Kamis, 11 Juni 2015

Menghukum Berat Koruptor

Menghukum Berat Koruptor

Achmad Fauzi  ;  Hakim Pengadilan Agama Tarakan Kalimantan Utara
MEDIA INDONESIA, 10 Juni 2015

                                                                                                                                     
                                                

MAJELIS kasasi yang diketuai hakim agung Artidjo Alkostar kembali mengirim kabar duka bagi para koruptor dengan menjatuhkan vonis berat. Kali ini, vonis berlipat dijatuhkan kepada Anas Urbaningrum. Ia dinyatakan terbukti melakukan tindak pidana korupsi dan pencucian uang terkait proyek Hambalang dan proyek APBN lainnya. Mahkamah Agung (MA) melipatgandakan hukuman Anas dari 7 tahun penjara berdasarkan putusan Pengadilan Tinggi Jakarta menjadi 14 tahun penjara dan denda Rp5 miliar subsider 1 tahun 4 bulan kurungan. Di samping itu, MA juga menjatuhkan pidana tambahan berupa uang pengganti Rp 57,5 miliar subsider 4 tahun penjara.

Dari grafik vonis perkara korupsi yang dijatuhkan MA yang belakangan ini kian garang dan mengandung efek jera, ada semacam kesatuan tekad dari hakim untuk tidak memberikan toleransi dan ruang kebebasan bagi koruptor. Perbuatan korupsi yang dilakukan pejabat penting dan strategis telah merugikan begitu banyak keuangan negara serta menyengsarakan rakyat sehingga harus dihukum berat. Atas dasar itulah MA juga mengganjar Anas dengan mencabut hak politiknya. Majelis kasasi berpendapat bahwa publik harus dilindungi dari fakta, informasi, dan persepsi yang keliru tentang profil calon pemimpin sehingga publik harus dicegah dari kesalahan memilih pemimpin dengan mencabut hak politik seseorang.

Terus terang, vonis berat terhadap koruptor mampu mengobati dahaga keadilan publik yang sudah lama dirampas. Sejak lama, publik berharap dalam putusan hakim ada keseimbangan logis antara fakta tindak pidana korupsi dan pencucian uang yang dilakukan secara berkali-kali dengan vonis yang dijatuhkan. Jika dalam fakta persidangan terbukti ada pengulangan tindak pidana, itu sebenarnya sudah cukup alasan untuk mencirikan pelaku tidak punya ikhtiar kuat untuk bertobat dari praktik korupsi. Apalagi, kedudukannya sebagai pemangku kebijakan dan pejabat negara yang seharusnya memberikan teladan baik dan mendukung program pemerintah yang giat memberantas KKN, bukan sebaliknya.

Namun, persoalannya, soal pencabutan hak politik koruptor sebagai pidana tambahan hingga kini belum menjadi arus utama di pengadilan tipikor. Sebagian hakim berpendapat, sebagai perwujudan demokrasi, masyarakat diberikan keleluasaan menyeleksi sendiri kelayakan seseorang menduduki jabatan publik.
Tidak adanya perlindungan publik dari masuknya calon pemimpin korup tersebut sangat rawan memunculkan para `tikus berdasi' di lingkup pemerintahan. 

Koruptor yang memiliki akses menduduki jabatan politik akan semakin leluasa membangun jaringan yang dalam jangka panjang semakin melemahkan sendi bernegara. Di atas singgasana kekuasaan yang semestinya berjuang untuk kemakmuran rakyat, mereka justru mengeruk keuangan negara untuk memperkaya diri.

Perlu disadari bahwa hingga saat ini korupsi belum menunjukkan pertanda akan segera berakhir. Bahkan, bisa dikatakan makin menjadi karena kian tumpulnya kualitas efek jera. Berdasarkan laporan Indonesia Corruption Watch (ICW), kecenderungan umum pemberantasan korupsi pada 2014 mengalami lesu darah. ICW menyampaikan hasil pantauannya bahwa perkara korupsi yang diperiksa dan diputus pengadilan tipikor selama 2014 rata-rata divonis rendah. 

Rata-rata koruptor divonis 2 tahun 8 bulan penjara. Jika dipetakan lebih spesifik, sebanyak 77,6% perkara korupsi divonis ringan, yakni 1-4 tahun penjara, 12,5% divonis sedang (4-10 tahun), dan 0,84% divonis berat (penjara di atas 10 tahun dan seumur hidup). Data tersebut mengonfi rmasi bahwa tiga perempat dari seluruh perkara korupsi yang ditangani pengadilan masih menguntungkan koruptor.

Vonis rendah atau bahkan bebas sejatinya tidak haram dalam hukum acara. Namun, ketika vonis rendah dijatuhkan kepada terdakwa yang terbukti secara sah dan meyakinkan mengorupsi uang negara, hal itu tentu akan mencederai nilai keadilan masyarakat. Korupsi seolah diberikan ruang semai untuk tumbuh subur. Padahal, jika disurvei 100%, masyarakat Indonesia mendukung praktik korupsi enyah dari peradaban. Karena itu, perlu standar yang didasari argumentasi hukum yang kuat agar penjatuhan berat atau ringannya vonis hakim tidak tampak spekulatif.

Kita berharap pengadilan tipikor ke depan tampil lebih angker dan tidak kompromi kepada koruptor. Sebab, selain persoalan remisi yang harus diperketat, vonis berat akan menjadi faktor determinan untuk meningkatkan kualitas efek jera. Majelis kasasi sebenarnya sudah berhasil mengirim pesan serius dengan memperberat hukuman koruptor sehingga beberapa terpidana korupsi yang divonis di tingkat pertama dan banding akan ciut nyalinya dan berpikir ulang untuk mengajukan kasasi. Karena itu, keseriusan penegakan hukum perkara korupsi yang terjadi di pusat hendaknya beresonansi juga ke daerah.

Saat ini, salah satu skala prioritas pemerintahan Presiden Joko Widodo ialah memberantas epidemi korupsi. Merebaknya politik kartel sebagaimana teori yang dikembangkan Richard S Katz dan Peter Mair (1997) tengah menjadi karakteristik baru sistem kepartaian kita. Politik kartel dicirikan dengan menguatnya arus ideologi pragmatis dan sikap permisif menumpuk ceruk kekayaan melalui korupsi. Karena itu, pemerintah terus berupaya menguatkan kembali lembaga KPK, kejaksaan agung, dan kepolisian melalui sinergitas.
Itikad pemerintah tersebut hendaknya disambut baik melalui penguatan lembaga hukum yang di dalamnya mencakup penguatan persepsi hakim dalam memandang kejahatan korupsi sebagai persoalan utama negara kita.

Lemahnya penegakan hukum bagi koruptor bukan hanya berdampak sosial, melainkan juga menyiratkan pesan implisit bahwa lembaga peradilan dianggap turut serta menimbulkan kerugian negara melalui putusannya.

Karena itu, seberat apa pun intrik politik dan bentuk intervensi lainnya dalam mengadili perkara korupsi, hal itu harus dikesampingkan demi tegaknya keadilan. Biarkan para koruptor berkicau ‘hakim memutus demi tepuk tangan’. Yang penting keputusan hakim dalam mengadili itu sesuai dengan fakta yang tampak dan atas dasar keyakinannya. Perlu diingat bahwa hakim merupakan jabatan yang dalam salah satu hadis digambarkan dengan amat mengerikan, ‘disembelih tanpa menggunakan pisau’, ‘salah satu kakinya berada di neraka’, dan tentu banyak riwayat lain yang semua bermuara pada satu pesan agar hakim tetap berpegang pada prinsip keadilan, imparsialitas (ketidakberpihakan), dan kejujuran dalam mengadili perkara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar