Kamis, 11 Juni 2015

Pelanggaran Perpres belum Tentu Tindak Pidana

Pelanggaran Perpres belum Tentu Tindak Pidana

Erman Rajagukguk  ;  Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia
MEDIA INDONESIA, 10 Juni 2015

                                                                                                                                     
                                                

MANTAN Dirut PT PLN (Persero), DI, menjadi tersangka sehubungan dengan dugaan korupsi pengadaan dan pembangunan gardu listrik di Jawa, Bali, dan NTB. Dalam kasus itu, DI berperan sebagai Kuasa Pengguna Anggaran. Ia diduga telah melanggar Peraturan Menteri (Permen) Keuangan tentang Tata Cara Pengajuan Persetujuan Kontrak Tahun Jamak.

Syarat utama memperoleh izin ialah tersedianya lahan. Padahal, lahannya belum tersedia. Kedua, ia juga dituduh melanggar Peraturan Presiden (Perpres) No 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Ia diduga melakukan penyimpangan sistem pembayaran jasa konstruksi yang diatur dalam Pasal 89 ayat (4) Perpres 54 Tahun 2010. Akibatnya, pihak rekanan langsung mencairkan dana proyek sesuai dengan material yang telah tersedia, meskipun tidak dapat dipasang karena tidak tersedianya lahan (Media Indonesia, 6/6/2015).

Tanggung jawab direksi

Pasal 97 ayat (5) UU No 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas menyatakan, bahwa anggota Direksi tidak dapat dipertanggungjawabkan atas kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) apabila dapat membuktikan: a. Kerugian tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya; b. Telah melakukan pengurusan dengan iktikad baik dan kehati-hatian untuk kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan; c. Tidak mempunyai benturan kepentingan, baik langsung maupun tidak langsung atas tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian; dan d. Telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian tersebut.

Penjelasan Pasal 97 ayat (5) huruf d menyebutkan, bahwa yang dimaksud dengan `mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian' termasuk juga langkah-langkah untuk memperoleh informasi mengenai tindakan pengurusan yang dapat mengakibatkan kerugian, antara lain melalui forum rapat direksi.

Pasal tersebut dikenal dengan nama Business Judgment Rule. Sebagai perbandingan, dalam UU Corporation di AS, negara bagian di sana mengatur Business Judgment Rule ini sedikit berbeda-beda. Negara bagian Delaware, misalnya, tidak ada formulasi yang tunggal hampir dua abad tentang Business Judgment Rule ini. Namun, sejak 1984, formulasi Delaware kemudian amat terkenal. Delaware standards bergeser beberapa tahun belakangan ini, yakni sejak 1984, Mahkamah Agung Delaware secara konsisten menetapkan karakteristik Business Judgment Rule tersebut sebagai : A presumption that in making a business decision the directors of a corporation acted on an informal basis, in good faith and in the honest belief that the action taken was in the best interests of the company. Absent an abuse of discretion, that judgment will be respected by the courts, with the burden being on the party challenging the decision to establish facts rebutting the presumption.

Unsur-unsur Business Judgment Rule, prakondisi yang harus dipenuhi sebelum direktur dapat memakainya sebagai pembelaan ialah: 1. Keputusan bisnis; 2. Tidak berkepentingan dan mandiri (independent); 3. Due care (sikap berhati-hati); 4. good faith (iktikad baik); 5. no abuse of direction (tidak melanggar kebijaksanaan).

Pihak yang menentang tingkah laku direktur harus membuktikan bahwa direktur melanggar prinsip kehati-hatian (duty of care) dan hanya perlu membuktikan salah satu unsur tidak ada. Direktur perusahaan bertanggung jawab mengarahkan pengurus dalam kegiatan perusahaan sehari-hari. Tujuan ini ialah umum yang integral di dalam menjalankan perusahaan secara efektif dan menguntungkan. Dalam banyak keadaan atau situasi, para direktur menghadapi keputusan yang mereka sendiri tidak intimately informed about, dan punya keterbatasan. Namun, keputusan harus diambil dalam rangka bisnis menjaga pasar dan mengatasi kompetisi.

Direktur yang bagus pada umumnya dapat mempertimbangkan keperluan bisnis di satu pihak, risiko yang akan dihadapi dalam usaha tersebut di pihak lain. Bagaimanapun, harus terdapat kepentingan dari dua kepentingan tersebut, menciptakan strategi jangka panjang untuk suksesnya perusahaan. Jika direktur gagal menggunakan persyaratan dalam penilaian yang patut untuk kepentingan terbaik, dia bisa mendapat gugatan derivative dari pemegang saham yang tak beruntung.

Sanksi pidana

Pelanggaran suatu Perpres atau suatu peraturan Menkeu tidak mempunyai sanksi pidana. Sanksi pidana suatu peraturan perundang-undangan harus dengan persetujuan rakyat. Artinya, harus ada dalam bentuk suatu UU. KUHP sampai saat ini, belum ada yang memuat pelanggaran terhadap Perpres atau peraturan Menkeu dapat dikenai sanksi pidana. Namun demikian, UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi No 31 Tahun 1999 jo UU No 20 Tahun 2001, antara lain menyebutkan salah satu unsur korupsi ialah perbuatan secara melawan hukum. Pasal 2 ayat (1) menyatakan:

Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp1 miliar.

Melanggar suatu Perpres atau peraturan menteri apakah termasuk perbuatan melawan hukum, menurut saya, masih dalam perdebatan akademis. Pimpinan PT PLN (Persero) belum tentu dapat dituduh melakukan tindak pidana korupsi karena belum terbukti menerima/memberi suap, menggelapkan atau mendapatkan keuntungan untuk dirinya sendiri. Tindakannya tidak memenuhi unsur-unsur korupsi seperti yang disebutkan UU No 31 Tahun 1999 dan Konvensi Antikorupsi PBB Tahun 2003 yang sudah diratifikasi dengan UU No 7 Tahun 2006, yaitu: a) Penyelenggaraan akuntansi ekstrapembukuan; b) Penyelenggaraan transaksi-transaksi ekstrapembukuan atau yang tidak cukup jelas; c) Pencatatan pengeluaran yang tidak nyata; d) Pemasukan kewajiban-kewajiban dengan identifikasi tujuan yang tidak benar; e) Penggunaan dokumen-dokumen palsu; dan f) Perusakan sengaja atas dokumen-dokumen pembukuan terlebih dahulu dari yang direncanakan oleh undang-undang.

Kembali kepada masalah pendirian gardu induk pembangkit tenaga listrik, apakah tidak diberi waktu kepada perusahaan yang memasok mesin-mesin yang telah dibelinya untuk mendapatkan lahan-lahan lain?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar