Keindahan
dan Absurditas
Ahmad Sahidah ; Dosen
Filsafat Universitas Utara Malaysia
|
KORAN
TEMPO, 10 Juni 2015
Karya Pablo Picasso, Les
Femmes d'Alger (Perempuan Aljazair),
tercatat dalam sejarah sebagai lukisan termahal dalam sebuah lelang. Lukisan
minyak yang diciptakan sekitar 1954-1955 itu laku Rp 3,2 triliun. Hingga saat
ini, pembelinya yang merogoh kocek sampai US$ 179.365.000, termasuk komisi 12
persen untuk rumah lelang Christie's, tak diketahui. Sebelumnya, karya
termahal dipegang oleh lukisan karya seniman Inggris, Francis Bacon, Three Studies of Lucian Freud. Pada
2013, lukisan tersebut terjual seharga US$142,4 juta (Rp 1,8 triliun) di
tempat yang sama.
Tak pelak, mengingat begitu fantastisnya harga sebuah
lukisan, di portal The Guardian,
Sarah Crompton, penulis dan penyiar, menyoal bagaimana mungkin sebuah karya
seni berharga semahal itu, sementara pada waktu yang sama ada 21 anak di
bawah usia lima tahun meninggal dunia setiap menit akibat penyakit yang bisa
dicegah? Mungkin, pembeli bisa menyergah bahwa karya seorang jenius tak bisa
dihargai, tapi apakah Picasso setuju? Untuk itu, Crompton lebih memilih uang
sebanyak itu dibelanjakan di tempat lain untuk sesuatu yang lebih bermanfaat
bagi khalayak, semisal kesehatan, pendidikan, dan fasilitas umum.
Berbeda dengan Crompton, Tiffany Jenkins, sosiolog budaya,
melihat karya jenius memang tidak bisa menyembuhkan kanker atau menghentikan
kematian anak yang disebut oleh Crompton. Namun, sebagai masyarakat beradab,
manusia tidak hanya memiliki kebutuhan ragawi, tapi juga rohani. Kalau
memakai logika Crompton, sebaiknya uang yang berlimpah itu digunakan untuk
kesehatan warga. Namun, kebanyakan warga yang sakit tidak hanya ingin
mendapatkan yang terbaik, tapi juga kehidupan yang berharga. Lagi-lagi, seni
(art) bisa menyediakan keperluan yang terakhir ini.
Clive Bell, dalam The
Aesthetic Hypothesis, menjelaskan bahwa titik mula bagi semua sistem
estetik mesti berupa pengalaman pribadi terhadap emosi khas. Dengan demikian
tidak ada pertimbangan obyektif tentang keindahan. Meskipun demikian,
betapapun ia tak menggemari apa yang disebut dengan "seni tinggi",
sejatinya, kata Curt Ducasse, tidak ada cita rasa baik atau buruk, melainkan
hanya selera yang berbeda. Perbedaannya, kritikus bisa menjelaskan mengapa
mereka bisa menerangkan kesukaannya atas sesuatu, sementara amatir hanya
menikmatinya.
Persoalannya, adakah secara etik, seseorang bisa
menghamburkan uang sebanyak itu untuk sebuah lukisan? Tak pelak Tiffany
Jenkins menyebut penikmat seni mahal tak lebih daripada orang kaya yang ingin
menanam modal demi keuntungan pada masa mendatang, dan ingin tampak istimewa
karena berbeda dengan yang lain.
Dengan demikian, apabila sebuah tindakan itu bisa dinilai
dari manfaat untuk sebanyak mungkin orang, meskipun mengorbankan segelintir,
jelas kegemaran semacam ini tampak lancung dari sudut pandang teori
utilitarianisme. Sejatinya, alam semesta telah menyediakan begitu banyak
pesona dan bisa diakses oleh segala lapisan masyarakat. Dengan merujuk pada
pembentukan cita rasa yang bermula dari pengalaman sehari-hari, seperti
diungkap oleh Pierre Bourdieu, sosiolog Prancis, secara bersama-sama kita
bisa mewujudkan selera keindahan orang ramai yang wajar, terjangkau, dan
tidak berlebihan. Pendek kata, kesederhanaan itu adalah kemewahan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar