Krisis
Kader Pemimpin Nasional
Kiki Syahnakri ; Ketua Umum Persatuan Purnawirawan Angkatan Darat (PPAD)
|
KOMPAS,
22 Maret
2018
Proses Pemilihan Presiden/Wakil Presiden
2019 sudah mulai bergulir. Berbagai media pun sudah meramaikannya dengan
diskursus tentang pencalonan serta koalisi parpol pendukungnya. Dalam bulan
Agustus nanti atau tinggal empat bulan lagi, calon pasangan presiden-wakil
presiden harus sudah didaftarkan ke Komisi Pemilihan Umum (KPU). Namun sejauh
ini calon yang secara resmi telah dimunculkan lewat partai politik baru Joko
Widodo dan Prabowo Subianto. Keduanya adalah muka lama yang pernah bertarung
dalam Pilpres 2014. Dikabarkan pula bahwa Prabowo pun masih mikir-mikir
karena dia realistis dan tidak mau dikompori.
Satu harian terbitan Jakarta menilai
tiadanya wajah baru kader pimpinan nasional yang segar dan berkualitas dalam
perhelatan politik 2019 ini sebagai tanda bahwa bangsa Indonesia belum move
on, sekaligus tengah mengalami krisis kader pemimpin nasional.
Akar
masalah
Sebuah ironi, mengapa bagi Indonesia yang
jumlah penduduknya nomor empat terbesar di dunia sangat sulit mencetak kader
pemimpin nasional yang kuat, berkarakter mengagumkan, berkompetensi membanggakan
dan visioner, yang mampu memberi harapan bagi kemajuan bangsa-negara di masa
datang?
Masalah ini bukan hal sederhana, melainkan
sangat fundamental yang akan memengaruhi eksistensi dan keberhasilan
bangsa-negara ke depan. Terlebih dalam menghadapi tantangan bahkan ancaman
aktual dalam percaturan global yang diwarnai persaingan ketat.
Akar masalahnya, pertama, karena sejak
reformasi kita telah menganut dan memberlakukan sistem politik/demokrasi
liberal sehingga fondasi Pancasila pun digantikan dengan
liberalisme-individualisme. Sesuai watak sistem politik/demokrasi liberal
yang bercirikan kompetisi bebas, bila diterapkan di negara berkembang sangat
potensial memunculkan oligarki.
Hal itu ditambah keberadaan UU Parpol yang
membuka peluang bagi para elite untuk memperoleh kewenangan luas dalam
mengendalikan parpol, sehingga kini pada umumnya parpol di Indonesia telah
dihinggapi dan dibelenggu oligarki kapitalis/korporasi serta dinasti. Tidak heran bila sebagian (besar) partai
politik di Indonesia menjadi ekslusif-tertutup, sehingga menjadi hambatan
bagi proses kaderisasi yang sehat. Sebaliknya, yang tumbuh subur adalah
nepotisme dan machiavellisme.
Kedua, pada umumnya parpol tidak
difungsikan dengan sebagaimana mestinya. Sering kita saksikan justru dijadikan
kendaraan politik yang disewakan. Akibatnya, secara derivatif telah
menyuburkan politik uang yang meluas melanda berbagai kalangan, termasuk para
pemilik hak suara, sehingga ongkos politik pun menjadi sangat mahal.
Pada akhirnya kader pemimpin di pusat
maupun daerah yang muncul hanya mereka yang kantongnya tebal, tidak tersaring
kader yang sesungguhnya berkualitas namun tidak memiliki cukup ‘gizi’.
Ketiga, berpolitik tanpa ideologi
(Pancasila), lalu berkembang pragmatisme overdosis. Panggung politik pun
hanya diramaikan oleh pentas perebutan kekuasaan antar-elite, tidak untuk
kepentingan rakyat. Diperparah oleh kondisi multi-partai yang membuat
kepentingan para elite politik menjadi luas dan beragam. Akibatnya,
kaderisasi pimpinan berdasarkan meritokrasi yang sesungguhnya merupakan salah
satu fungsi parpol tidak berjalan, dikalahkan oleh kepentingan para elitenya.
Keempat, berkembangnya dunia ”simulacra”,
sebuah kehidupan masyarakat post-modern yang diwarnai campur-aduknya antara:
nilai-citra, benar-hoax, nyata-semu, asli-palsu; buah dari pesatnya kemajuan
teknologi informasi yang dimanfaatkan masyarakat dalam melakukan komunikasi
sosial. Lewat berbagai media informasi, dikembangkan “proses simulasi” yang
antara lain bertujuan untuk menyulap citra seseorang sehingga melambung
tinggi, jauh dari kenyataannya. Pada ujungnya, bermunculan kader karbitan,
produk simulacra yang berkualitas semu.
Kelima, sistem otonomi daerah yang pada
tataran implementasinya kebablasan. Pada umumnya elite politik daerah mengidentifikasikan
diri/kelompoknya berdasarkan SARA (suku, agama, ras, antar-golongan), lalu
berkembang politik identitas di daerah.
Akibatnya terjadi segregasi
sosial-horizontal yang juga berdasarkan SARA. Kondisi ini selain potensial
memicu konflik, juga menghambat pertumbuhan kader daerah yang sebenarnya
berkualitas tapi tak memiliki kecocokan SARA dengan elitenya.
Rekomendasi
Menilik akar masalah di atas, dapat
disimpulkan krisis kader pemimpin nasional ini sebagian besar karena sistem
kenegaraan yang tak cocok serta peran parpol dan (terutama) elite
politik/pucuk pimpinannya. Maka, upaya perbaikannya pun sangat bergantung
pada cara pandang dan kemauan mereka. Jika demi kepentingan bangsa-negara
mereka bersedia menanggalkan kenyamanan yang didapat dari sistem
politik/demokrasi yang berlaku saat ini, maka jalan ke arah perbaikan pun
akan terbuka lebar.
Langkah yang harus dilakukan, pertama dan
yang paling utama adalah melakukan kaji ulang terhadap UUD hasil amandemen
yang telah membuat sistem politik/demokrasi kita menjadi sangat liberal,
tidak cocok dengan lingkungan sosial maupun akar budaya bangsa.
Secara filosofis, kaji ulang adalah
mengembalikan “roh” Pancasila ke dalam batang-tubuh UUD, implementasinya
antara lain dengan mengembalikan fungsi MPR sebagai lembaga tertinggi negara
dan pusat kedaulatan rakyat. Diikuti dengan revisi semua UU menyangkut politik, seperti: UU MD3, UU
Parpol, UU Pemilu dan Pilkada, dan juga UU Otonomi Daerah. Dalam konteks ini
perlu dipikirkan kemungkinan agar parpol tidak menjadi satu-satunya sarana
atau akses bagi rekrutmen kepemimpinan nasional, sedemikian rupa sehingga
para kader dari luar parpol pun dapat ikut berkontestasi.
Langkah berikutnya, segera melakukan
“reformasi parpol”, yang pada intinya menjalankan fungsi parpol secara utuh.
Terdapat banyak fungsi parpol, akan tetapi yang penting di antaranya fungsi
perekrutan kader pimpinan politik, pendidikan politik, komunikasi politik,
artikulasi dan agregasi kepentingan.
Selanjutnya, menegakkan meritokrasi dalam
internal parpol dengan penuh kesungguhan dan tanggung jawab. Meritokrasi akan
meniadakan politik dinasti, politik uang, lahirnya politisi karbitan, serta
praktik-praktik machiavellisme. Semoga ke depan akan lahir kader-kader
pemimpin nasional yang sangat kita butuhkan dan harapkan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar