaya memulihkan kepercayaan publik pada institusi-institusi demokrasi dengan melanjutkan konsolidasi demokrasi melalui reformasi sistem kepartaian, pemilu, dan lembaga perwakilan.

Menolak negara lemah dengan melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan tepercaya.

Pertanyaanya, mengapa kebijakan yang jelas berbenturan dan bertentangan dengan aneka realitas regulasi pemberantasan korupsi, prinsip, asas dan doktrin pidana ini tetap digulirkan? Mudah diduga, aparat penegak hukum pemerintahan Jokowi telah dirasuki pola penegakan hukum korupsi dengan membidik tercapainya tingkat pengembalian (recovery rate) utang. Bila para koruptor telah mengembalikan uang hasil jarahannya dipastikan negara akan dapat menutup defisit APBN, tanpa mempertimbangkan aspek moralitas dan psikologis publik.
Instan

Kebijakan yang dipilih untuk membebaskan koruptor dari sanksi pidana jika telah mengembalikan uang merupakan cara instan memperoleh pendapatan Negara, tanpa harus berkeringat dan berdarah-darah. Padahal cara ini irasional karena hanya akan menguntungkan para koruptor. Dalam jangka panjang jelas akan merugikan kepentingan nasional tentang penegakan hukum dan menumbuhkan diskriminasi hukum.

Ini terkesan kuat hukum lebih berpihak pada elite politik, ketimbang rakyat. Sebab realitasnya, jika rakyat melakukan tindak pidana sekecil apa pun, tetap diberi sanksi pidana dan tidak pernah ada pikiran untuk menawarkan alternatif untuk tidak disanksi pidana jika bersedia mengembalikan kerugian tertentu pada korban. Padahal prinsip hukum positif, asas kesederajatan antarsemua warga (equaliy before the law).

Selain itu, bukan tidak mungkin cara ini justru akan menyuburkan perilaku korupsi. Para koruptor kendati telah mengembalikan uang dan tidak diberi sanksi pidana dipastikan akan melakukan perbuatan dengan motif sama, kendati pilihan berbeda. Di titik inilah rakyat menegarai MoU kemungkinan besar berkat keberhasilan lobi tingkat tinggi antara elite politik dan penegak hukum di Senayan dan Istana Presiden menjelang Pemilu Serentak Tahun 2019.

Dalam konteks penegakan hukum, pilihan cara membebaskan sanksi hukuman pada koruptor jika telah mengembalikan uang hasil korupsi menunjukkan, betapa penegakan hukum masih harus bertekuk lutut pada elite politik dan konglomerat.

Pendeknya, uang masih menempati urutan pertama dalam piramida kebijakan penegakan hukum Indonesia. Itulah sebabnya MoU ini perlu dinjau kembali agar dapat meluruskan nalar pemberantasan korupsi berbasis hukum, bukan kompromi politik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar