Selasa, 13 Maret 2018

Cadar dan HAM

Cadar dan HAM
Ratno Lukito  ;   Direktur Riset dan Publikasi Yayasan Sukma
                                              MEDIA INDONESIA, 12 Maret 2018



                                                           
SUATU hari dunia pendidikan di Kanada dihebohkan dengan kasus dikeluarkannya siswa dari suatu SMA karena pakaiannya yang dianggap dapat membahayakan jiwa siswa-siswa lain. Siswa itu berasal dari India dan pemeluk taat ajaran Sikh yang dalam tuntunannya mewajibkan pengikutnya memakai pakaian dengan model tertentu, di samping mengenakan pedang sebagai kelengkapannya.

Keberatan bermula dari para orangtua murid, yang mengkhawatirkan siswa Sikh itu menyalahgunakan pedang yang dibawanya untuk melukai teman-temannya. Akibat begitu banyaknya aduan dari para orangtua murid, kepala sekolah memutuskan mengeluarkan anak Sikh itu.

Persoalan berlanjut karena orangtua siswa Sikh tidak menerima keputusan sekolah dan mengajukannya ke pengadilan. Dalam argumennya, sekolah harus menghormati privasi dan hak asasi siswa Sikh untuk menjalankan ajaran agama. Membawa pedang itu semata memenuhi aturan ajaran Sikhnya dan sama sekali bukan untuk tujuan melukai orang lain.

Pro-kontra yang muncul saat itu melibatkan para aktivis HAM dan orang-orang yang peduli dengan pendidikan untuk memberikan tanggapan. Persoalan berkembang tidak hanya pada masalah apakah pakaian yang dikenakan siswa Sikh dipandang melanggar norma yang dibangun dalam sistem sekolah, tetapi juga sejauh mana persoalan HAM dari setiap siswa itu harus selalu diperhatikan oleh lembaga sekolah.

Menariknya, Mahkamah Agung Kanada pada akhirnya memutuskan memenangkan tuntutan siswa Sikh itu. Mahkamah berpendapat bahwa hak setiap anak mendapatkan pendidikan dan hak pendidikan itu hak asasi yang tidak boleh dipatahkan hanya karena persoalan keyakinan tertentu yang bersifat privat.

Artinya, sekolah tidak boleh mengeluarkan anak itu lantaran pakaiannya yang unik karena ajaran tertentu yang diyakini kebenarannya. Karenanya, cara-cara lain yang lebih persuasif mungkin bisa dilakukan sekolah itu untuk menghindari kekhawatiran munculnya efek negatif yang mungkin hadir.

Cerita sejenis bisa saja terjadi di negeri ini meski dengan bentuk dan macam peristiwa yang berbeda. Baru-baru ini pun kita disibukkan dengan pro-kontra persoalan pelarangan pakaian cadar di sebuah perguruan tinggi (PT) di Tanah Air. Cadar satu sisi dipandang sebagai hak pribadi seseorang berpakaian. Pada aspek lain PT menganggap itu sebagai refleksi satu ideologi tertentu yang berlawanan dengan anutan ideologi negara, dengan lembaga pendidikan negeri harus turut mengusungnya. Di sini, otoritas lembaga negara dalam banyak kasus dibenturkan dengan hak individu anggota masyarakat yang hidup dalam lembaga itu.

Di negara-negara yang memisahkan agama dengan negara (secular ideology), persoalan HAM lebih ditekankan pada komitmen negara dalam pemenuhan hak-hak individu seorang warga. Namun persoalan sejenis di negara, seperti RI cenderung menjadi bola liar politik identitas yang lebih rumit pemecahannya.

Dalam kasus siswa Sikh di Kanada, persoalan dapat selesai dengan lebih simpel karena ketaatan semua pihak kepada institusi hukum (MA) yang sudah memberikan putusan. Di negeri ini persoalan cadar bisa menjadi modal kelompok tertentu untuk menunjukkan posisi politiknya vis-a-vis rezim yang sedang berkuasa. Di sinilah dibutuhkan kearifan setiap pihak untuk menanganinya.

Perspektif HAM

Persoalannya sekarang, apakah pemahaman kita tentang HAM itu dan bagaimana kita mampu memahamkan HAM secara benar kepada para peserta didik? Untuk menjawab ini, kita semua harus mampu mendudukkan persoalan HAM itu pada proporsi yang benar dan dengan pemahaman yang penuh terhadap nilai-nilai sosial-budaya yang berakar dalam masyarakat.

Di negara-negara dunia ketiga, HAM banyak dipandang sebagai alat neokolonialisme untuk memaksakan kehendak negara industri terhadap negara berkembang. Karenanya, gencar dibenturkan di dalamnya persoalan HAM Vs relativitas budaya. HAM dipahami semata masalah benturan budaya antara nilai-nilai masyarakat yang maju dan yang belum maju.

Pada perkembangannya, masyarakat dunia ketiga melihat HAM itu lebih sebagai perjuangan kelompok subaltern yang menuntut hak dan keadilan dari segala bentuk otoritarianisme. Berbeda dengan masyarakat negara maju yang melihat HAM itu lebih pada persoalan nilai-nilai dan budaya pergaulan keseharian, dengan setiap individu harus berkomitmen untuk menjaganya.

Hak asasi adalah tentang kita, tidak mesti berkenaan dengan persoalan struktural. Dalam hal ini, kita melihat adanya dorongan psikologis yang berbeda dalam melihat persoalan HAM itu antara masyarakat belahan dunia utara dan selatan.

Walhasil, perjuangan HAM yang dilakukan kekinian memiliki variasi perspektif dan corak ajarannya. Para ahli pada umumnya membaginya ke dalam lima bentuk pandangan, HAM sebagai suatu strategi pemajuan masyarakat, alat pemberdayaan, jalan pemenuhan hak-hak perempuan, alat penegakan hukum, dan bentuk pendidikan hukum untuk transformasi sosial dan perasaan kemanusiaan (J George dan Richard Pierre Claude, Human Rights Education for the Twenty-first Century, 1997).

Persoalan HAM tidak sekadar pemenuhan hak asasi anggota masyarakat, tapi juga lebih sebagai kebutuhan setiap makhluk hidup untuk menjaganya agar kehidupan ini dapat lebih langgeng.

Persoalan pendidikan HAM

Pada persoalan bagaimana mendidiknya, Tibbitts mengemukakan pendidikan HAM dapat dikembangkan melalui tiga model. Pertama, pendekatan nilai dan kesadaran. Pendidikan difokuskan pada pendalaman tentang isu-isu HAM dan pengintegrasian nilai-nilainya dalam kehidupan keseharian. Di sini pendekatan filosofis-historis menjadi acuannya.

Kedua, pendekatan akuntabilitas. HAM lebih didekati dengan pendekatan hukum dan politik dan perjuangannya lebih digantungkan pada keterlibatan para penegak hukum yang profesional. Ketiga, model transformasional, yaitu pendidikannya lebih memanfaatkan aspek psikologis dan sosiologis dari persoalan HAM itu. Pihak-pihak yang terzalimi menjadi fokus model ini sehingga proses pendidikan di dalamnya ditujukan untuk memberikan pertolongan dan akses untuk pemenuhan hak-hak yang dirampas (Felisa Tibbitts, 'Understanding What We Do: Emerging Models for Human Rights Education' International Review of Education 48, 3-4 [July 2002], 159-171).

Memahami HAM dengan demikian sejatinya merupakan usaha pemahaman kita terhadap kehidupan dan etika relasi antarmanusia itu sendiri. Persoalan HAM bukanlah semata persoalan hukum. Dia persoalan multidimensional yang muncul dalam kehidupan yang selalu berubah. Karenanya, pendidikan HAM tidak dapat dilakukan dengan pendekatan singular saja.

Dalam kenyataannya, tidak lagi kita dapat menggunakan perspektif subaltern dalam melihat persoalan HAM ini. Proses pendidikannya harus melibatkan nilai-nilai HAM itu sebagai nilai-nilai yang hidup dalam kehidupan keseharian peserta didik. Baik dalam dimensi terkecil keluarga, masyarakat, maupun negara hingga hubungan internasional secara luas.

Kita yakin nilai-nilai HAM yang hidup dalam relasi sosial masyarakat global tidak akan bisa diterima jika dalam pergaulan keseharian, kita belum mampu mengamalkan nilai-nilai sederhana tentang penghormatan dan apresiasi terhadap sesama. Inti perjuangan HAM ialah penghormatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan keberagaman kehidupan itu sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar