A
Fallen Creature
Komaruddin Hidayat ; Guru Besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
|
KORAN
SINDO, 16 Maret 2018
MEMINJAM istilah Heidegger, manusia adalah
makhluk yang terjatuh ke bumi, tidak tahu dari mana asalnya, dan sangat sadar
kematian yang akan mengakhirinya. Jauh sebelum itu Alquran menyebutkan
ungkapan serupa: manusia terusir dari surga, lalu jatuh ke bumi karena
teperdaya oleh syaitan dan selanjutnya di muka bumi mereka saling bermusuhan
satu dengan yang lain (QS, 2: 38).
Kondisi primer manusia tak ubahnya sosok
pengembara yang bingung, yang menemukan dirinya tersesat di belantara
semesta, tetapi lama-lama semesta ini menimbulkan rasa kagum dan takut. Dunia
ini menakutkan dan memesona sekaligus.
Dunia ini nyata, tetapi penuh misteri.
Dunia ini penuh tragedi, tapi manusia enggan berpisah. Bermunculan fakultas
kedokteran, rumah sakit, dan pabrik farmasi serta sekian banyak layanan
kesehatan yang disiapkan untuk mengusir penyakit yang mendekatkan pada
kematian agar manusia selalu merasa fit bisa menikmati pengembaraannya di
muka bumi.
Awal kehidupan ini dimulai dengan derita,
diakhiri dengan kekalahan. Begitu bayi terlahir dari rahim sang ibu, jerit
tangis menandatanganinya. Kaget dan sakit dalam pelukan dunia baru.
Selanjutnya bayi tumbuh dalam asuhan budaya dan tradisi di sekitarnya.
Ibarat sebuah komputer baru, lingkungannya
memasukkan software dan program ke dalamnya yang akan bekerja dan berpengaruh
dalam menapaki hidupnya sampai tua. Yang menonjol adalah software selera
makanan, bahasa, dan agama kesemuanya sangat efektif mempengaruhi cara
berpikir dan berperilaku seseorang yang tertanam sejak kecil.
Jika seseorang mencoba berbeda dari
lingkungannya, terlebih melawan, muncul perasaan tidak nyaman, dianggap
melawan tradisi yang telah membesarkannya, diberi label sebagai si Malin
Kundang, anak yang durhaka, khususnya jika seseorang keluar dari tradisi
agama keluarga dan komunitasnya.
Ketika seseorang tumbuh dewasa dan
berpeluang melakukan ziarah budaya ke komunitas-komunitas lain yang lebih
beragam, dia akan terbelalak dan tersadar bahwa sesungguhnya langit kehidupan
ini sangat luas, tak bertepi. Ke mana pun kaki melangkah, baik fisikal maupun
intelektual, tak pernah sampai di garis batas. Yang ada adalah perbatasan,
sebuah kaki langit yang setiap didekati tetap saja ikut bergerak melangkah ke
depan, mendahului langkah dan pandangan kita.
Letih dalam bereksplorasi dan meraba-raba
dalam lorong labirin kehidupan yang serba-tidak pasti, rumah tradisi itu
memberikan rasa nyaman. Bagaikan halte atau rumah singgah untuk menemukan
ketenteraman hati bersama warga komunitasnya. Salah satu rumah tradisi yang
kokoh untuk berteduh adalah rumah bahasa dan agama.
Dengan bahasa dan di dalam bahasa,
seseorang merasa memiliki rumah sosial. Mereka diikat dan mengikatkan diri
dengan bahasa sehingga berkembang dari suasana keakuan yang sepi sendiri
menjadi kekamian dan kekitaan. Bahasa juga merupakan gudang makna dan pengetahuan
yang diwariskan dari generasi ke generasi.
Adapun agama memberikan rumah yang
memberikan kepastian dan keyakinan serta pengetahuan sangkan paraning dumadi,
asal usul dan tujuan hidup sehingga perasaan keterlemparan dan keterjatuhan
di alam semesta ini bermetamorfosis menjadi sebuah ziarah agung mengikuti
desain Tuhan.
Tuhan tidak main-main dan tidak iseng
menciptakan manusia. Dalam diri manusia terdapat lokus tajally atau
penampakan sifat-sifat Tuhan. Manusia sebagai bayang-bayang Tuhan.
Dalam diri manusia terdapat lahut dan
nasut. Bertemu sifat dan kualitas keilahian untuk membimbing sifat
kemanusiaannya. Oleh karenanya kita dianjurkan untuk menghargai manusia, apa
pun agama dan etniknya, karena setiap manusia memiliki sifat keilahian dan kebajikan
universal. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar