Tiananmen
Trias Kuncahyono ; Penulis kolom “Kredensial” Kompas Minggu
|
KOMPAS, 21 Juni 2015
Langit mulai agak
mendung ketika kaki melangkah menyusuri trotoar, sisi kanan sepanjang Jalan
Chang’an, dari arah timur. Pohon mapel berderet tegak, hijau daunnya.
Rerumputan sepanjang trotoar itu juga hijau. Tak ada pedagang kaki lima. Yang
ada hanyalah pejalan kaki dari kedua arah, orang bergerombol berdiri atau
duduk di tepi trotoar, dan polisi.
Jalan Chang’an
membujur dari timur ke barat, menembus Lapangan Tiananmen. Inilah lapangan
yang sangat kondang, tidak hanya di Beijing, Tiongkok, tempat lapangan itu
berada, juga tidak hanya di seluruh Tiongkok, tetapi ke seluruh dunia. Ia
sama masyhur antara lain dengan Lapangan Merah di Rusia atau Lapangan Tahrir
di Kairo, tempat peristiwa bersejarah sekaligus berdarah terjadi.
Dua puluh enam tahun
silam, peristiwa itu terjadi di Lapangan Tiananmen. Demonstrasi mahasiswa
yang menuntut demokratisasi berakhir dengan pertumpahan darah dan hilangnya
nyawa. Protes sebenarnya sudah mulai sejak April 1989, setelah kematian
mantan Sekretaris Jenderal Partai Komunis China Hu Yaobang. Protes itu
mencapai puncaknya pada 4 Juni.
Ada peristiwa yang
sangat terkenal pada 5 Juni. Seorang lelaki berbaju putih dan celana panjang
hitam, tangan kiri menenteng tas keresek, berdiri di tengah jalan. Ia
menghadang tank. Foto yang dibuat oleh Jeff Widener dari Associated Press
memperlihatkan lelaki itu berdiri di hadapan empat tank. Lelaki itulah yang
kemudian disebut sebagai ”Manusia Tank.”
Berapa banyak korban
tewas di Tiananmen pada waktu itu? Tidak mudah untuk menyebut angka yang
pasti, tetapi yang jelas banyak. Jumlah itu adalah misteri, semisterius
lelaki berbaju putih itu. Tentu, karena itu, Pemerintah Tiongkok tidak suka
berbicara lagi tentang peristiwa yang oleh Barat disebut sebagai Tragedi
Tiananmen itu. Banyak negara seperti itu. Turki, misalnya, sangat tidak suka
ketika Paus Fransiskus menyebut Turki Ottoman melakukan genosida terhadap
sekitar 1,5 juta orang Armenia antara 1914-1918 selama Perang Dunia I.
Barangkali, Indonesia pun demikian.
Mengapa orang,
terutama penguasa, tidak mau mengingat peristiwa hitam seperti itu; tragedi
yang mencoreng wajah kemanusiaan? Padahal, hal itu bagian dari sejarah sebuah
bangsa. Bagian sejarah yang tidak bisa dihapus, dikubur begitu saja, atau
dilupakan. Sejarah sebuah bangsa memang tidak hanya mencatat hal-hal yang
baik saja yang dilakukan oleh rezim yang berkuasa, tetapi juga
mendokumentasikan noda-noda hitam, wajah buruk, atau bopeng-bopengnya.
Kalau saja, tembok
Menara Tiananmen yang berdiri kokoh di tepi utara Lapangan Tiananmen bisa
bercerita, tentu ceritanya akan sangat menarik sekaligus membuat hati
bergetar. Kalau saja, foto Mao Zedong yang dipasang di Pintu Gerbang
Perdamaian Surgawi, begitu Menara Tiananmen juga disebut, bisa bercerita,
tentu ceritanya tak akan kalah menariknya. Dan, Mao Zedong sendiri adalah
cerita; cerita tentang perjalanan negeri Tiongkok menyusuri ”Long March”,
pembentukan Partai Komunis Tiongkok, Revolusi Kebudayaan (1966-1976),
perebutan kekuasaan, dan akhirnya meninggal serta disemayamkan di mausoleum
yang berdiri di Lapangan Tiananmen bagian timur, sebelah utara Monumen
Pahlawan Rakyat.
Namun, sore itu, tidak
satu orang pun yang berdiri, ber-selfie, duduk, ngobrol, dan melintas di
depan Menara Tiananmen, bercerita tentang duka kemanusiaan di Lapangan
Tiananmen di masa lalu. Semua asyik dengan kepentingannya masing-masing. Atau
mungkin seperti ditulis harian Global Times, ”Masyarakat Tiongkok mencapai konsensus
tidak akan memperdebatkan insiden 1989. Ketika Tiongkok bergerak maju, ada
yang mencoba menarik-narik sejarah dalam usaha memecah-belah masyarakat. Ini
usaha yang tidak ada artinya”, (The
Wall Street Journal, 4/6).
Apakah ini zaman
pengingkaran? Bukankah sia-sia mengingkari kenyataan sejarah. Begitu kata
filsuf Albert Camus (1913-1960). Ia masih menulis, suatu ketika, kejahatan
itu begitu dikucilkan seperti teriakan protes; kini kejahatan itu sudah
mengglobal seperti halnya ilmu pengetahuan. Tempo hari kejahatan itu bersaksi
di pengadilan, kini kejahatan itu menjadi penentu hukum. Dan, itu terjadi di
mana-mana, termasuk di negeri ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar