Memilih
Wapres Ke-13
Budiarto Shambazy ; Wartawan Kompas 1982-2017
|
KOMPAS,
21 Maret
2018
Sejarah selusin wakil presiden sejak 1945
sampai kini membuktikan bahwa posisi RI-2 tersebut lebih banyak berfungsi
sebagai ”ban serep” saja. Fungsi itu terasa sekali dalam era wapres-wapres
pilihan Presiden Soeharto yang berasal dari Golkar.
Para wapres tersebut adalah Adam Malik
(1978-1983), Umar Wirahadikusumah (1983-1988), Sudharmono (1988-1993), Try
Sutrisno (1993-1998), dan BJ Habibie (1998). Kelima wapres ini, plus Jusuf
Kalla (2004-2009 dan 2014-2019), adalah orang-orang Golkar.
Ada tiga wapres yang bukan orang partai, yakni
wapres pertama Mohammad Hatta yang bertugas pada periode 8 Agustus 1945-19 Desember
1948, 3 Juli 1949-27 Desember 1949, dan 15 Agustus-1 Desember 1956.
Jabatan wapres dalam era ini bahkan sempat
lowong karena ada Pemerintahan Darurat Republik Indonesia pada 19 Desember
1948-13 Juli 1949 dan berdirinya Republik Indonesia Serikat pada 27 Desember
1949-15 Agustus 1950.
Hatta mengakhiri era keemasan dwitunggal
setelah mengundurkan diri dari jabatan wapres pada tahun 1956 karena
menganggap Presiden Soekarno semakin otoriter. Soekarno di sisi lain amat
menghormati Hatta sebagai proklamator ataupun sebagai administrator yang
memimpin kabinet sebagai perdana menteri (29 Januari 1948-20 Desember 1949).
Hatta dipercaya pula oleh Soekarno sebagai
menteri pertahanan dan juga menteri luar negeri dalam kisaran waktu kurang
dari setahun.
Konsep ”dwitunggal” ini barangkali sulit
terulang kembali karena perjalanan unik Bung Karno dan Bung Hatta yang
memperjuangkan, mendirikan, membentuk, dan menggembala republik ini sejak
mereka berusia muda. Ketika Soekarno sakit, Hatta nekat minta izin menjenguk.
Mereka menangis sambil bergenggaman tangan, dan dua hari kemudian Soekarno
wafat.
Wapres nonpartai kedua adalah Sultan Hamengku
Buwono IX (1973-1978), wapres pertama Orde Baru sekaligus Presiden Soeharto.
Portofolio Sultan sebagai Gubernur Yogyakarta, pejuang, jenderal bintang
tiga, menteri, dan deputi PM pada masa Orde Lama, juga menko ekonomi Orde
Baru, membuatnya lebih ”menjulang” daripada Presiden Soeharto.
Sebagian kalangan bahkan menganggap Sultan
sebagai pengganti Soeharto setelah ia magang sebagai wapres 1973-1978.
Ketika Adam Malik menggantikan Sultan sebagai
wapres, tak urung ada juga yang terkejut. Gosip-gosip menyebut dia sudah
”tua”, berusia 65 tahun—Soeharto baru 56 tahun.
Untuk menangkal gosip itu, harian Kompas di
halaman depan memuat foto besar Sultan sedang mengendarai sedan, pertanda dia
masih ”muda”. Karier politik Sultan selesai sudah, dia lebih banyak berkiprah
di bidang olahraga sebagai Ketua KONI Pusat dan juga sebagai ”Bapak Pramuka”.
Dan, wapres nonpartai yang ketiga adalah
Boediono (2009-2014). Sebelum menjadi wapres untuk Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono, Boediono bertugas sebagai menteri negara Bappenas (1998-1999) pada
era Presiden BJ Habibie, menteri keuangan (2001-2004) pada era Presiden
Megawati Soekarnoputri, menko ekonomi (2005-2008), dan gubernur Bank
Indonesia (2008-2009) masing-masing pada era Presiden Yudhoyono.
Presiden Yudhoyono memilih Boediono karena
wapres dia sebelumnya, Jusuf Kalla, dinilai terlalu menonjolkan diri. Ada
pula sebagian kalangan yang beranggapan Jusuf Kalla berprinsip ”lebih cepat
lebih baik” karena Yudhoyono dianggap lamban dalam mengambil keputusan.
Jusuf Kalla akhirnya mencalonkan diri sebagai
presiden tahun 2009 dan kalah telak dengan suara cuma 12,41 persen di bawah
Yudhoyono (60,8 persen) dan Megawati (26,79 persen).
Mungkin, wapres Golkar yang paling menonjol
adalah Adam Malik, yang berjuluk ”Si Kancil” yang terkenal dengan ucapan
”semua bisa diatur”. Adam Malik sebelumnya dikenal sebagai wartawan kawakan
yang lebih banyak berkiprah di dunia internasional sebagai menteri luar
negeri (1966-1977).
Ia satu-satunya putra Indonesia yang pernah
memimpin sebagai Ketua Sidang Umum PBB (1971-1972) dan juga sering
berdiplomasi ke mancanegara untuk meyakinkan negara-negara sahabat dan
lembaga-lembaga internasional tentang perubahan Indonesia dari Orde Lama ke
Orde Baru.
Umar Wirahadikusumah dipilih Presiden Soeharto
karena jasanya mengamankan ibu kota Jakarta pada saat-saat genting
pasca-peristiwa Gerakan 30 September 1965. Kala itu, salah satu pesaing Umar
yang namanya sering beredar adalah Mendagri Amir Machmud.
Amir salah seorang jenderal yang menjadi saksi
mata penandatanganan Supersemar oleh Bung Karno di Istana Bogor, 11 Maret
1966. Amir menggantikan Umar sebagai Pangdam Jaya dan, juga seperti Umar,
sesama warga Sunda.
Sebagian elite Orde Baru tak setuju ketika
Presiden Soeharto memilih Sudharmono sebagai cawapres di ajang Sidang Umum
MPR. Nama lain segera digulirkan, Jaelani Naro, yang dicalonkan oleh Partai
Persatuan Pembangunan (PPP). Untuk pertama kalinya dalam sejarah ada dua
cawapres, membuat terbukanya kemungkinan voting. Namun, pada saat-saat
terakhir, PPP menarik pencalonan Naro dan Sudharmono menjadi calon tunggal.
Cawapres selanjutnya, Try Sutrisno, langsung
diumumkan ABRI tanpa sepengetahuan Soeharto yang dikabarkan ingin memilih BJ
Habibie. Soeharto yang pada awalnya tidak menghendaki pencalonan Try akhirnya
mengalah agar tidak terjadi konflik dengan ABRI. Terlebih lagi, nama Try
telanjur beredar luas di media massa. Habibie tidak lama bertugas sebagai
wapres, hanya kurang dari satu bulan.
Sejak era Reformasi, Partai Demokrasi
Indonesia Perjuangan (PDI-P) menempatkan Wapres Megawati (1999-2001) dan dari
PPP ada Hamzah Haz (2001-2004). Selebihnya, kita tahu Jusuf Kalla pertama
kali cawapres yang didukung Golkar dan yang kedua kali didukung separuh hati
oleh partainya yang kala itu mendukung duet Prabowo Subianto-Hatta Rajasa.
Tak mustahil Jusuf Kalla kembali menjadi
cawapres Jokowi jika hambatan konstitusional di atas di Mahkamah Konstitusi.
Untuk Pilpres 2019, nama cawapres yang
mendampingi Jokowi mungkin lebih dari sepuluh. Sebuah hal yang pasti,
mengulang pengalaman menjelang Pilpres 2014, peranan Ketua Umum PDI-P
Megawati Soekarnoputri akan sangat dominan dalam menentukan nama cawapres
bagi Jokowi.
Ini lumrah mengingat Jokowi kader PDI-P yang
akan sering terlibat dalam backroom deals dengan Megawati seperti, sekali
lagi, menjelang Pilpres 2014.
Akan menarik, siapa saja nama yang akan
disodorkan Megawati kepada Jokowi? Bisa kader sendiri, bisa juga kader partai
lain, dan tak mustahil pula nonkader partai yang dekat dengan PDI-P. Sebuah
hal yang pasti, Megawati mungkin baru akan menentukan pilihan pada
detik-detik terakhir menjelang pendaftaran 4-10 Agustus 2018.
Siapa pun yang berminat, kader partai-partai,
tokoh-tokoh nonpartai, menteri-menteri Kabinet Kerja, sejak kini sebaiknya
mulai mengampanyekan diri. Sebagian sudah memulainya dan nama mereka rupanya
mulai beredar di kalangan masyarakat karena dikenalkan lembaga-lembaga survei
dan menjadi percakapan di media arus utama dan sosial.
Eh, ngomong-ngomong, kita akan memilih wapres
ke-13, moga-moga bukan angka sial, ya? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar