Kamis, 11 Juni 2015

Pesantren, Basis Toleransi Beragama

Pesantren, Basis Toleransi Beragama

Lukman Hakim Saifuddin  ;  Menteri Agama
MEDIA INDONESIA, 09 Juni 2015

                                                                                                                                     
                                                

KEHADIRAN kaum santri yang lahir dari poros pondok pesantren selalu mewarnai dinamika kehidupan berbangsa. Kehidupan bermasyarakat. Kemampuan para santri mewarnai dalam berbagai jengkal ruang hidup inilah akibat hasil olah pendidikan pesantren yang penuh dengan vitalitas. Penuh warna.

Pondok pesantren yang ada di Nusantara ini beragam cirinya, karena setiap kiai memiliki otonomi yang sangat luas dan kewenangan besar ke arah mana pesantrennya dikembangkan. Ada pondok pesantren yang mendalami ilmu hadis, tafsir, ilmu alat, dan pada awal 70-an berkembang pondok pesantren yang diarahkan pada pengembangan keterampilan dan pertanian.

Namun, di antara keragaman pondok pesantren di Indonesia ini, ada ciri khusus yang dengan mudah untuk mengidentifikasi, apakah bangunan pendidikan Islam itu masuk kategori pesantren atau bukan pesantren.

Tiga ciri khusus

Ciri pertama yang bisa mengidentifi kasi jati diri pondok pesantren itu bahwa setiap pondok pesantren dalam mengembangkan Islam selalu mengajarkan paham Islam yang moderat, tasamuh, Islam wasatiyah yang dikenal dengan Islam ahlussunnah waljamaah.

Tasamuh atau toleransi ini menyandarkan pada satu sikap ‘sama-sama berlaku baik, lemah lembut, dan saling pemaaf.’ Dalam makna yang umum, tasamuh adalah ‘sikap akhlak terpuji dalam pergaulan, yakni terdapat rasa saling menghargai antara sesama manusia dalam batas-batas yang digariskan ajaran Islam.'

Itulah salah satu ciri pokok dari tradisi yang dikembangkan dari lorong pondok pesantren. Sikap tasamuh ini berjalan berkelindan dengan laku lampah kehidupan sehari-hari. Artinya, jika ada pondok pesantren yang mengabaikan sikap tasamuh, ia telah mengabaikan ajaran substantif dari nilai-nilai dasar pondok pesantren itu sendiri.

Dalam lajur sejarah, jauh sebelum PBB mendesain Declaration of Human Rights, Islam telah mengajarkan jaminan kebebasan beragama melalui `Piagam Madinah' pada 622 Masehi. Pada Piagam Madinah itu, Nabi Muhammad SAW meletakkan pilar-pilar dasar bagi keragaman hidup antarumat agama di antara warga negara yang berlainan agama, serta mengakui eksistensi kaum nonmuslim dan menghormati peribadatan mereka.

Di tepi lain, ketika umat Islam berkuasa hampir 700 tahun, pijakan toleransi menjadi kerangka acuan paling menonjol dalam memperlakukan penduduk pribumi, baik yang beragama Nasrani maupun Yahudi.Pada titik inilah, toleransi menjadi agregat umat Islam di masa itu. Tentunya itu harus dijadikan sandaran bagi kehidupan umat Islam masa kini.

Ciri kedua, pondok pesantren bisa dideskripsikan bahwa dalam melihat, memahami, lalu menghukumi (membuat hukum) sesuatu dilandasi kesadaran diri bahwa sesungguhnya kita tidak memiliki suatu yang hak mengatakan yang paling benar.

Poin kedua ini ingin menegaskan kembali identifikasi pondok pesantren, ada jiwa besar yang dikembangkan meskipun kita meyakini bahwa yang kita pegang itu benar, tapi tetap terbuka kemungkinan pendapat lain di posisi yang berbeda dan ada potensi kebenaran juga. Ada jiwa besar dan nilai yang ditanamkan bahwa kebenaran itu tidak mutlak milik kita saja.

Sikap kebesaran jiwa ini dapat ditilik dari sosok Imam Syafi'i, ketika ia mengatakan `meskipun aku meyakini pendapatkulah yang benar', tapi dengan rendah hati ia mengatakan `boleh jadi pendapat yang aku yakini mengandung hal-hal yang boleh jadi salah. Sebaliknya, meskipun pendapat orang lain itu salah, tapi boleh jadi yang aku anggap salah itu di sana termuat ada potensi kebenaran.’

Ciri kedua inilah yang dibangun dan menjadi tradisi pondok pesantren sehingga para santri dan kiainya tidak mudah menyalahkan orang lain, mengafirkan sesama. Itulah sesungguhnya yang dibangun karena pada setiap manusia ada keterbatasan diri, sehingga Allah menciptakan keberagaman. Keberagaman ialah anugerah Tuhan, dan karena keterbatasan sehingga bisa saling melengkapi.

Hikmah lain yang bisa dipetik dari ciri kedua ini bahwa di balik keragaman, ialah salah satu cara memudahkan kita mencari pandangan lain. Cara kita menyikapi keragaman dengan cara tawasut, tawazun bukan saling menegasikan satu sama lain. Keragaman harus dilihat dengan kelembutan dan kasih sayang. Pondok pesantren memiliki kontribusi dalam pembentukan karakter Islam.

Ciri ketiga, pondok pesantren mengajarkan santrinya untuk wajib mencintai Tanah Air. Sikap cinta Tanah Air ini sebagai representasi dari ajaran hubbul wathan minal iman, cinta Tanah Air itu sebagian dari iman. Hanya di daerah atau negara yang tidak bergolak, yang penuh damai, nilai dalam syariat Islam bisa ditegakkan.

Jadi, syarat untuk menunaikan ajaran Islam ialah kondisi negara yang aman. Itulah mengapa cinta Tanah Air bagian dari iman. Nasionalisme ditanamkan di pondok pesantren.

Ketiga ciri inilah menjadi bagian integral dari kehidupan dunia pesantren. Tentu saja, tiga ciri tersebut akan memperkuat para santri menghadapi dunia luar. Para santri perlu membuka keran-keran dunia luar untuk beradaptasi secara alamiah demi kemajuan bernegara dan berbangsa.

Seperti ditegaskan intelektual Islam, Azyumardi Azra dalam kata pengantar buku Nurcholish Madjid, Bilik-bilik Pesantren, bahwa pembaruan pesantren dalam masa ini mengarah pada pengembangan pandangan dunia dan substansi pendidikan pesantren agar lebih responsif terhadap kebutuhan tantangan zaman. Pikiran yang dikembangkan Azyumardi menegaskan kembali bahwa pondok pesantren dengan tiga ciri khusus tersebut harus terus-menerus merespons perubahan zaman di luar dirinya.

Kemampuan merespons pengembangan dunia dan substansi pendidikan pesantren dengan tiga ciri khususnya, tampak tumbuh subur dalam Perkemahan Pramuka Santri Nusantara, di Tambang Ulang, Tanah Laut, Pelaihari, Kalimantan Selatan, awal bulan ini. Itu artinya, apa yang pernah diungkap Clifford Geertz bahwa santri selalu ditandai ketaatan pada ajaran agama Islam serta keterlibatan dalam berbagai organisasi di luar dirinya, menemukan bentuknya.

Untuk itu, seruan #AyoMondok yang pernah menjadi booming dua pekan silam di ranah media sosial bukanlah sekadar basa-basi. #AyoMondok adalah satu seruan bahwa dunia pesantren adalah hutan belantara ilmu pengetahuan dan satu bentuk nyata penanaman pada diri untuk bersikap tasamuh, toleran, menghargai perbedaan pandangan, dan menabur semangat nasionalisme.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar