Selasa, 13 Maret 2018

Budaya di ”Kebenaran-Keliru”

Budaya di ”Kebenaran-Keliru”
Radhar Panca Dahana  ;   Budayawan
                                                        KOMPAS, 13 Maret 2018



                                                           
Sekitar tujuh tahun lalu, dalam acara bincang- bincang (”talk show”) yang diasuh pebisnis ”cum” politikus Soegeng Sarjadi (alm), saya menyatakan realitas sosial-ekonomi-politik yang ada pada saat itu memberikan peluang yang cukup besar untuk lahirnya diktator- berbudi (”benevolent dictator”). Betapapun beberapa rekan— termasuk pengamat militer Salim Said dan Franz Magnis-Suseno— menyangkal sinyalemen saya di atas, kenyataan mutakhir di tahun-tahun belakangan ini membuktikan terpenuhinya peluang tersebut.

Pertimbangan utama saya dalam pernyataan prediktif di atas adalah realitas di mana publik, di negeri ini ataupun di mana saja di dunia, kian merasa frustrasi bukan saja pada praksis dan implementasi sistemik dari cara-cara kita berbangsa dan bernegara (baik dalam dimensi hukum, politik, hingga akademik maupun agama), tapi juga karena kian ciutnya harapan akan terciptanya situasi yang ”lebih baik”. Frase akhir biasanya diacu pada sebuah zaman (semacam masa romantik), di mana manusia masih berdaulat kepada dirinya sendiri. Belum dicacah, dikontrol, atau dikorbankan dalam upacara-upacara sistemik-mekanik yang dikendalikan oleh rancangan canggih dan teknologi tinggi.

Frustrasi itu kian lama meningkat ketika realitas dunia, geopolitik, hingga geokulturalnya semakin menciptakan kecemasan mendalam karena ketidakpastian yang diproduksinya.  Berkembangnya ilmu komputasi—dengan algoritma yang menyertainya—dan kemudian melahirkan banyak platform dunia virtual semacam media sosial, menjadi katalisator luar biasa yang bukan hanya mendispersi, melainkan juga meng-amplify frustrasi sosial di atas. Kehadiran media-media seperti Facebook, Twitter, atau Instagram seperti memberikan mimbar bagi manusia-manusia untuk menciptakan ”kebenaran-preferensial”- nya. Sebuah kebenaran yang muncul karena ketidakberdayaan manusia keluar dari realitas yang cemas di atas. Sementara sistem yang ada tidak peduli bahkan cenderung menafikan peran mereka; manusia jadi in-exist, tidak diakui, ora diwongke. Kebenaran telah dihegemoni.

Hal itu diakibatkan karena negara, cq pemerintah sebagai pelaksana utama, memosisikan dirinya sebagai pemegang—setidaknya penjaga—kebenaran kolektif. Tak mengherankan jika masyarakat kemudian membalasnya juga dengan mengalienasi (baca: tidak memedulikan) negara, sebagai sebuah apologi untuk menegaskan jati dirinya; menciptakan kebenaran-kebenaran berbasis (bahkan neurotika) psikologi frustrasinya itu, lalu mendiseminasinya untuk jadi kebenaran kolektif, ditandai jumlah followers, tanda like, dan sebagainya. Tidak peduli apakah kebenaran itu berbasis bahkan berlawanan dengan akal sehat (yang selalu dijadikan argumen pemerintah) atau bahkan fakta obyektif yang ada.

Pasca-kebenaran

Kenyataan inilah yang belakangan diistilahkan dengan post-truth (pasca-kebenaran), saat pemilik atau produsennya mengalami semacam kerancuan atau mencampuradukkan antara keyakinan dan kenyataan (faktual). Istilah yang ditulis pertama kali oleh penulis naskah Amerika berdarah Serbia, Steve Tesich, pada 1992 ini lebih tepat dipahami lewat penjelasan ilmuwan politik Brendan Nyhan dan Jason Reifler, yang pada 2006 menulis tentang backfire effect. Sebuah fenomena sosial di mana seseorang yang secara teguh diyakinkan oleh sebuah pernyataan, tidak peduli benar atau tidaknya pernyataan itu, tidak akan mengubah keyakinannya walau ia dihadapkan oleh fakta yang bertentangan dengannya. Bukti-bukti sebaliknya malah justru akan memperkuat keyakinan itu.

Fenomena ini, sebagaimana rasa frustrasi di atas, terjadi hampir di seluruh bagian dunia. Mulai dari Menteri Kesehatan Afrika Selatan yang tidak percaya bahwa HIV itu mengakibatkan AIDS hingga Donald Trump yang menyatakan ancaman bencana iklim sebagai omong kosong. Dalam banyak kasus dan isu yang serupa, fenomena itu juga terjadi di banyak tempat dan kalangan di negeri ini.

Rekayasa kesadaran dan kebenaran (yang di-)keliru(-kan) atau fake-truth, dalam istilah penulis ini, segera mendapatkan tempat dalam ruang kosong hati dan batin sebagian publik dengan frustrasi hebat di atas. Mereka seperti mendapatkan pispot sebagai wadah, bahkan rumah eksistensial baru; menjadi semacam perlawanan baru terhadap hegemoni yang dilakukan oleh negara (pemerintah)-nya sendiri. Penerimaan yang bersifat emosional, dan kemudian dengan mudah dipelintir menjadi keyakinan spiritual ini, sulit digoyahkan dengan argumen kebenaran (aktual-faktual) apa pun, ketika yang terakhir justru menjadi sumber kekecewaan eksistensial mereka.

Situasi itu sungguh jadi ruang dan peluang dahsyat yang segera disambar oleh kelompok-kelompok fanatik dan fundamentalis untuk menggerakkan kaki-kaki ”revolusioner” hingga radikalnya. Munculnya banyak kelompok hingga partai politik (ultra) kanan di pelbagai belahan dunia karena munculnya ruang dan peluang ini. Betapapun, kemunculan itu sesungguhnya didasari oleh mayoritas sangat minim, bahkan sebagian melulu klaim dari minoritas. Pendukung Brexit fanatik, misalnya, hanya menguasai 51,8 persen suara referendum, Trump bahkan kalah 2,9 juta suara atau 2,1 persen popular votes dari lawannya, atau parpol Alternative fÜr Deutschland di Jerman mengklaim dapat kemenangan besar walau nyatanya 87 persen penduduk Jerman tidak memilih mereka.

Perlu dicatat juga, dalam statistik yang dikeluarkan setelah pemilu/referendum, mayoritas pendukung di tiga kekuatan di atas dipenuhi oleh kelompok senior, di atas 45 tahun. Usia di mana seseorang mulai menjadi konservatif, di beberapa bagian jadi penjaga tradisi (onalis), bahkan sebagian lagi fundamentalis. Inilah kelompok yang paling merasa disingkirkan oleh sistem, di samping kelompok anak muda yang relatif lebih berdaya dan bertenaga untuk mencari alternatif beraktualisasi (sebagai modus bereksistensi) ketimbang saudara-saudara seniornya.

Kekeliruan pemerintah

Apa yang mengejutkan, massa dalam kebenaran-preferensial atau pasca-kebenaran ini ternyata bukan hanya dihuni atau didukung oleh mereka yang ”kalah”, dalam arti sosiologis, politis, dan ekonomis saja. Namun, juga mereka yang menikmati atau sukses dalam bidang-bidang itu. Tak hanya miliarder, akademisi bergelar doktor dan profesor, profesional tingkat eksekutif hingga rohaniwan berderajat tinggi ternyata banyak menjadi pendukung dari gelombang massa-frustrasi-zaman ini.

Semua itu tidak lain karena pemimpin gerakan atau gelombang ini menampilkan dirinya sebagai pemimpin populis, betapa pun sikap, retorika, hingga gerak-geriknya menerbitkan aroma kediktatoran. Populis di sini mengambil arti gerakan dan pemimpinnya mampu mengakomodasi hasrat-hasrat hingga insting romantis yang dijelaskan di atas.

Apabila ia membentuk kebijakan yang proteksionistik, otoriterian, patriarkis, dan seterusnya, wajar saja. Para juragan pun akan merasa aman dalam kebijakan semacam ini karena justru ia merasa lebih bebas untuk mencapai ambisi atau nafsu pribadinya.  Maka, saya kira, akan sia-sia melakukan pendekatan rasional, sebagai fondasi dari pendekatan sistem yang selama ini dilakukan oleh para pelaku atau penyelenggara negara (pemerintah) belakangan ini. Ketika pemerintah yang ternyata setali-tiga-talen dengan para populis di atas, di mana keduanya terjebak dalam paham atau ”ideologi” kuno—katakanlah peran pemerintah sebagai pemegang kebenaran dan pemberi solusi terbaik—jangankan pemulihan situasi akan gagal didapatkan, bahkan komunikasi yang berlangsung positif pun akan sulit terjadi.

Saya berpendapat, pemerintah sekarang merasakan dan mengalami situasi tersebut. Situasi yang akhirnya akan memaksa pemerintah menggunakan beberapa senjata atau kartu truf yang dimilikinya secara istimewa karena menjadi pemenang pemilu. Selain kekuatan keamanan dan pertahanan yang ada di tangannya yang bisa digunakan untuk deterrence effect, kekuatan jaringan hingga keleluasaan fasilitas dan anggaran harus digunakan untuk melakukan semacam restriksi hingga tekanan untuk menangkal atau meminimalkan dampak dari gerak populis di atas.

Namun, akhirnya pendekatan di atas tidak akan cukup efektif. Apabila akal sehat saja tidak bisa menuntun kesadaran, bahkan menurut Nyhan dan Reifler justru memperkuat keyakinan mereka, apalagi tekanan dan paksaan. Resistensi justru akan menguat.

Fondasi kebudayaan

Dalam pandangan saya, pendekatan yang dilakukan selaiknya didasarkan pada sebuah realitas di mana semua pihak yang harus didekati dan mendekati memiliki banyak kesamaan. Dan, hal itu tidaklah terlalu sulit karena kita memang berada dalam realitas yang sama, tidak saja secara sosial, historikal, tetapi juga kultural. Dengan kesamaan latar itu saya kira platform atau landasan-pijak yang sama pun bisa dibangun. Kebudayaan (bahari) sebagai basis dari semua kesamaan itu dapat digunakan sebagai landasan tersebut.

Artinya, mesti dibangun sebuah kesadaran yang tidak hanya menyangkut kesadaran akali, tapi juga mental, spiritual, dan fisikal. Artinya, kita memiliki tanggung jawab yang sama untuk mempertahankan rumah itu agar kita sebagai penghuninya masih diterima di rumah itu, masih memiliki atap dan ruang-ruang di mana kita tinggal dan bersemayam di dalamnya. Sebab, tanpa kebudayaan bangsa sirna, manusia pun hina.  Pengkhianatan terhadap (rumah) kebudayaan itu sama saja dengan mendestruksi atap dan kamar-kamar di mana kita semestinya berlindung, sejak dulu hingga nanti kala.

Tinggal di bagian praksisnya. Pendekatan idealistik ini sebaiknya dilakukan bukan dengan cara yang terlalu teknis-mekanis, apalagi birokratis, terlebih represif, sebagaimana umumnya pemerintah menggunakan hukum formal hingga senjata tajam untuk mengancam. Alasan di balik frustrasi yang melahirkan gerakan dan pemimpin populis itu sesungguhnya sederhana. Seperti terurai di atas, secara idealistik ia berurusan dengan program atau modus eksistensial publik: bagaimana ia menjadi dirinya sendiri, menjadi manusia, dadi wong opo diwongke. Selebihnya adalah masalah pragmatis: soal peluang dan kesempatan hidup untuk memenuhi kebutuhan praktis, yang sesungguhnya lebih mudah dinegosiasikan.

Pada tingkat komunikasi, mesti dicari pilihan-pilihan media, mulai dari bahasa literer hingga bahasa tubuh, bahasa alat dan lainnya, yang disesuaikan dengan ciri khas atau karakteristik pada komunikannya. Saya kira bahasa itu tidaklah berbentuk formal, tetapi bebas, egaliter, menyenangkan, dan penuh variasi, seperti yang kita temukan dalam dunia bahasa medsos. Yang pasti bukan bahasa yang akademis, teoretis, apalagi ideologis.

Mau tidak mau, pemerintah—jika ia merasa terpanggil atau memiliki obligasi untuk meredakan atau memulihkan frustrasi di atas—harus memulai dari dirinya sendiri. Antara lain dengan merendahkan diri, sejajar dengan pihak mana pun, seminor atau selemah apa pun. Arti lebih substansialnya, pemerintah merevisi peran dan fungsinya yang secara tradisional ia yakini dan praktikkan selama ini, sebagaimana terindikasi di atas. Pemerintah hanyalah pihak yang diminta atau disuruh untuk mengemban tugas dan amanah yang tidak bisa atau tidak mungkin dilakukan rakyat secara kolektif. Hanyalah pengemban amanah yang difasilitasi, tegasnya: hanyalah pesuruh.  Jangan sampai pesuruh jatuh karena rakyat jadi perusuh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar