Senin, 12 Maret 2018

Merana Jadi Pohon

Merana Jadi Pohon
Muhammad Husein Heikal  ;   Analis Economic Action (EconAct) Indonesia
                                                        KOMPAS, 10 Maret 2018



                                                           
Harian The Washington Post (sebagaimana dilansir Kompas, 5/2018) memberitakan di Basking Ridge, New Jersey, AS, sebatang pohon ek putih sakit. Kondisi pohon ini membuat seluruh warga kota itu prihatin. Dokter pohon telah memeriksa tanah di sekitar pohon itu, dan melakukan berbagai upaya agar pohon yang telah berusia 277 tahun itu pulih kembali.

Membaca berita ini, setidaknya tiga perasaan yang meliputi saya. Pertama, cukup mengejutkan. Bagaimana sebatang pohon berhasil menimbulkan kegemparan bagi seluruh warga kota.

Kedua, sangat terharu, bahkan sampai saat menulis artikel ini rasa haru itu masih berlangsung. Ini menandakan betapa mereka, warga Basking Ridge, sangat menyayangi alam lingkungannya.

Ketiga, saya merasa sulit menggambarkan perasaan saya ini: antara malu, kesal dan geram bercampur-aduk. Rasa malu ini berorientasi pada individu saya sendiri. Sebagai salah seorang warga bumi, saya belum dapat dikatakan mencintai alam. Rasa kesal tertuju pada para masyarakat di sekitar saya dan yang saya perhatikan juga masih belum mencintai alam. Sementara rasa geram berkorelasi dengan pemerintah selaku pemegang kebijakan yang juga belum mencintai alam dan lingkungannya.

Awal artikel ini jadi semacam curahan bagi perasaan saya terhadap alam. Akan tetapi memang demikianlah yang saya rasakan. Tersebab di kota yang saya hidup sekarang ini, kota Medan, pohon-pohon tak bernasib sebaik pohon-pohon di Basking Ridge. Pohon-pohon di kota Medan terlihat merana. Tumbuh satu-satu, berjauhan dengan temannya, sesama jenis pohon. Seolah setiap pohon diisyaratkan untuk hidup dengan usaha dan kemampuan sendiri. Sesama pohon tak boleh saling berdekatan, seolah mereka dilarang berteman.

Atas nama praksis pembangunan, tanpa ragu dan tak sungkan pohon-pohon ditebang. Sebatang pohon dianggap tak berarti dibanding proyek-proyek yang bakal dibangun di area pohon itu sebelumnya. Padahal bila dihitung, kehilangan satu pohon dewasa setara kehilangan nilai uang Rp 17 juta. Jumlah ini dihitung dari nilai ekonomi dan ekologis-nya.

Berbagai penelitian telah membuktikan bahwa satu hektar ruang terbuka hijau yang dipenuhi pohon besar mampu mencukupi banyak kehidupan (warga) kota. Ruang sebesar ini dapat menghasilkan 0,6 ton oksigen untuk kebutuhan bernapas 1.500 orang per hari, menyerap 2,5 ton karbondioksida (CO2) per tahun, menyimpan 900 meter kubik air tanah per tahun dan mentransfer air 4.000 liter per hari. Selain itu, pepohonan juga menurunkan suhu 5-8 derajat Celcius, meredam kebisingan 25-80 persen, serta mengurangi kekuatan angin 75-80 persen.

Sebagai refleksi, mari kita lihat sungai yang senantiasa mengalirkan air, meski kini air yang dialirkannya semakin lama kian mengeruh. Selain itu, pohon yang memberi kita udara segar untuk bernapas, dan sayangnya kini pohon-pohon menjadi cukup langka kita temukan di kota Medan.
Bila Anda berkunjung ke kota Medan, di pusat kota terus berlangsung pembangunan demi pembangunan yang menyeruakkan debu. Tentu saja ini berdampak bagi kesehatan warga kota. Debu-debu ini tak tersaring, dan masuk dengan bebas ke rongga pernapasan kita. Toh, pohon-pohon yang berfungsi menyaring sudah berhilangan digantikan oleh tonggak-tonggak beton penyangga bangunan.

Apalagi bila suhu mencapai 37 derajat Celcius. Wih! Kepala serasa terbakar di tengah kemacetan kota yang terus melanda. Inilah Medan! Inilah sebuah kota metropolitan yang tengah gencar membangun peradaban, tapi tanpa mengindahkan kodrat lingkungan dan alam.

Kini, apakah warga kota Medan—dan kota-kota lain—sudah memerhatikan alam dan lingkungan kita di tengah praktik pembangunan yang gencar? Saya kira belum. Kian waktu kita tak lagi merasakan keteduhan kota yang berulang kali meraih Adipura ini. Inilah Medan, Bung!

Kota Medan kini kian kerontang dalam slogan metropolitannya. Go green sekadar bunyi tanpa arti. Alam dan lingkungan tersingkirkan, apalagi hanya sebatang pohon yang dianggap tak berarti. Kapan kita jadi seperti warga Basking Ridge, yang ketika melihat sebatang pohon sakit kita ikut prihatin dan khawatir?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar