Selasa, 13 Maret 2018

Pelemahan Rupiah atau Penguatan Dolar AS?

Pelemahan Rupiah atau Penguatan Dolar AS?
Sunarsip   ;   Chief Economist Bank Bukopin
                                                     REPUBLIKA, 12 Maret 2018



                                                           
Dalam sebulan terakhir, nilai tukar rupiah melemah cukup tajam terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Akhir pekan lalu, nilai tukar rupiah menyentuh Rp 13.794 per dolar AS.

Pelemahan rupiah atau penguatan dolar AS ini berpotensi menimbulkan dampak ikutan lain, khususnya yang terkait pemenuhan kewajiban kepada pihak luar negeri, seperti pembayaran utang luar negeri (ULN) maupun impor.

Beban pembayaran ULN menjadi lebih besar serta impor menjadi terasa lebih mahal. Kondisi ini bila tidak segera pulih berpotensi menghambat laju pemulihan kinerja industri serta konsumsi rumah tangga.

Pelemahan rupiah atau penguatan dolar AS ini memang di sisi lain juga memberikan dampak positif, khususnya bagi ekspor. Namun, bila melihat kinerja ekspor dan impor saat ini, dengan perbaikan ekspor kita lebih banyak ditopang kenaikan harga, pelemahan rupiah terhadap dolar AS berpeluang menggerus surplus neraca perdagangan kita.

Dengan demikian, memang akan lebih positif bagi neraca perdagangan (ekspor impor) kita bila nilai tukar rupiah bergerak stabil di kisaran yang ditetapkan APBN 2018, yaitu Rp 13.400 per dolar AS.

Muncul pertanyaan terkait apa yang terjadi pada nilai tukar rupiah ini. Pertanyaan tersebut umumnya berkisar apakah pelemahan rupiah ini disebabkan oleh kinerja perekonomian kita atau oleh faktor lain.

Lalu, sampai kapan kondisi ini akan berlangsung? Apakah hanya sementara atau akan lama? Tulisan ini akan mencoba menjawab sejumlah pertanyaan ini serta mengajukan saran terkait langkah antisipasinya.

Kinerja suatu mata uang pada umumnya dipengaruhi dua hal. Pertama, kekuatan fundamental ekonomi negara bersangkutan. Kedua, kondisi eksternal seperti kinerja perekonomian negara lain dan ekonomi global.

Suatu negara dengan fundamental ekonomi yang kuat pada umumnya mata uangnya akan relatif lebih kuat. Contohnya adalah Amerika Serikat. Karena secara fundamental ekonomi AS relatif lebih kuat dari negara lain, dolar AS juga memiliki kecenderungan sebagai mata uang yang kuat. Nilai tukar dolar AS memang tetap bergerak naik turun, tetapi nilai alamiahnya akan relatif lebih kuat daripada mata uang lainnya.

Kondisi di AS ini tentu berbeda dengan negara-negara sedang berkembang (emerging markets atau EM), termasuk Indonesia. Fundamental ekonomi EM secara relatif lebih rentan oleh gejolak eksternal.

Oleh karena itu, kinerja nilai tukar mata uangnya juga relatif lebih labil dengan tingkat volatilitas lebih besar. Karena karakteristiknya seperti itu, otoritas moneter dari setiap EM biasanya tidak memaksakan diri membuat nilai tukar mata uangnya kuat.

Yang lebih penting dilakukan oleh otoritas moneter masing-masing EM adalah dengan berupaya membuat nilai tukar mata uangnya bergerak stabil selama mungkin di level yang dapat diterima oleh stakeholders. Itulah yang juga dilakukan Bank Indonesia (BI) selaku otoritas moneter di Indonesia dan tentunya pula terdapat dukungan dari otoritas fiskal (dalam hal ini menteri keuangan).

Saya melihat bahwa pelemahan rupiah saat ini lebih banyak disebabkan oleh faktor eksternal daripada internal. Kinerja perekonomian kita sejauh ini masih cukup baik. Pada 2017, ekonomi kita masih tumbuh 5,07 persen, terutama didukung oleh sisi investasi dan ekspor.

Selama 2017, kinerja neraca perdagangan kita juga positif dengan mencatatkan surplus 11,84 miliar dolar AS, tertinggi sejak 2012. Cadangan devisa kita juga menunjukkan peningkatan. Per Januari 2018, cadangan devisa Indonesia mencapai 132 miliar dolar AS, tertinggi yang pernah dicapai Indonesia.

Cadangan devisa ini cukup untuk membiayai kebutuhan 8,2 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah. Dengan kondisi kinerja ekonomi tersebut, sebenarnya rupiah tidak selayaknya melemah cukup dalam seperti yang terjadi saat ini.

Pelemahan rupiah terhadap dolar AS saat ini lebih merupakan akibat dari perilaku sementara para pelaku pasar uang setelah melihat adanya potensi keuntungan yang lebih besar bila menaruh uangnya di pasar uang di AS. Bank sentral AS (the Fed) saat ini sedang dalam fase melakukan normalisasi kebijakan moneter seiring membaiknya kinerja ekonomi AS.
Salah satunya adalah dengan menerapkan kebijakan moneter yang lebih ketat melalui kebijakan kenaikan suku bunga acuan (the Fed Fund Rate/FFR). Selama 2018, FFR diperkirakan mengalami tiga kali kenaikan, bahkan terdapat prediksi empat kali naik.

Euforia kenaikan FFR inilah yang mendorong pelarian modal dari EM, termasuk Indonesia. Salah satu penyebab keluarnya dana-dana asing dari EM ke AS adalah dalam rangka mengambil keuntungan dari selisih suku bunga antara suku bunga yang berlaku di EM dan AS. Dalam pandangan saya, hal ini lumrah di pasar keuangan.

Setiap pemain di pasar keuangan pasti akan berburu keuntungan dengan cara memanfaatkan selisih keuntungan. Banyak studi juga menunjukkan kuatnya hubungan antara perbedaan suku bunga, perbedaan pertumbuhan ekonomi, dengan masuknya modal asing. Keluarnya modal asing dari EM inilah yang akhirnya memperlemah kinerja nilai tukar mata uang dari negara berkembang terkait.

Situasi pelemahan nilai tukar rupiah ini tidak akan berlangsung lama. Sesuai perilakunya, pelaku pasar uang akan kembali bersikap realistis bahwa langkah penempatan dana yang dilakukan saat ini dilandasi oleh reaksi yang sifatnya sementara.

Ekonomi AS memang sedang membaik. Kebijakan pemotongan tarif pajak yang dilansir Presiden Trump beberapa waktu lalu diyakini akan mendorong investasi masuk ke AS. Namun, para analis masih meyakini pemulihan ekonomi AS saat ini belum terlalu kuat. Inflasi di AS masih relatif rendah yang mencerminkan daya beli belum sepenuhnya pulih. Dampak positif tax cut policy juga diperkirakan tidak bisa jangka panjang.

Dengan kata lain, pelemahan nilai tukar rupiah saat ini lebih merupakan fenomena penguatan dolar AS. Rupiah masih berpotensi menguat setelah efek reaksioner sementara ini berakhir. Oleh karena itu, kebijakan otoritas ekonomi kita dalam merespons situasi ini juga tetap harus terukur dan tepat.

Saya mengusulkan beberapa hal sebagai respons atas situasi ini. Pertama, BI tidak perlu merespons pelemahan nilai tukar rupiah ini dengan kebijakan yang dapat memberikan dampak yang sifatnya fundamental. Salah satunya, BI tidak perlu merespons dengan menaikkan suku bunga acuan.

Kedua, pelemahan rupiah ini perlu dimanfaatkan dengan mendorong ekspor. Membaiknya ekonomi AS adalah momentum untuk mendorong ekspor ke AS yang saat ini kinerjanya menurun. Ekspor kita saat ini lebih banyak ke Cina karena muatan ekspor kita yang lebih banyak berupa komoditas.

Ketiga, dari sisi fiskal, pelemahan rupiah yang diikuti kenaikan harga minyak mentah perlu dimanfaatkan untuk mendorong kinerja lifting migas. Kinerja produksi beberapa blok migas saat ini masih belum optimal hingga menyebabkan penerimaan negara dari migas tidak sesuai potensinya.
Di sisi lain, beban subsidi energi berpotensi membengkak. Tidak bisa tidak, kenaikan lifting migas harus didorong untuk menjaga agar APBN kita tidak terbebani terlalu banyak oleh subsidi energi. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar