Senin, 22 Juni 2015

Tiananmen

Tiananmen

Trias Kuncahyono  ;   Penulis kolom “Kredensial” Kompas Minggu
KOMPAS, 21 Juni 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Langit mulai agak mendung ketika kaki melangkah menyusuri trotoar, sisi kanan sepanjang Jalan Chang’an, dari arah timur. Pohon mapel berderet tegak, hijau daunnya. Rerumputan sepanjang trotoar itu juga hijau. Tak ada pedagang kaki lima. Yang ada hanyalah pejalan kaki dari kedua arah, orang bergerombol berdiri atau duduk di tepi trotoar, dan polisi.

Jalan Chang’an membujur dari timur ke barat, menembus Lapangan Tiananmen. Inilah lapangan yang sangat kondang, tidak hanya di Beijing, Tiongkok, tempat lapangan itu berada, juga tidak hanya di seluruh Tiongkok, tetapi ke seluruh dunia. Ia sama masyhur antara lain dengan Lapangan Merah di Rusia atau Lapangan Tahrir di Kairo, tempat peristiwa bersejarah sekaligus berdarah terjadi.

Dua puluh enam tahun silam, peristiwa itu terjadi di Lapangan Tiananmen. Demonstrasi mahasiswa yang menuntut demokratisasi berakhir dengan pertumpahan darah dan hilangnya nyawa. Protes sebenarnya sudah mulai sejak April 1989, setelah kematian mantan Sekretaris Jenderal Partai Komunis China Hu Yaobang. Protes itu mencapai puncaknya pada 4 Juni.

Ada peristiwa yang sangat terkenal pada 5 Juni. Seorang lelaki berbaju putih dan celana panjang hitam, tangan kiri menenteng tas keresek, berdiri di tengah jalan. Ia menghadang tank. Foto yang dibuat oleh Jeff Widener dari Associated Press memperlihatkan lelaki itu berdiri di hadapan empat tank. Lelaki itulah yang kemudian disebut sebagai ”Manusia Tank.”

Berapa banyak korban tewas di Tiananmen pada waktu itu? Tidak mudah untuk menyebut angka yang pasti, tetapi yang jelas banyak. Jumlah itu adalah misteri, semisterius lelaki berbaju putih itu. Tentu, karena itu, Pemerintah Tiongkok tidak suka berbicara lagi tentang peristiwa yang oleh Barat disebut sebagai Tragedi Tiananmen itu. Banyak negara seperti itu. Turki, misalnya, sangat tidak suka ketika Paus Fransiskus menyebut Turki Ottoman melakukan genosida terhadap sekitar 1,5 juta orang Armenia antara 1914-1918 selama Perang Dunia I. Barangkali, Indonesia pun demikian.

Mengapa orang, terutama penguasa, tidak mau mengingat peristiwa hitam seperti itu; tragedi yang mencoreng wajah kemanusiaan? Padahal, hal itu bagian dari sejarah sebuah bangsa. Bagian sejarah yang tidak bisa dihapus, dikubur begitu saja, atau dilupakan. Sejarah sebuah bangsa memang tidak hanya mencatat hal-hal yang baik saja yang dilakukan oleh rezim yang berkuasa, tetapi juga mendokumentasikan noda-noda hitam, wajah buruk, atau bopeng-bopengnya.

Kalau saja, tembok Menara Tiananmen yang berdiri kokoh di tepi utara Lapangan Tiananmen bisa bercerita, tentu ceritanya akan sangat menarik sekaligus membuat hati bergetar. Kalau saja, foto Mao Zedong yang dipasang di Pintu Gerbang Perdamaian Surgawi, begitu Menara Tiananmen juga disebut, bisa bercerita, tentu ceritanya tak akan kalah menariknya. Dan, Mao Zedong sendiri adalah cerita; cerita tentang perjalanan negeri Tiongkok menyusuri ”Long March”, pembentukan Partai Komunis Tiongkok, Revolusi Kebudayaan (1966-1976), perebutan kekuasaan, dan akhirnya meninggal serta disemayamkan di mausoleum yang berdiri di Lapangan Tiananmen bagian timur, sebelah utara Monumen Pahlawan Rakyat.

Namun, sore itu, tidak satu orang pun yang berdiri, ber-selfie, duduk, ngobrol, dan melintas di depan Menara Tiananmen, bercerita tentang duka kemanusiaan di Lapangan Tiananmen di masa lalu. Semua asyik dengan kepentingannya masing-masing. Atau mungkin seperti ditulis harian Global Times, ”Masyarakat Tiongkok mencapai konsensus tidak akan memperdebatkan insiden 1989. Ketika Tiongkok bergerak maju, ada yang mencoba menarik-narik sejarah dalam usaha memecah-belah masyarakat. Ini usaha yang tidak ada artinya”, (The Wall Street Journal, 4/6).

Apakah ini zaman pengingkaran? Bukankah sia-sia mengingkari kenyataan sejarah. Begitu kata filsuf Albert Camus (1913-1960). Ia masih menulis, suatu ketika, kejahatan itu begitu dikucilkan seperti teriakan protes; kini kejahatan itu sudah mengglobal seperti halnya ilmu pengetahuan. Tempo hari kejahatan itu bersaksi di pengadilan, kini kejahatan itu menjadi penentu hukum. Dan, itu terjadi di mana-mana, termasuk di negeri ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar