Menghukum
Berat Koruptor
Achmad Fauzi ; Hakim
Pengadilan Agama Tarakan Kalimantan Utara
|
MEDIA
INDONESIA, 10 Juni 2015
MAJELIS kasasi yang diketuai hakim
agung Artidjo Alkostar kembali mengirim kabar duka bagi para koruptor dengan
menjatuhkan vonis berat. Kali ini, vonis berlipat dijatuhkan kepada Anas
Urbaningrum. Ia dinyatakan terbukti melakukan tindak pidana korupsi dan
pencucian uang terkait proyek Hambalang dan proyek APBN lainnya. Mahkamah
Agung (MA) melipatgandakan hukuman Anas dari 7 tahun penjara berdasarkan
putusan Pengadilan Tinggi Jakarta menjadi 14 tahun penjara dan denda Rp5
miliar subsider 1 tahun 4 bulan kurungan. Di samping itu, MA juga menjatuhkan
pidana tambahan berupa uang pengganti Rp 57,5 miliar subsider 4 tahun
penjara.
Dari grafik vonis perkara korupsi
yang dijatuhkan MA yang belakangan ini kian garang dan mengandung efek jera,
ada semacam kesatuan tekad dari hakim untuk tidak memberikan toleransi dan
ruang kebebasan bagi koruptor. Perbuatan korupsi yang dilakukan pejabat penting
dan strategis telah merugikan begitu banyak keuangan negara serta
menyengsarakan rakyat sehingga harus dihukum berat. Atas dasar itulah MA juga
mengganjar Anas dengan mencabut hak politiknya. Majelis kasasi berpendapat
bahwa publik harus dilindungi dari fakta, informasi, dan persepsi yang keliru
tentang profil calon pemimpin sehingga publik harus dicegah dari kesalahan
memilih pemimpin dengan mencabut hak politik seseorang.
Terus terang, vonis berat terhadap
koruptor mampu mengobati dahaga keadilan publik yang sudah lama dirampas.
Sejak lama, publik berharap dalam putusan hakim ada keseimbangan logis antara
fakta tindak pidana korupsi dan pencucian uang yang dilakukan secara
berkali-kali dengan vonis yang dijatuhkan. Jika dalam fakta persidangan terbukti
ada pengulangan tindak pidana, itu sebenarnya sudah cukup alasan untuk
mencirikan pelaku tidak punya ikhtiar kuat untuk bertobat dari praktik
korupsi. Apalagi, kedudukannya sebagai pemangku kebijakan dan pejabat negara
yang seharusnya memberikan teladan baik dan mendukung program pemerintah yang
giat memberantas KKN, bukan sebaliknya.
Namun, persoalannya, soal
pencabutan hak politik koruptor sebagai pidana tambahan hingga kini belum
menjadi arus utama di pengadilan tipikor. Sebagian hakim berpendapat, sebagai
perwujudan demokrasi, masyarakat diberikan keleluasaan menyeleksi sendiri
kelayakan seseorang menduduki jabatan publik.
Tidak adanya perlindungan publik
dari masuknya calon pemimpin korup tersebut sangat rawan memunculkan para
`tikus berdasi' di lingkup pemerintahan.
Koruptor yang memiliki akses
menduduki jabatan politik akan semakin leluasa membangun jaringan yang dalam
jangka panjang semakin melemahkan sendi bernegara. Di atas singgasana
kekuasaan yang semestinya berjuang untuk kemakmuran rakyat, mereka justru
mengeruk keuangan negara untuk memperkaya diri.
Perlu disadari bahwa hingga saat
ini korupsi belum menunjukkan pertanda akan segera berakhir. Bahkan, bisa
dikatakan makin menjadi karena kian tumpulnya kualitas efek jera. Berdasarkan
laporan Indonesia Corruption Watch
(ICW), kecenderungan umum pemberantasan korupsi pada 2014 mengalami lesu
darah. ICW menyampaikan hasil pantauannya bahwa perkara korupsi yang
diperiksa dan diputus pengadilan tipikor selama 2014 rata-rata divonis
rendah.
Rata-rata koruptor divonis 2 tahun 8 bulan penjara. Jika dipetakan
lebih spesifik, sebanyak 77,6% perkara korupsi divonis ringan, yakni 1-4 tahun
penjara, 12,5% divonis sedang (4-10 tahun), dan 0,84% divonis berat (penjara
di atas 10 tahun dan seumur hidup). Data tersebut mengonfi rmasi bahwa tiga
perempat dari seluruh perkara korupsi yang ditangani pengadilan masih
menguntungkan koruptor.
Vonis rendah atau bahkan bebas
sejatinya tidak haram dalam hukum acara. Namun, ketika vonis rendah
dijatuhkan kepada terdakwa yang terbukti secara sah dan meyakinkan mengorupsi
uang negara, hal itu tentu akan mencederai nilai keadilan masyarakat. Korupsi
seolah diberikan ruang semai untuk tumbuh subur. Padahal, jika disurvei 100%,
masyarakat Indonesia mendukung praktik korupsi enyah dari peradaban. Karena
itu, perlu standar yang didasari argumentasi hukum yang kuat agar penjatuhan
berat atau ringannya vonis hakim tidak tampak spekulatif.
Kita berharap pengadilan tipikor
ke depan tampil lebih angker dan tidak kompromi kepada koruptor. Sebab,
selain persoalan remisi yang harus diperketat, vonis berat akan menjadi
faktor determinan untuk meningkatkan kualitas efek jera. Majelis kasasi
sebenarnya sudah berhasil mengirim pesan serius dengan memperberat hukuman
koruptor sehingga beberapa terpidana korupsi yang divonis di tingkat pertama
dan banding akan ciut nyalinya dan berpikir ulang untuk mengajukan kasasi.
Karena itu, keseriusan penegakan hukum perkara korupsi yang terjadi di pusat
hendaknya beresonansi juga ke daerah.
Saat ini, salah satu skala
prioritas pemerintahan Presiden Joko Widodo ialah memberantas epidemi
korupsi. Merebaknya politik kartel sebagaimana teori yang dikembangkan
Richard S Katz dan Peter Mair (1997) tengah menjadi karakteristik baru sistem
kepartaian kita. Politik kartel dicirikan dengan menguatnya arus ideologi
pragmatis dan sikap permisif menumpuk ceruk kekayaan melalui korupsi. Karena
itu, pemerintah terus berupaya menguatkan kembali lembaga KPK, kejaksaan
agung, dan kepolisian melalui sinergitas.
Itikad pemerintah tersebut
hendaknya disambut baik melalui penguatan lembaga hukum yang di dalamnya
mencakup penguatan persepsi hakim dalam memandang kejahatan korupsi sebagai
persoalan utama negara kita.
Lemahnya penegakan hukum bagi
koruptor bukan hanya berdampak sosial, melainkan juga menyiratkan pesan
implisit bahwa lembaga peradilan dianggap turut serta menimbulkan kerugian
negara melalui putusannya.
Karena itu, seberat apa pun intrik
politik dan bentuk intervensi lainnya dalam mengadili perkara korupsi, hal
itu harus dikesampingkan demi tegaknya keadilan. Biarkan para koruptor
berkicau ‘hakim memutus demi tepuk tangan’. Yang penting keputusan hakim
dalam mengadili itu sesuai dengan fakta yang tampak dan atas dasar
keyakinannya. Perlu diingat bahwa hakim merupakan jabatan yang dalam salah
satu hadis digambarkan dengan amat mengerikan, ‘disembelih tanpa menggunakan
pisau’, ‘salah satu kakinya berada di neraka’, dan tentu banyak riwayat lain
yang semua bermuara pada satu pesan agar hakim tetap berpegang pada prinsip
keadilan, imparsialitas (ketidakberpihakan), dan kejujuran dalam mengadili
perkara. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar