Demokrasi
tidak Berjalan Sendiri
Despan Heryansyah ; Peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK);
Program Doktor Fakultas Hukum UII
Yogyakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 20 Maret 2018
DEMOKRASI prosedural telah
mengantarkan kita pada ruang yang penuh paradoks, orang kemudian
berbondong-bondong atas nama dan kekuatan mayoritas menggerakkan masa lalu
menekan negara mengikuti kehendak mereka, tidak jarang kehendak itu justru
menabrak prinsip-prinsip demokrasi.
Padahal, demokrasi sejak
semula adalah resistensi terhadap elitisme politik, ia adalah perlawanan tak
bersenjata terhadap kekuasaan yang dipegang kaum berpunya.
Oleh sebab itu, demokrasi
harus mengatasi bentuknya yang sekarang berupa prosedur semata, meski yang
prosedural itu sendiri tidak dapat dihilangkan, demokrasi substansial mutlak
dibutuhkan.
Demokrasi prosedural
mengandung dua ancaman yang sama latennya. Pertama, demokrasi dibajak mereka
yang sejatinya antidemokrasi. Kelompok-kelompok sektarian dapat mengambil
hati konstituen secara demokratis, tetapi setelah berkuasa, mereka membakar
jembatan yang mereka buat sendiri. Ada kecenderungan di Indonesia bahwa
kepentingan mayoritas, biasanya atas nama keamanan, harus lebih diutamakan
daripada kepentingan minoritas, tidak peduli sepenting apa pun hak minoritas
yang dikorbankan itu.
Kedua, demokrasi dibajak
orang-orang berpunya.
Demokrasi merosot maknanya
menjadi kompetisi untuk mendulang suara yang di dalamnya popularitas menjadi
kunci utama. Sementara itu popularitas jarang dibangun dari keringat
kerja-kerja politik, tetapi dari iklan politik belaka. Tak ayal, para
pemenang pun ialah mereka yang bermodal atau dimodali para cukong. Kualitas
demokrasi pun dipertaruhkan ketika relasi politik berubah menjadi transaksi
ekonomi belaka.
Karena itu, demokrasi
tidak dapat berjalan sendiri. Hampir sepanjang perjalanan sejarahnya, teori
dan praktik tentang demokrasi terpusat pada klaim-klaim yang berlawanan
mengenai kekuasaan oleh kelompok-kelompok sosial yang bersaing. Demikianlah,
David Held memulai karyanya, Models of Democracy, dengan mendefinisikan
demokrasi sebagai 'suatu bentuk pemerintahan dengan pertentangan monarki dan
aristokrasi, rakyatlah yang memerintah'.
Konteks di Indonesia misalnya,
sekelompok orang yang menamakan diri sebagai wakil mayoritas mendatangi
pengadilan untuk mengintervensi penegakan hukum, atau sekelompok wakil rakyat
yang mengesahkan undang-undang yang isinya justru bertentangan dengan
kehendak rakyat. Karena itu, bagi penulis, kesendirian demokrasi itu harus
ditemani atau bahkan didasari hak asasi manusia.
Demokrasi bertujuan untuk
memberdayakan rakyat, guna menjamin agar merekalah, dan bukan satu kelompok
tertentu dalam masyarakat, yang memerintah. Demokrasi mengalokasikan
kewenangan kedaulatan kepada rakyat yang, karena merekalah yang berdaulat,
bebas untuk menentukan berbagai sistem politik, ekonomi, sosial, dan
budayanya sendiri.
Sebaliknya, hak-hak asasi
manusia bertujuan memberdayakan individu-individu, dan dengan demikian
membatasi kedaulatan rakyat dan pemerintahannya. Konsep ini lahir dari
pemahaman bahwa hak asasi manusia melekat pada setiap manusia karena dirinya
adalah manusia.
Cakupan yang dapat
diterima dari berbagai sistem dan praktik politik, ekonomi, sosial, dan
budaya secara tegas dibatasi persyaratan bahwa semua itu tidak merendahkan
martabat kemanusiaan, bahkan yang sangat minoritas sekalipun.
Hanya jika kehendak rakyat
yang berdaulat menghormati hak-hak asasi manusia, dan dengan demikian membatasi
berbagai kepentingan dan tindakannya sendiri, demokrasi akan memberi andil
dalam mewujudkan hak-hak asasi manusia.
Akan tetapi, dalam
praktik, kehendak rakyat, bagaimanapun kehendak itu diketahui, sering kali
bertolak belakang dengan hak-hak individual para warga negara. Dalam kondisi
seperti ini, warga negaralah yang selalu diminta untuk mengalah.
Demokrasi tidak jarang
melayani kepentingan khusus dari para konstituen utama. Demokrasi langsung
bahkan, seperti yang secara dramatis diperagakan orang-orang Athena, bisa
saja secara sangat mencolok berciri tidak toleran. Lalu bagaimana dalam
demokrasi perwakilan? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar