Mengapa
PTN Surabaya Kurang Diminati?
Redi Panuju ; Peminat
dan Pemerhati Pendidikan;
Pernah menjadi Purek I Unitomo Surabaya (1997-2005)
|
JAWA
POS, 10 Juni 2015
JAWA POS (8/6) menyajikan data sepuluh besar kampus yang
diminati dalam seleksi bersama masuk perguruan tinggi negeri (SBM PTN). Data
tersebut sangat menggelitik pikiran saya, mengapa tak satu pun PTN di
Surabaya yang masuk sepuluh besar kampus yang diminati calon mahasiswa.
Padahal, Malang menyumbangkan Universitas Brawijaya di urutan ketiga.
Surabaya sebagai ibu kota Provinsi Jatim dengan segala
kelebihannya (mulai infrastruktur pendidikan, peredaran uang, pusat kebijakan
publik, hingga diversifikasi program studi) mestinya tidak layak kalah oleh
Malang, yang hanya satu daerah tingkat dua dan masih relatif muda dalam
penyelenggaraan pendidikan. Di Surabaya, ada ITS, Unair, Unesa, UIN, UPN,
ditambah dengan banyak PTS yang cukup mapan.
Kalau dilihat dari segi mutu akademiknya, PTN di Surabaya
tidaklah buruk. Unair, misalnya, masuk peringkat ke-127 dalam Top 200 Asian
Universities menurut versi Quacquarelli Symonds World University Rankings
(QSWUR) pada 2014. Bahkan, Unair memperoleh indeks sitasi 100, mengungguli
Tokyo Medical and Dental University (99,9) dan National University of
Singapore (99,8).
Indeks sitasi merupakan indikasi banyaknya hasil
penelitian yang dijadikan rujukan ilmuwan internasional. Belum lagi ITS, yang
tahun lalu dirilis Webometrics masuk urutan ke-9 perguruan tinggi terbaik di
Indonesia. Peringkat itu diukur dari jumlah halaman publikasi elektronik,
relevansi sumber elektronik yang dipublikasikan, dan jumlah publikasi jurnal
secara internasional.
Pertanyaannya, mengapa fakta keseriusan dan kualitas
pendidikan itu tidak beriringan dengan minat masyarakat dalam menentukan
pilihan? Tentu banyak penjelasan yang bisa dihadirkan. Salah satunya, sangat
mungkin informasi tentang kualitas pendidikan seperti yang disebutkan itu
kurang dipublikasikan secara baik. Publikasi bukan sekadar asal
menginformasikan realitas melalui media elektronik (seperti web) yang
dimiliki. Itu adalah publikasi pasif yang sangat berpotensi mengalami
distorsi sehingga tidak sampai pada sasaran.
Generasi yang kini memasuki perguruan tinggi adalah
generasi cyber (generasi Z) yang memperlakukan informasi bukan sebagai
pengetahuan. Informasi diperlakukan bersama dengan tabiat penikmatan
hedonistis. Mereka cenderung menghindari hal-hal formalistis, serius, apalagi
prosedural. Sangat mungkin pihak PTN mengatakan telah berupaya menyampaikan
profil PTN-nya dengan kerja keras, tapi tidak sempat terakses oleh mereka.
Ada yang serius harus diperhatikan dalam hal ini, yakni informasi yang
disampaikan tidak sampai pada sasaran.
Beda dengan PTN di Malang. Meskipun jumlahnya relatif
lebih sedikit, mereka agresif dalam memasarkan diri. Universitas Brawijaya,
misalnya, sangat menyadari bahwa saluran komunikasi massa masih efektif
sebagai media penyampai pesan. Sebab, tidak semua warga masyarakat sudah
akrab dengan media internet. Di antara orang tua calon mahasiswa yang umumnya
masih tergolong generasi X dan Y, masih lebih banyak yang menggunakan media
massa (televisi dan surat kabar) sebagai sumber informasi. Sementara para
orang tua itu masih sangat berpengaruh dalam menentukan pilihan sang anak.
Humas Universitas Brawijaya masih memanfaatkan media cetak
sebagai sarana promosi, termasuk media cetak yang terbit di Surabaya. Bahkan,
Universitas Brawijaya sudah memiliki lembaga penyiaran komunitas TV yang
berizin resmi. Institusi itu penting bukan hanya sebagai relasi korporasi
dengan masyarakat, tetapi juga wahana praktikum bagi mahasiswa ilmu
komunikasi di tingkat S-1 maupun S-2. Sementara Unair, yang sama-sama punya
prodi ilmu komunikasi, baru mengurus radio siarannya pada tahun-tahun
belakangan.
Kini kita hidup pada zaman di mana kemasan sering menjadi
lebih penting daripada substansi. Surabaya kaya gizi, tapi lemah dalam
packing. Yang tampak serius memang cenderung dihindari. Masyarakat lebih
menyukai belajar sambil bergembira. Belajar dari bagaimana masyarakat
menonton acara TV atau film bioskop, yang bermutu hanya menang dalam
penghargaan-penghargaan, tetapi sepi penonton.
Support Pemerintah Daerah
Bergesernya minat kuliah dari Surabaya ke Malang tak
terlepas dari pencitraan secara keseluruhan pemerintah kota masing-masing.
Sekarang masyarakat dari kawasan timur (mulai Nusa
Tenggara, Maluku, Papua, bahkan Timor Leste) -yang pada dekade '90-an memilih
Jogjakarta- memilih studi lanjut ke Malang. Tradisi itu sudah tumbuh mulai
tataran SMP. Pada tahun pelajaran baru ini, banyak orang tua murid SD yang
memilih melanjutkan studi anaknya ke SMP di Malang. Pendidikan berbasis agama
(Islam), termasuk pesantrennya, menjadi jujukan dari daerah lain.
Sementara itu, pemerintah Surabaya tampaknya lepas dari
desain itu. Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini lebih banyak membangun citra
Kota Surabaya sebagai kota bisnis (pariwisata). Taman menjadi nomor satu,
bangunan menjulang tinggi, sementara pendidikan menjadi industri
kapitalistis. Bahkan, pendidikan yang berbasis Islam pun tak lepas dari ciri
kapitalismenya.
Nah, citra metropolitan, industrialisasi, modernitas, dan
sejenisnya yang melekat pada Surabaya cenderung mulai dipersepsikan sebagai
sebuah kebisingan, kekacauan, kekeringan jiwa, dan sebagainya. Sebagian
masyarakat kemudian membuat antitesis dari itu. Mereka mendambakan pendidikan
yang dapat membangun akhlak bagi putra-putrinya, menyelamatkan kehidupan
mereka di dunia maupun akhirat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar