Inefisiensi
Perang Melawan ISIS
Smith Alhadar ; Penasihat
pada The Indonesian Society for Middle East Studies
|
KORAN
TEMPO, 10 Juni 2015
Menteri Luar Negeri Inggris Philip Hammond menyatakan,
untuk mengalahkan Negara Islam di Irak dan Suriah (ISIS), harus sama seperti
bertempur melawan Nazi saat Perang Dunia II.
Pernyataan ini menggarisbawahi dua hal. Pertama, ISIS
merupakan kekuatan luar biasa. Memang, pemberontak revolusioner selalu lebih
superior daripada tentara konvensional. Lihat saja, dalam menaklukkan Kota
Ramadi, Irak, 17 Mei lalu, tentara Irak dalam jumlah besar dengan
persenjataan lebih lengkap justru lari kocar-kacir saat diserang ISIS dengan
jumlah personel lebih sedikit dan senjata terbatas.
Kedua, sekutu membutuhkan kekuatan militer yang sangat
besar untuk bisa menundukkan khilafah teror yang penuh dedikasi, komitmen,
dan tekad yang kuat untuk melawan musuh-musuhnya yang mereka tuduh kafir.
Faktanya, Liga Arab-NATO tidak bersedia menurunkan pasukan darat untuk
menghadapi ISIS. Koalisi ini hanya melancarkan serangan udara terhadap
target-target ISIS, sementara pasukan darat hanya mengandalkan militer
pemerintah Irak yang morilnya amat rendah.
Sementara itu, Milisi Syiah, Hashid Shaabi, yang dilatih
dan dikomandani militer Iran dan yang berhasil menekuk ISIS dalam perang
pembebasan Kota Tikrit, Maret lalu, tidak begitu disambut pihak koalisi. AS
mensyaratkan Hashid Shaabi berada di bawah kendali pasukan pemerintah Irak,
di mana AS punya pengaruh di dalamnya. Padahal, dengan berada di bawah
komando pihak lain, belum tentu Hashid Shaabi dapat bertempur secara efisien
seperti ketika mereka membebaskan Tikrit.
Keberatan Liga Arab (baca: Saudi) dan NATO (baca: AS)
dibentuk oleh ketidaksukaan mereka terhadap Iran. Sebab, bila Ramadi
ditaklukkan dengan peran besar Hashid Shaabi, Iran akan mendapatkan credit
point. Dunia internasional, bahkan dunia Islam Sunni, akan mengapresiasi Iran.
Itu sebabnya, kendati Iran menawarkan diri untuk menurunkan pasukan daratnya,
AS-Arab Saudi menolak. Kalau mengandalkan peshmarga (milisi Kurdi), peshmarga
harus dipersenjatai secara memadai. Hal ini tidak diinginkan Irak, Iran,
Turki, dan Suriah-negara-negara yang memiliki suku Kurdi-karena khawatir,
dengan memiliki senjata dalam jumlah besar, etnis Kurdi akan memproklamasikan
kemerdekaan.
Turki, anggota NATO, yang wilayahnya berbatasan dengan
Suriah di selatan dan Irak di tenggara, sebenarnya sangat diharapkan AS-Saudi
untuk berpartisipasi dalam perang dengan menerjunkan pasukan daratnya.
Sayang, Turki menolak, kecuali dijadikan satu paket dengan serangan terhadap
Suriah untuk menjatuhkan rezim Bashat al-Assad. AS keberatan karena khawatir
Suriah akan terjerumus dalam situasi anarkistis, hingga memperluas tragedi
kemanusiaan dan instabilitas yang tak dapat dikendalikan sebagaimana Irak
selepas kejatuhan rezim Presiden Irak Saddam Hussein. Negara-negara Arab
sendiri tidak bersedia menyumbang pasukan daratnya untuk memerangi ISIS, yang
merupakan musuh peradaban, musuh kemanusiaan, dan musuh orang-orang beriman.
Mereka lebih sibuk memerangi Houthi di Yaman, kelompok minoritas yang miskin.
Liga Arab-AS mulai melancarkan serangan terhadap ISIS
sejak September. Ketika itu, AS menaksir perang ini akan memakan waktu tiga
tahun dengan biaya US$ 1 miliar sebulan. Kini usia ISIS sudah mencapai
setahun sejak diproklamasikan pada Juni 2014, dan tidak ada tanda-tanda
mereka akan menyerah. Malah, belakangan ini ISIS terus memperluas teritori di
Irak dan Suriah.
Padahal, menghadapi kekuatan militer Saddam Hussein yang
menginvasi Kuwait (1991)-yang kala itu disebut-sebut sebagai kekuatan militer
terbesar di Timur Tengah setelah Israel dan Turki-AS dan koalisi
internasionalnya hanya membutuhkan waktu 44 hari dan hanya perlu waktu dua
minggu untuk memusnahkan sisa kekuatan militer Saddam pada 2003.
Tidak efisiennya perang ini disebabkan tidak solidnya
koalisi anti-ISIS dan masing-masing negara regional dan internasional saling
mendahulukan kepentingan nasionalnya. Presiden AS Barack Obama konsisten
dengan komitmennya untuk tidak lagi menerjunkan pasukan daratnya di Irak yang
akan sangat mengganggu ekonomi AS dan merugikan secara politik. Agaknya Obama
menyadari bahwa fenomena terorisme di Timur Tengah khususnya terkait erat
dengan hegemoni dan perang AS di kawasan bergolak itu.
Perang melawan ISIS bukan hanya terhadap kekuatan
militernya, tapi juga ideologinya. Utusan Khusus Presiden AS untuk Koalisi
Global Melawan ISIS John Allen, saat tampil sebagai pembicara kunci dalam
Forum Dunia Islam-AS, di Doha, Qatar, (3 Juni lalu) menyatakan, untuk
menghancurkan ideologi ISIS, diperlukan waktu paling tidak satu generasi.
Melihat bahaya militer maupun ideologi ISIS yang tidak mendapatkan tanggapan
lebih serius dari kekuatan internasional, Direktur Proyek Khusus Grup
Soufan-perusahaan keamanan di New York, Patrick Skinner, menyatakan, "Di
setiap satu langkah, mereka ternyata dikaruniai dengan lawan-lawan yang
buruk." Agaknya Patrick Skinner
benar. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar