Rabu, 10 Juni 2015

Jihad Konstitusi Muhammadiyah

Jihad Konstitusi Muhammadiyah

Benni Setiawan  ;  Wakil Sekretaris Majelis Tabligh Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Tengah; Dosen Universitas Negeri Yogyakarta
JAWA POS, 10 Juni 2015

                                                                                                                                     
                                                

ABAD kedua Muhammadiyah telah membentang. Tantangan dakwah abad ini tentu akan semakin kompleks jika dibandingkan dengan abad pertama. Abad pertama, Kiai Dahlan menghadapi kejahilan masyarakat. Yaitu, kebodohan dan kemiskinan serta jauhnya umat dari nilai-nilai Islam. Pendidikan masih menjadi barang langka sehingga banyak tindakan yang dilakukan jauh dari spirit kemanusiaan. Ketimpangan pun mengakibatkan kemiskinan yang cukup akut.

Berbekal tafsiran Surat Al-Maun, Kiai Dahlan mendirikan Roemah Miskin, Penolong Kesengsaraan Oemoem (kini PKU), dan Balai Pendidikan. Tafsir nyata Kiai Dahlan tersebut semata-mata diperuntukkan bagi terciptanya tatanan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.

Namun, setelah lebih dari seabad, ternyata kondisi keumatan tidak jauh berbeda. Bangsa ini masih buta politik. Meminjam istilah Buya Syafii, politik rabun ayam. Masyarakat sering kali dibutakan realitas semu yang sering kali dipertontonkan media. Masyarakat pun menjadi semakin tidak kritis.

Proses bersolek ini terkadang menimbulkan kegaduhan yang mengarah pada kebangkrutan bangsa. Pasalnya, para pemimpin kurang memiliki visi kebangsaan. Mereka seakan tersekat oleh belenggu primordial partai dan juga orang-orang yang telah mendukung kesuksesannya selama ini.

Kebangkrutan bangsa menjadi ancaman yang kian nyata. Saat semua seakan tiarap menyelamatkan diri sendiri dan golongan, pertanyaan yang muncul adalah bagaimana Muhammadiyah sebagai gerakan pencerahan dan pembaruan (tajdid) berperan dalam masalah ini?

Trilogi Ideologi

Haedar Nashir (2011) menyebut Muhammadiyah akan tetap bertahan di tengah tantangan yang semakin kompleks. Hal ini didasarkan pada fondasi ideologi reformis, moderat, pandangan Islam yang berkemajuan, potensi sumber daya manusia, amal usaha, dan jaringan yang dimiliki.

Menilik hal di atas, pertama yang harus dilakukan Muhammadiyah adalah meneguhkan ideologi reformis, moderat, dan Islam berkemajuan. Trilogi ideologi inilah yang akan mampu mengurai dan memberikan tafsiran terhadap realitas kebangsaan.

Ideologi itu yang akan mampu menyapa persoalan sosial secara jernih dan bijak; menghapus sekat-sekat primordial dan mampu berpikir global tanpa harus tercerabut dari akar budaya Nusantara, tampaknya menjadi agenda bersama. Ideologi itu pun yang akan terus mendorong masyarakat berpikir kritis. Masyarakat tak akan terjebak dalam keagamaan yang saling mengaku paling benar (truth claim).

Pengakuan kebenaran kelompok dan menafikan keberadaan orang lain hanya akan menjadi masalah baru bagi bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia dengan keragaman dan keberagamaan yang universal sudah selayaknya bangkit dari keterpurukan. Kebangkitan ini sudah selayaknya didukung proses kreatif kaum agamawan dalam menafsir ''ayat'' guna kemaslahatan umat.
Maka dari itu, sebagaimana pemaknaan atas spirit Muhammadiyah sebagai organisasi yang umurnya lebih tua daripada Republik (lebih dari satu abad), sudah selayaknya berkontribusi menyelesaikan persoalan tersebut. Spirit dakwah pencerahan menuju Indonesia berkemajuan selayaknya mewujud dalam menyelesaikan persoalan keagamaan tersebut.

Dakwah pencerahan Muhammadiyah mewujud dalam berbagai bidang seperti makin mengefektifkan pendidikan sebagai basis pencerdasan bangsa, gerakan sosial-ekonomi guna memperkuat jejaring ketahanan nasional, dan keberagamaan seba¬gai penyatuan gerak langkah.

Berhadapan dengan Korporasi

Kedua, pengoptimalan potensi sumber daya manusia, amal usaha, dan jaringan yang dimiliki. Tiga hal ini kini mewujud dalam langkah Muhammadiyah mengembangkan jihad konstitusi.

Jihad konstitusi dipilih Muhammadiyah sebagai ormas dan mengukuhkan persyarikatan bukanlah partai politik. Melalui jihad konstitusi, Muhammadiyah dapat terus mengawal kebangsaan. Muhammadiyah pun melakukan kerja sosial agar masyarakat tak terjangkiti penyakit rabun politik. Muhammadiyah mengajak seluruh elemen bangsa untuk bergiat menyelamatkan perahu Republik agar tetap lurus dan kuat mengarungi samudra luas peradaban.

Jihad konstitusi akan semakin kuat saat tiga kekuatan tersebut mampu bersinergi. Sumber daya manusia, amal usaha, dan jaringan nasional/ internasional perlu terus menyuarakan hal-hal yang telah ''dimenangkan'' Muhammadiyah dalam putusan Mahkamah Konstitusi. Misalnya, tentang dikukuhkannya sumber daya alam (air) milik bangsa. Putusan ini tentu berseberangan dengan kepentingan korporasi yang telah menguasai air.

Privatisasi air perlu disadari akan menggerus keutuhan bangsa. Pasalnya, menurut Maude Barlow dan Tony Clarke (2005), perang di masa depan dipicu persoalan sumber daya air. Bangsa ini tak boleh tercabik oleh peperangan atas nama apa pun, termasuk oleh permasalahan kelangkaan air.

Inilah tantangan sekaligus peluang Muhammadiyah di abad kedua. Muhammadiyah akan berhadapan dengan korporasi yang bisa saja menghancurkan Republik. Muhammadiyah telah mengawal melalui jihad konstitusi. Usaha preventif (pencegahan) persyarikatan ini sebagai usaha sadar dan terencana agar bangsa dan negara tetap tegak, berdiri sama tinggi, serta duduk sama rendah dengan negeri manca. Wallahu a'lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar