Kamis, 11 Juni 2015

Soeharto di Wonogiri

Soeharto di Wonogiri

Bandung Mawardi  ;  Esais
KORAN TEMPO, 11 Juni 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Keruntuhan rezim Orde Baru (1998) membelah anggapan publik atas ketokohan Soeharto. Hujatan dan pujian mengarah ke Soeharto. Memori kekuasaan selama puluhan tahun menjadi bukti untuk memberi apresiasi. Sejak 1998, buku-buku bertema Soeharto dan Orde Baru sering diterbitkan sebagai ekspresi memusuhi dan mengultuskan Soeharto. Perang opini dimunculkan demi menghancurkan dan memuliakan Soeharto (8 Juni 1921 - 27 Januari 2008).

Ikhtiar mengenang dan memuliakan Soeharto terus dilakukan dengan pembuatan museum, patung, monumen, kaus, buku, dan pendirian partai politik. Soeharto dianggap masih hidup meski tak lagi presiden dan almarhum. Di Indonesia, "politik almarhum" justru membuat sebaran ideologis menguat. Semula, publik mengekspresikan perlawanan terhadap Soeharto dengan pemunculan "politik almarhum" mengacu kepada Sukarno. Pada masa pemerintahan SBY, orang-orang mulai melakukan kritik dan ejekan kepada penguasa dengan menggunakan sensasi "politik almarhum", yang bereferensi kepada Soeharto dan kerinduan terhadap episode Orde Baru.

Peringatan hari kelahiran Soeharto menjadi ekspresi politik dan kultural. Begug Poernomosidi mengadakan acara peresmian Padepokan Soeharto pada 8 Juni 2015. Pedepokan itu beralamat di Jalan Ahmad Yani 41, Wonogiri, Jawa Tengah. Pengunjung bisa melihat koleksi keris, batu akik, dan baju. Penggagas dan pendiri Padepokan Soeharto itu berdalih biografi. Soeharto menjalani masa kecil dan remaja di Wonogiri. Soeharto pun dianggap mendapat asupan spiritualitas di Wonogiri. Konon, Wonogiri adalah "bumi spiritual" saat dijadikan tempat perjuangan R.M. Said atau Mangkunegara I. Pedepokan sengaja dijadikan "tempat bersejarah" demi menghidupkan kembali ketokohan dan pemikiran-pemikiran Soeharto.

Kita bisa membuka buku berjudul Anak Desa: Biografi Presiden Soeharto (1976) susunan O.G. Roeder untuk mengingat makna Wonogiri bagi Soeharto. Dulu, Soeharto saat masih bocah sampai remaja diasuh oleh Prawirohardjo di Wonogiri. Soeharto memiliki kenangan indah saat menjalani hari-hari di Wonogiri: bersekolah dan belajar tentang kehidupan. Di Wonogiri, Soeharto juga menekuni kebatinan. Peristiwa paling bersejarah adalah pertemuan Soeharto dan Hartinah. Wonogiri menjadi tempat romantis bagi dua insan itu memadu asmara.

Peta biografi Soeharto mengisahkan Wonogiri adalah tempat pengasuhan dan pembentukan diri. Tahun demi tahun berlalu. Soeharto tampil sebagai tentara dan berhasil menjadi presiden. Pembelajaran politik, militer, dan kebatinan tetap bereferensi ke Mangkunegara I. Soeharto berpedoman pada Tridharma, yang berisi tiga ajaran penting: rumangsa melu handarbeni, wajib melu hangrungkebi, dan mulat sarira hangrasa wani. Ekspresi memiliki, membina, dan mawas diri dalam berbangsa-bernegara selalu harus dibuktikan demi Indonesia.

Juni menjadi bulan "persaingan" dalam menghormati dan meneladani dua tokoh besar: Sukarno dan Soeharto. Penambahan jumlah tempat-tempat bersejarah sengaja membesarkan "legenda" dan pengawetan Orde Baru. Sekarang, "politik almarhum" bertokoh Soeharto menjadi ekspresi tandingan untuk pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla. Di Wonogiri, memori Soeharto dihidupkan untuk menggenapi memori di Cendana, Taman Mini Indonesia Indah, Kemusuk, Istana Negara, dan Karanganyar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar