Senin, 22 Juni 2015

Presiden Vs Bangsa Konsumtif

Presiden Vs Bangsa Konsumtif

Garin Nugroho  ;   Penulis kolom “Udar Rasa” Kompas Minggu
KOMPAS, 21 Juni 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Sebulan yang lalu Presiden kita menyerukan kepada masyarakat untuk mengurangi sifat konsumtif berbangsa dewasa ini. Seruan ini tentu saja menjadi sangat penting di tengah gaya hidup konsumtif yang terasa menjadi kultur baru ketika bangsa Indonesia dipenuhi paradoks ekonomi. Di satu sisi dipuji pertumbuhan ekonominya, di sisi lain prasyarat daya hidup ekonomi dalam kegamangan terus-menerus, dari produktivitas hingga daya tahan pangan maupun energi serta kualitas sumber daya manusianya dibandingkan negara-negara ASEAN.

Perilaku konsumtif berbangsa senantiasa berkait dengan daya hidup berbangsa di berbagai aspek. Pertama, budaya konsumtif berlebihan mendorong hilangnya budaya menabung untuk kehidupan masa depan hingga mencapai 30 persen. Kedua, budaya konsumtif mendorong warga bangsa menjadi pasar dari sejumlah negara serta tidak lagi menjadi produsen, simak 39 jenis hasil bumi yang diimpor (gula, tebu, beras, kedelai, garam, dan lain-lain). Ketiga, budaya konsumtif mendorong tumbuhnya karakter bangsa serba instan, melahirkan perilaku korupsi hingga karakter serba vulgar memamerkan gaya hidup menumbuhkan perilaku kekerasan ketika tidak mampu memenuhi gaya hidup tersebut.

Keempat, budaya konsumtif mendorong runtuhnya kecintaan pada produk dalam negeri tertelan dalam perlombaan memamerkan gaya hidup serba bertren global. Kelima, budaya konsumtif berlebihan mendorong kualitas sumber daya manusia kehilangan esensi profesionalisme dan jati dirinya, keseluruhan hidup berbangsa ditujukan meraih gaya hidup kemasan.

Sebutlah, perspektif pendidikan, politik, hingga agama menjadi bagian menuju gaya hidup serba pameran dan kemasan, tetapi tidak lagi pada esensi menuju pada memanusiakan manusia itu sendiri. Keenam, budaya konsumtif melahirkan politik uang serta jabatan politik sebagai mata pencarian.

Namun, seruan Presiden hanya menjadi seruan semata, sekiranya syarat-syarat mengurangi budaya konsumtif tidak ditumbuhkan dalam ruang hidup sehari-hari. Salah satu yang terpenting adalah bertumbuhnya ruang publik warga bangsa sebagai strategi budaya mengolah sifat produktif kritis bangsa. Celakanya, ruang publik sehari-hari telanjur menjadi ruang yang mendorong perilaku konsumtif.

Simak, mal-mal besar dibangun tepat di depan perkampungan atau kompleks hunian, ditambah lagi waralaba bertebaran masuk wilayah terpencil. Ditambah lagi, fasilitas publik di sekitar mal sangatlah memudahkan warga bangsa mengakses. Simak, tersedianya jembatan penyeberangan hingga kelokan jalan yang langsung efektif masuk ke mal. Mal-mal tersebut menjadi goa besar konsumtif langsung di depan mata penduduk. Dengan kata lain, mal-mal menjadi goa Aladin yang memberi mimpi lampu emas ajaib bagi kenikmatan hidup.
Simak pula, wilayah seputar kampus-kampus, sangatlah langka ruang produktif, yang muncul adalah mal, waralaba, toko, warung hingga sampah visual iklan-iklan yang bertebaran.

Contoh lain prasayarat memerangi budaya konsumtif adalah panduan gaya hidup elite politik. Celakanya, pada aspek panduan karakter elite politik justru menjadi persoalan terbesar. Simak, fasilitas dan gaya hidup anggota DPR yang terlalu sering dibicarakan, tetapi tidak melahirkan rasa jera.

Catatan-catatan kecil di atas menunjukkan, memerangi budaya konsumtif adalah menegakkan panduan yang dibangun oleh elite politik sekaligus membangun dasar hidup warga berupa ruang publik produktif, dari ruang olahraga, ruang keterampilan, ruang relaksasi sehat hingga ruang informasi dan pelayanan publik yang terakses untuk pertumbuhan masyarakat sipil yang sehat dan berkarakter.

Jika catatan kecil di atas tidak diperhatikan, jangan heran, seruan presiden akan tergusur oleh megahnya mal seperti layaknya ruang produktif lainnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar