Penyelamatan
Lingkungan Berbasis Desa
Sugeng Yulianto ; Mahasiswa Magister Pengelolaan Lingkungan
(MPL) UGM
|
KORAN TEMPO, 11 Juni 2015
Undang-Undang Desa (UU
Desa) memberikan peluang besar bagi terwujudnya agenda pelestarian lingkungan
hidup. Desa yang selama ini cenderung dirugikan oleh kegiatan eksploitasi
sumber daya alam (SDA), baik oleh pemerintah maupun korporasi, kini mendapat
kesempatan besar menyelesaikan persoalan akut tersebut. Kewenangan desa untuk
mengatur dirinya sendiri menjadi titik tolak untuk melakukan penyelamatan
ekologis yang selama ini kerap mendera desa.
Misalnya, dalam
lokakarya tentang implementasi UU Desa yang dilakukan LSM Institute for Research and Empowerment
(IRE), beberapa kepala desa di Kecamatan Bikomi Tengah, Kabupaten Timor
Tengah Utara, mengungkapkan kerusakan ekologis di daerah mereka. Mereka
mengeluhkan bahwa selama ini tidak berdaya menolak kehadiran para investor
perusahaan penambang mangan yang masuk ke desanya. Warga menentang kehadiran
perusahaan-perusahaan tersebut, tapi, karena perusahaan sudah mengantongi
"izin" dari pihak supra-desa, akhirnya desa tidak bisa menolak
kehadiran mereka. Mereka paham betul bahwa limbah penambangan mangan
membahayakan kesehatan warga dan merusak lingkungan hidup. Desa akhirnya
tidak berdaya.
Persoalan lingkungan,
seperti dikisahkan di atas, akan lebih mudah diselesaikan ketika UU Desa
diimplementasikan sepenuhnya. Di situ ditegaskan bahwa desa memiliki
kewenangan menentukan nasibnya sendiri, mengelola aset, termasuk kekayaan
alam desa, yang dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan warga.
Melalui musyawarah desa (musdes), warga Desa bisa menolak investasi atau
eksploitasi aset desa yang dianggap merugikan (Pasal 55, UU Desa).
Dengan demikian, desa
dapat memanfaatkan musdes yang berisi perwakilan semua unsur desa, agar semua
keputusan desa dapat aspiratif dan mencerminkan kehendak semua warga. Melalui
musdes, warga bisa memiliki bargaining position, bahkan menolak pihak mana
pun, termasuk supra-desa, yang mengancam kelestarian lingkungan desa.
Perusahaan, pabrik, dan investor apa pun yang mendatangkan musibah bisa
dengan mudah dihentikan oleh desa.
Sebagai catatan
kritis, berkenaan dengan musdes ini perlu dipastikan bahwa forum ini menjadi
arena dan institusi strategis milik rakyat desa dalam menentukan masa depan
desa. Bagaimanapun, belajar dari pengalaman di tingkat daerah dan nasional,
forum sejenis musdes masih rentan dibajak oleh kelompok tertentu demi
kepentingannya. Karena itu, diperlukan komitmen dan perjuangan warga desa
guna memastikan semangat transformasi desa agar sesuai dengan harapan.
Saat ini, tantangan
yang perlu dijawab adalah bagaimana implementasi UU ditopang dan sinkron
dengan aturan-aturan turunan berikutnya, khususnya Peraturan Pemerintah (PP)
Nomor 43/2014 tentang Peraturan Pelaksanaan UU Desa dan PP Nomor 22 tentang
Perubahan atas PP No 60/2014 tentang Dana Desa. Dalam rangkaian regulasi itu
masih mengandung banyak kelemahan. Regulasi turunan tersebut belum senapas
dengan undang-undangnya. Pasal-pasal yang menyinggung kearifan ekologis belum
diterjemahkan secara konkret oleh PP 43/2014. Revitalisasi kearifan lokal
untuk memastikan bekerjanya sistem kehidupan sosial ramah lingkungan dan
berkelanjutan belum jelas tergambar dalam PP yang menuai banyak kritik
tersebut. Kearifan seperti itu kerap diabaikan oleh pihak luar yang
mengeksploitasi keberlipahan SDA desa. Demikian halnya tantangan lainnya,
karena UU Desa relatif baru, tentu saja belum banyak daerah yang
mempersiapkan diri, termasuk menyiapkan regulasi turunannya di level lokal.
Kendala lain yang tak
kalah serius, kebanyakan warga desa belum benar-benar paham isi peraturan
baru tersebut. Sosialisasi oleh pemerintah daerah dirasa belum memberi
pemahaman utuh. Pada umumnya, masyarakat baru menangkap sepotong-sepotong.
Sebagai contoh, soal transfer dana desa langsung dari pemerintah pusat
(APBN), cara mengelola dan orientasi pembangunan yang menjadi tujuan
pembaruan desa.
Di situlah warga perlu
menyadari hak-haknya yang diamanatkan UU Desa. Begitu pula pemerintah
supra-desa, kemudian perguruan tinggi, ormas, dan LSM dapat mengambil peran
membantu mensosialisasi substansi aturan nasional itu. Perguruan tinggi bisa
menggelar program kuliah kerja nyata (KKN) tematik, yang menyentuh substansi UU
Desa. LSM bisa mengarahkan program peningkatan kapasitas aparatur desa.
Pada akhirnya,
kesempatan melakukan pembaruan desa yang berorientasi pembangunan yang ramah
lingkungan atau keadilan ekologis kini makin terbuka. Jika desa mampu
memanfaatkan kewenangan dan dipandu oleh partisipasi kritis warga dalam
memanfaatkan arena-arena strategis dalam menyusun kebijakan pembangunan,
peluang desa menyelesaikan persoalan-persoalan ekologis dapat diwujudkan. Di
situ pula desa sudah semestinya perlu mengantisipasi dan mencegah agar
kewenangan itu tidak dibajak oleh elite lokal dan kaum oligarki, sehingga
terhindar dari ancaman baru. Inilah momentum penting bagi desa sebagai
kekuatan lokal bagi penyelamatan ekologi masa depan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar