Sekolah
dan Ijazah
Anton Kurnia ; Esais
|
KORAN
TEMPO, 10 Juni 2015
Antropolog ternama, Margaret Mead, pernah menulis,
"Nenekku ingin aku mendapatkan pendidikan, maka dia melarangku
bersekolah." Sementara, dalam Deschooling
Society, filsuf Austria, Ivan Illich, mengatakan bahwa sekolah dan
pendidikan adalah dua hal yang berbeda. Itu kurang-lebih analog dengan fakta
bahwa ijazah dan kemampuan adalah dua hal yang tak sama. Mengutip Tan Malaka,
mantan guru yang lebih dikenal sebagai tokoh revolusioner kiri, "Ijazah
hanyalah kemungkinan adanya kecakapan."
Kasus maraknya ijazah palsu dan jual-beli gelar
kesarjanaan yang terbongkar baru-baru ini menandaskan hal itu. Untuk menjadi
seorang doktor, kita hanya perlu menyediakan uang sekian puluh juta rupiah.
Tak perlu membuat penelitian berdarah-darah yang dituangkan dalam disertasi
yang diujikan di depan para pakar. Gilanya, kasus memalukan itu juga
melibatkan sejumlah tokoh terpandang.
Itu kian membuktikan, pada masa kini, gelar akademis hanya
menjadi semacam atribut yang digunakan untuk bersolek, menambah rasa percaya
diri, dan jalan pintas untuk mencapai kemudahan hidup. Soal apakah itu
menandakan pemiliknya menguasai suatu ilmu yang dikaitkan dengan gelar itu
atau tidak, seperti yang lagi-lagi dinyatakan oleh Tan Malaka dalam Madilog,
menjadi tidak penting.
Dalam zaman yang serba artifisial ini, apa boleh buat,
pupur dan gincu dianggap lebih penting ketimbang segala yang substansial.
Segalanya bisa dibeli dengan uang, termasuk kehormatan dan gelar akademis. Di
sisi lain, ada fenomena munculnya tokoh unik seperti Susi Pujiastuti, menteri
dengan kebijakan dan gagasan yang penuh terobosan, walau dia secara formal
hanya memiliki ijazah SMP. Pengajar di Universitas Indonesia yang juga
praktisi ekonomi, Rhenald Khasali, menjadikan sosok Ibu Susi ini sebagai
inspirasi bagi para mahasiswanya. Walau tak memiliki gelar kesarjanaan,
beliau diundang menyampaikan kuliah sebagai dosen luar biasa di hadapan para
mahasiswa untuk mengajarkan rahasia kesuksesannya sebagai entrepreneur,
manajer, dan menteri.
Inilah dua sosok dari dua kutub yang berbeda: seorang
menteri yang membeli gelar doktor abal-abal demi prestise dan seorang menteri
lain yang jelas-jelas memang tak memiliki gelar sarjana, tapi dia tidak malu
mengakuinya dan membuktikan kemampuannya dengan karya nyata.
Ini juga menohok kita dengan serangkaian pertanyaan
tentang apa guna bersekolah? Tanpa bermaksud menafikan sekolah formal, saya
ingin mendudukkan perkara pada yang esensial. Sekolah menjadi berbahaya jika
itu hanya menjadi sarana mengikuti formalitas yang mengaburkan esensi
pendidikan. Yang harus diutamakan adalah terselenggaranya proses pendidikan
yang mencerahkan dalam arti luas, baik itu lewat buku-buku, belajar mandiri
lewat Internet, maupun praktek langsung dalam masyarakat. Diharapkan, melalui
proses pendidikan yang substansial itu, akan dihasilkan manusia yang
berkemampuan dan berkarakter sehingga berpotensi menebar manfaat bagi
sesamanya.
Dengan demikian, apa yang pernah dinyatakan Romo Mangunwijaya
ini bisa dihindari, "Apa guna kita memiliki sekian ratus ribu alumni
sekolah yang cerdas, tetapi massa rakyat dibiarkan bodoh? Segeralah kaum
sekolah itu pasti akan menjadi penjajah rakyat dengan modal kepintaran
mereka." ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar