Ekologi
Humanisme dalam Nawa Cita
Thomas Koten ; Direktur
Social Development Center
|
MEDIA
INDONESIA, 09 Juni 2015
SUNGGUH menarik hal yang
dikedepankan Presiden Joko Wido do pada acara peringatan Hari Ling kungan
Hidup bertema Mimpi dan aksi bersama untuk keberlanjutan bumi di Istana
Bogor, Jawa Barat, pada Jumat (5/6). Sebagaimana diberitakan Media Indonesia
(6/6), Presiden Jokowi menegaskan tidak ada kompromi untuk illegal fishing, illegal mining, dan illegal logging yang menyebabkan
kerusakan lingkungan luar biasa.
Pernyataan sang presiden memberi
sinyal kuat tentang political will
yang serius bagi penegakan hukum di bidang lingkungan. Memang, pernyataan
Presiden Jokowi, seperti yang dielaborasi Editorial harian ini, bahwa
kapasitas bumi ini sangat memadai untuk memenuhi kebutuhan hidup seluruh umat
manusia.
Namun, itu tidak cukup untuk mengikuti kemauan segelintir orang yang
serakah. Oleh karena itu, yang kita butuhkan ialah pengendalian diri yang
dibarengi dengan kesadaran dan kemauan untuk merawat, serta mengawal dan
mencintai lingkungan.
Artinya, suatu pengamatan tajam
sang presiden yang penting untuk disimak dan tidak bisa disangkal
kebenarannya ialah di bumi ini sungguh sudah terjadi kerusakan lingkungan
yang sangat parah akibat eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan.Suatu
kondisi yang telah menjadi ancaman prematur kehidupan di bumi pada masa yang
akan datang.
Sebenarnya, keseriusan Presiden
Jokowi terhadap perbaikan lingkungan tersebut sudah dicanangkan dalam
sembilan agenda prioritas atau Nawa Cita. Dalam Nawa Cita, presiden sudah
secara eksplisit memaparkan program lingkungan yang menyangkut penegakan
hukum pemberantasan penebangan liar, pertambangan, dan penangkapan ikan yang
ditempatkan di bawah misi penegakan hukum. Di samping itu, ada sektor
kehutanan yang mendapat perhatian dengan cara rehabilitasi 100,7 juta hektare
areal tidak berhutan, hutan tidak produktif, dan hutan kritis.
Artinya, dengan adanya program
Nawa Cita, problem lingkungan hidup sudah direncanakan dan akan ditangani
secara serius. Kementerian Lingkungan Hidup pun akan tetap sebagai
kementerian yang memiliki anggaran cukup serta wewenang implementasi yang
cukup luas karena lingkungan memiliki banyak aspek yang perlu mendapat
prioritas dalam penanganannya.
Jika ditelusuri lagi, lingkungan
kita tengah berada dalam krisis yang parah dari hulu hingga hilir, misalnya,
pada musim hujan kebanjiran dan pada musim kemarau kekeringan. Sepanjang
tahun kita seperti mengalami banjir, kekeringan, kehilangan sumber mata air, tanah
longsor, asap, rembesan air laut, pencemaran air dan udara, serta kehilangan
keanekaragaman hayati dan lenyapnya ketersediaan tanaman obat-obatan. Semua
itu sudah masuk dalam tahapan yang mengancam kelestarian semesta, terutama
kehidupan anak cucu kita.
Dalam sejumlah laporan, Indonesia
menjadi negara dengan indikator kerusakan lingkungan hidup tertinggi di
dunia, misalnya, Jakarta kota tercemar ketiga di dunia dan sungai Citarum
merupakan sungai paling tercemar di dunia. Laju kerusakan hutan Indonesia
dalam kurun waktu 2000-2012 ialah 2 juta hektare per tahun, dengan kuantitas
kerusakan hutan dari tahun ke tahun terus meningkat.
Sayangnya, selama ini, setiap kali
mendapat laporan dan kritikan dari dunia interna sional atau LSM di dalam
negeri, pihak lain selalu dijadikan kambing hitam. Padahal, ulah manusia
Indonesia yang tidak peduli pada ling kungan dan rendahnya rasa hormat pada
alam, serta tidak adanya visi ekologi dari pemerintah merupakan penyebab
menurunnya daya dukung lingkung an dan hadirnya aneka bencana ekologi. Sikap
itu pula yang mendorong manusia menggunakan teknologi untuk terus
mengeksploitasi lingkungan.
Dengan kecanggihan teknologi,
kawasan hutan disulap menjadi permukiman, industri, lahan pertanian, dan
perkebunan. Di lain pihak, dana-dana rehabilitasi hutan dan penanggulangan
bencana justru bergulir tidak tepat sasaran dan banyak yang dikorupsi.
Berdasarkan data Forest Watch Indonesia
(2009), dalam kurun waktu 60 tahun terakhir, tutupan hutan di Indonesia
berkurang dari 162 juta ha menjadi hanya 88,17 juta ha, atau setara dengan
sekitar 46,3% dari luas total daratan Indonesia.
Ekologi humanisme
Oleh karena itu, biar bagaimana
pun, alam tidak boleh dirusak dan keseimbangan ekosistem tidak boleh
dihancurkan. Itu semua demi anak cucu kita yang akan mendiami bumi, alam, dan
lingkungan yang sama ini. Karena itu, regenerasi kehidupan di alam semesta
harus dirawat dan dilestarikan. Untuk itu, perlu segera ditumbuhkan kesadaran
baru di tengah masyarakat yang diikuti dengan lahirnya cara pandang baru
terhadap alam atau lingkungan.
Lahirnya teknologi yang begitu
serakah mengeksploitasi lingkungan pada awalnya bertujuan membantu memudahkan
hidup manusia. Henryk Skolimowski menjelaskan teknologi ialah teknik untuk
hidup. Namun, dalam perkembangannya, teknologi modern telah melupakan fungsi
dasarnya. Teknologi telah gagal sebagai alat hidup, semakin digunakan sebagai
alat penguasa, bahkan penghancur alam atau lingkungan.
Karena itu, perlu adanya kesadaran
dan cara pandang baru untuk mengembalikan fungsi teknologi dan mengubah
perilaku manusia terhadap alam.
Akhirnya, dengan teknologi yang
ada, alam bukan dirusak, melainkan dilestarikan. Keseimbangan ekosistem pun
tetap terjaga, lingkungan hidup terus lestari, dan kehidupan semesta di hari
esok akan tetap dapat terjamin.
Harapan itu dapat terwujud jika
semua berjalan di atas nilai, moral, dan etika lingkungan. Dalam bingkai itu,
keberagaman manusia dan kesadaran sebagai makhluk Tuhan yang memiliki
kewajiban untuk merawat dan memakmurkan bumi menjadi poin masuk untuk
mengembangkan kelestarian lingkungan dan keseimbangan ekosistem tersebut.
Bencana alam yang terus terjadi
selama ini bukan karena ulah alam, an sich, melainkan karena perilaku manusia
yang ceroboh dan serakah.
Karena itu, kerusakan lingkungan
dan hancurnya keseimbangan ekosistem tidak lain merupakan ekses dari perilaku
manusia yang sewenang-wenang terhadap alam, bahkan terhadap Sang Pencipta.
Karena itu, Skolimowski mencoba mengenalkan ekologi humanisme yang antara
lain menempatkan manusia bukan lagi sebagai penguasa alam, melainkan sebagai
penjaga, perawat, dan pelestari, bahkan pelayan lingkungan dan alam semesta.
Pada hakikatnya, manusia, alam, dan Sang Pencipta memiliki korelasi ikatan
yang tidak terpisahkan.
Ingat, manusia tidak bisa hidup tanpa
alam dan bumi. Jika kita gagal dalam mengendalikan segala perilaku buruk yang
merusak lingkungan dan tidak menumbuhkan kesadaran, kemauan dalam merawat,
mengawal, dan mencintai lingkungan, kita akan terus dibebani dosa berat
karena mewariskan lingkungan yang rusak dan bumi yang bopeng kepada generasi
anak cucu kita sambil menciptakan kemiskinan bagi mereka. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar