Cilukba
Agus M. Irkham ; Pegiat Literasi
|
KORAN TEMPO, 11 Juni 2015
Google dan media
sosial telah berhasil membuat setiap orang memiliki kesempatan untuk
seolah-olah menjadi ahli dan mengetahui banyak hal. Dengan menulis dua-tiga
lema atau kata, berderet link
(tautan) informasi yang dicari sudah tersedia. Apakah tautan tersebut berisi
informasi yang akurat dan dapat dipercaya? Itu soal lain. Yang terpenting
adalah segera punya bahan untuk menuliskan komentar di dinding akun Facebook
orang lain dan saat melakukan retweet.
Atau menyalin tautan yang diperoleh demi mengukuhkan suatu pendapat atau
sebaliknya, menegasikan.
Maka, yang kemudian
terjadi adalah semua hal dikomentari. Segala sesuatu dijadikan tema
perdebatan. Dari kontroversi tempat kelahiran Bung Karno, pembubaran Petral,
mafia migas, tim panitia seleksi calon pemimpin KPK, membaca Al-Quran dengan
langgam Jawa, gerakan ayo mondok, beras plastik, utang luar negeri baru, dan
masih banyak lagi.
Tidak ada konsistensi
terhadap suatu tema. Karena tujuan utamanya bukan dalam rangka mencari
kebenaran, tapi pembenaran. Bukan bagian dari perayaan kebebasan berpendapat
yang didasari oleh ketajaman berpikir dan kejernihan batin, melainkan demi
memenuhi hasrat agar dapat disebut eksis. Bukan bagian dari penyemaian benih
perubahan yang terus dipupuk dan dirawat sehingga dapat tumbuh kuat menjadi
sebuah gerakan lantas berbuah perbaikan dan kemajuan, melainkan sekadar
menegaskan perbedaan pilihan politik.
Komentar yang ditulis
tidak menjadi bagian dari representasi pemikiran yang mendalam tentang sebuah
fakta atau berita, melainkan sekadar agar tidak disebut kurang pergaulan.
Seseorang yang mendadak ahli tidak bisa membedakan lagi antara informasi,
pengetahuan, dan ilmu. Lebih jauh lagi, tidak mampu memilah mana gosip dan
mana fakta. Semua serba tergopoh-gopoh. Kecepatan perputaran pergantian isu
melampaui kemampuan kita untuk menganalisisnya satu per satu.
Tidak ada waktu lagi
untuk sekadar mengulik apakah informasi yang akan disampaikan termasuk
kategori berita bohong (hoax) atau
bukan. Kemampuan membaca atau literasi dasar justru memproduksi aliterasi
budaya. Ironis!
Akibat yang paling
tampak dari aliterasi budaya adalah bertumbuhnya masyarakat
"cilukba". Cilukba merujuk pada permainan atau simulasi ekspresi
yang begitu cepat (tutup-buka muka). Apa makna telapak tangan yang ditutup
dan buka di kedua mata itu? Tidak ada, kecuali hanya untuk kesenangan dan
memunculkan derai tawa.
Seperti itu pula pola
komunikasi dalam masyarakat cilukba. Banyak aksi tapi miskin substansi.
Tujuan utamanya hanya satu: untuk bersenang-senang. Komunikasi yang terjalin
secara sengaja dikreasikan untuk sekadar memenuhi unsur menghibur.
Masyarakat cilukba
adalah masyarakat hangat-hangat tahi ayam. Gampang heboh, latah, gaduh,
berlebihan, tapi juga sumbu ingatannya pendek. Gampang amnesia. Persis seperti
yang pernah dikatakan Wali Kota Bandung Ridwan Kamil, "Peristiwa biasa saja. Ada kejadian. Ada persepsi. Banyak ilusi
teori. Dan kebanyakan lebay. Itulah kita hari ini." ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar