Pelanggaran
Perpres belum Tentu Tindak Pidana
Erman Rajagukguk ; Guru
Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia
|
MEDIA
INDONESIA, 10 Juni 2015
MANTAN Dirut PT PLN (Persero), DI,
menjadi tersangka sehubungan dengan dugaan korupsi pengadaan dan pembangunan
gardu listrik di Jawa, Bali, dan NTB. Dalam kasus itu, DI berperan sebagai
Kuasa Pengguna Anggaran. Ia diduga telah melanggar Peraturan Menteri (Permen)
Keuangan tentang Tata Cara Pengajuan Persetujuan Kontrak Tahun Jamak.
Syarat utama memperoleh izin ialah
tersedianya lahan. Padahal, lahannya belum tersedia. Kedua, ia juga dituduh
melanggar Peraturan Presiden (Perpres) No 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan
Barang/Jasa Pemerintah. Ia diduga melakukan penyimpangan sistem pembayaran
jasa konstruksi yang diatur dalam Pasal 89 ayat (4) Perpres 54 Tahun 2010.
Akibatnya, pihak rekanan langsung mencairkan dana proyek sesuai dengan
material yang telah tersedia, meskipun tidak dapat dipasang karena tidak
tersedianya lahan (Media Indonesia, 6/6/2015).
Tanggung jawab direksi
Pasal 97 ayat (5) UU No 40 Tahun
2007 tentang Perseroan Terbatas menyatakan, bahwa anggota Direksi tidak dapat
dipertanggungjawabkan atas kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
apabila dapat membuktikan: a. Kerugian tersebut bukan karena kesalahan atau
kelalaiannya; b. Telah melakukan pengurusan dengan iktikad baik dan
kehati-hatian untuk kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan
perseroan; c. Tidak mempunyai benturan kepentingan, baik langsung maupun
tidak langsung atas tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian; dan d.
Telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian
tersebut.
Penjelasan Pasal 97 ayat (5) huruf
d menyebutkan, bahwa yang dimaksud dengan `mengambil tindakan untuk mencegah
timbul atau berlanjutnya kerugian' termasuk juga langkah-langkah untuk
memperoleh informasi mengenai tindakan pengurusan yang dapat mengakibatkan
kerugian, antara lain melalui forum rapat direksi.
Pasal tersebut dikenal dengan nama
Business Judgment Rule. Sebagai perbandingan,
dalam UU Corporation di AS, negara bagian di sana mengatur Business Judgment
Rule ini sedikit berbeda-beda. Negara bagian Delaware, misalnya, tidak ada
formulasi yang tunggal hampir dua abad tentang Business Judgment Rule ini. Namun, sejak 1984, formulasi Delaware
kemudian amat terkenal. Delaware
standards bergeser beberapa tahun belakangan ini, yakni sejak 1984,
Mahkamah Agung Delaware secara konsisten menetapkan karakteristik Business Judgment Rule tersebut
sebagai : A presumption that in making
a business decision the directors of a corporation acted on an informal
basis, in good faith and in the honest belief that the action taken was in
the best interests of the company. Absent an abuse of discretion, that
judgment will be respected by the courts, with the burden being on the party
challenging the decision to establish facts rebutting the presumption.
Unsur-unsur Business Judgment Rule, prakondisi yang harus dipenuhi sebelum
direktur dapat memakainya sebagai pembelaan ialah: 1. Keputusan bisnis; 2.
Tidak berkepentingan dan mandiri (independent); 3. Due care (sikap berhati-hati); 4. good faith (iktikad baik); 5. no
abuse of direction (tidak melanggar kebijaksanaan).
Pihak yang menentang tingkah laku
direktur harus membuktikan bahwa direktur melanggar prinsip kehati-hatian (duty of care) dan hanya perlu
membuktikan salah satu unsur tidak ada. Direktur perusahaan bertanggung jawab
mengarahkan pengurus dalam kegiatan perusahaan sehari-hari. Tujuan ini ialah
umum yang integral di dalam menjalankan perusahaan secara efektif dan
menguntungkan. Dalam banyak keadaan atau situasi, para direktur menghadapi
keputusan yang mereka sendiri tidak intimately
informed about, dan punya keterbatasan. Namun, keputusan harus diambil
dalam rangka bisnis menjaga pasar dan mengatasi kompetisi.
Direktur yang bagus pada umumnya
dapat mempertimbangkan keperluan bisnis di satu pihak, risiko yang akan
dihadapi dalam usaha tersebut di pihak lain. Bagaimanapun, harus terdapat
kepentingan dari dua kepentingan tersebut, menciptakan strategi jangka
panjang untuk suksesnya perusahaan. Jika direktur gagal menggunakan
persyaratan dalam penilaian yang patut untuk kepentingan terbaik, dia bisa
mendapat gugatan derivative dari
pemegang saham yang tak beruntung.
Sanksi pidana
Pelanggaran suatu Perpres atau suatu peraturan Menkeu
tidak mempunyai sanksi pidana. Sanksi pidana suatu peraturan
perundang-undangan harus dengan persetujuan rakyat. Artinya, harus ada dalam
bentuk suatu UU.
KUHP sampai saat ini, belum ada yang memuat pelanggaran terhadap Perpres atau
peraturan Menkeu dapat dikenai sanksi pidana. Namun demikian, UU
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi No 31 Tahun 1999 jo UU No 20 Tahun 2001,
antara lain menyebutkan salah satu unsur korupsi ialah perbuatan secara
melawan hukum. Pasal 2 ayat (1) menyatakan:
Setiap orang yang secara melawan
hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara,
dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling
singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Rp200 juta
dan paling banyak Rp1 miliar.
Melanggar suatu Perpres atau peraturan menteri apakah
termasuk perbuatan melawan hukum, menurut saya, masih dalam perdebatan
akademis. Pimpinan PT
PLN (Persero) belum tentu dapat dituduh melakukan tindak pidana korupsi
karena belum terbukti menerima/memberi suap, menggelapkan atau mendapatkan
keuntungan untuk dirinya sendiri. Tindakannya tidak memenuhi unsur-unsur
korupsi seperti yang disebutkan UU No 31 Tahun 1999 dan Konvensi Antikorupsi
PBB Tahun 2003 yang sudah diratifikasi dengan UU No 7 Tahun 2006, yaitu: a)
Penyelenggaraan akuntansi ekstrapembukuan; b) Penyelenggaraan
transaksi-transaksi ekstrapembukuan atau yang tidak cukup jelas; c)
Pencatatan pengeluaran yang tidak nyata; d) Pemasukan kewajiban-kewajiban
dengan identifikasi tujuan yang tidak benar; e) Penggunaan dokumen-dokumen
palsu; dan f) Perusakan sengaja atas dokumen-dokumen pembukuan terlebih
dahulu dari yang direncanakan oleh undang-undang.
Kembali kepada
masalah pendirian gardu induk pembangkit tenaga listrik, apakah tidak diberi
waktu kepada perusahaan yang memasok mesin-mesin yang telah dibelinya untuk
mendapatkan lahan-lahan lain? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar