Ada
Apa dengan Rupiah?
Agus Herta Sumarto ; Peneliti INDEF
|
MEDIA INDONESIA, 11 Juni 2015
UNTUK ke sekian kalinya, nilai tukar rupiah
terhadap mata uang dolar AS kembali melemah. Nilai tukar rupiah sempat
menembus angka Rp13.400 per dolar AS. Pelemahan yang terjadi berulang itu
telah menimbulkan banyak pertanyaan dan perdebatan di masyarakat. Kenapa
rupiah selalu lemah?
Pelemahan nilai rupiah sebenarnya suatu hal
yang lumrah dalam dunia perdagangan.Sebagai suatu komoditas, rupiah tentunya
akan mengikuti hukum pasar, naik dan turun. Ketika permintaannya meningkat
dan persediaan rupiah di pasaran sedikit, nilai mata uang rupiah akan
naik.Sebaliknya, jika permintaan turun dan persediaan di pasar melimpah,
nilai mata uang rupiah akan anjlok.
Hukum ekonomi itu tidak bisa dihindari
oleh seluruh mata uang di dunia.
Saat ini, fenomena ekonomi tersebut menjadi
pergunjingan karena kajian ekonomi dihubungkan dengan fenomena politik yang
sebenarnya bukan determinan utama dari menguat atau melemahnya nilai mata
uang. Kondisi politik tidak secara langsung memengaruhi nilai mata uang,
tetapi kondisi politik biasanya memengaruhi nilai mata uang melalui channel trust terhadap kebijakan
ekonomi pemerintah.
Perdebatan mengapa nilai mata uang rupiah
terus terseok menjadi sangat hangat karena dibumbui nu ansa politik
kepercayaan terhadap tim ekonomi Presiden Joko Widodo (Jokowi). Analisis dan
proyeksi sebagian para ekonom sedikit meleset dari perkiraan semula yang menyatakan
bahwa nilai rupiah tidak akan menembus angka Rp13 ribu per dolar AS jika
Jokowi menjadi presiden.
Melesetnya proyeksi sebagian para ekonom hanya
disebabkan oleh satu variabel dari beberapa variabel determinan penentu nilai
mata uang rupiah, yaitu ekspektasi. Di tengah kondisi ekonomi yang rumit seperti
sekarang ini, faktor penentu nilai mata uang rupiah menjadi sangat kompleks,
seperti faktor inflasi, tingkat suku bunga, pendapatan nasional, dan kontrol
dari pemerintah.Oleh karena itu, siapa pun presidennya, rupiah akan
menghadapi permasalahan yang sama, yaitu akan selalu lemah ketika head to head dengan dolar AS.
Pertanyaan berikutnya ialah mengapa di tengah
kondisi ekonomi yang cukup stabil dan ekspektasi yang sangat baik, rupiah
terus mengalami pelemahan terhadap dolar AS? Ada apa dengan rupiah?
Publik mencatat, sejak terjadi krisis ekonomi
16 tahun silam, rupiah selalu kalah melawan valuta asing, khususnya dolar AS.
Bahkan, hampir setiap tahun nilai tukar rupiah mengalami siklus pelemahan
berbarengan dengan jatuh tempo pembayaran utang swasta dan aksi ambil untung
para spekulan.
Resep generik
Dalam menanggapi pelemahan nilai mata uang
rupiah, pemerintah beserta otoritas kebijakan moneter selalu terjebak pada
resep generik yang sama, yaitu menaikkan tingkat suku bunga acuan dan melepas
dolar AS yang dimiliki ke pasaran tanpa menyentuh permasalahan substantif
yang selama ini selalu menghantui rupiah.
Padahal, jawaban permasalahan klasik dan
substantif ini cukup mudah, hanya bergantung pada political will pemerintah beserta pemegang otoritas kebijakan
moneternya. Setidaknya, ada dua masalah substantif yang selalu menjadikan
rupiah terseok-seok terhadap dolar AS, yaitu defisit neraca perdagangan
(impor lebih besar daripada ekspor) dan cadangan devisa yang rendah.
Defisit neraca perdagangan Indonesia terjadi
sejak 2012, yang mencapai nilai US$1,67 miliar. Kontribusi terbesar dari
defisit neraca perdagangan Indonesia disumbang dari impor migas. Produksi
minyak dalam negeri saat ini sudah berada di bawah level 900 ribu barel per
hari. Padahal, kebutuhan minyak dalam negeri di atas 1 juta barel per hari.
Jika tidak ada program yang dapat mendobrak kondisi itu, bisa dipastikan
defisit neraca perdagangan tersebut akan terus berlanjut.
Faktor lain penyebab defisit neraca
perdagangan ialah tidak adanya arah yang jelas dalam pembangunan sektor
industri, terutama industri substitusi impor. Semakin hari, volume dan nilai
impor terus mengalami kenaikan dan di sisi lain ekspor terus mengelami
penurunan. Harga barang impor jauh lebih murah jika dibandingkan dengan
barang-barang dalam negeri.Sampai saat ini, beberapa komoditas strategis
seperti gula, kedelai, daging, dan beras masih harus dipenuhi dari impor
sehingga kebutuhan akan dolar selalu tinggi.
Di sisi lain, nilai ekspor Indonesia sejak
2012 terus menurun. Menurut data BPS, pada 2011, ekspor Indonesia masih di
angka US$203,5 miliar. Namun, pada 2012, nilai ekspor Indonesia turun menjadi
US$190,02 miliar. Penurunan itu terus berlanjut dan sampai akhir 2014 nilai
ekspor Indonesia hanya mencapai US$176,29 miliar atau turun US$26,76 miliar
jika dibandingkan dengan 2011.
Salah satu penyebab merosotnya nilai ekspor
Indonesia ialah barang ekspor Indonesia selama ini lebih didominasi raw material yang harganya relatif
murah. Tidak jelasnya program hilirisasi sektor industri yang dilakukan
pemerintah mengakibatkan penduduk lebih terbiasa mengekspor barang mentah
daripada barang jadi.
Masalah kedua yang menjadi permasalahan utama
dari keterpurukan rupiah selama ini ialah cadangan devisa yang rendah.
Cadangan devisa Indonesia kurang dari setengah cadangan devisa Singapura. Dalam
lima tahun terakhir, cadangan devisa Indonesia nyaris tidak mengalami
perubahan yang berarti, atau stagnan di kisaran US$100 miliar.Dalam lima
tahun terakhir, cadangan devisa tertinggi Indonesia hanya US$112,78 miliar
yang tercapai pada 2012. Pada 2013, cadangan devisa turun drastis menjadi
US$99,39 miliar dan pada 2014 kembali menguat menjadi US$111,86 miliar.
Namun, jumlah itu masih sangat jauh dari cadangan devisa Singapura yang pada
2014 mencapai US$256,86.
Ada dua hal yang mengakibatkan cadangan devisa
Indonesia selalu rendah. Pertama, nilai investasi asing masih belum optimal
jika dibandingkan dengan potensi yang dimiliki. Hal itu disebabkan pola
promosi investasi Indonesia masih menggunakan cara-cara lama yang sudah tidak
efektif.
Investor kakap
Negara-negara lain sudah membuat strategi
promosi jemput bola dengan target pasar yang terfokus. Ibarat sniper, satu bidikan sama dengan satu
target dan satu hasil, tetapi dengan kualitas dan kuantitas yang jauh lebih
besar. Adapun Indonesia sampai saat ini masih menggunakan pola klasik, yaitu
strategi menebar jala sebanyak-banyaknya. Banyak yang terjaring, tapi cuma
menghasilkan kelas teri. Bila Indonesia mampu mendatangkan investor besar,
investorinvestor menengah dan kecil akan ikut masuk.
Satu lagi masalah yang tidak kalah penting dan
menyebabkan nilai rupiah selalu terpuruk ialah rezim devisa bebas secara
`gelondongan' yang masih dianut. Dengan rezim devisa bebas, eksportir dan
importir yang memperjualbelikan barang dan jasa dari Indonesia boleh
melakukan transaksi di mana saja dan dengan menggunakan mata uang apa saja.
Dengan konsep rezim devisa bebas itu, peluang pendapatan devisa Indonesia
banyak yang terbuang. Jika saja penggunaan rezim devisa bebas itu sedikit
dimodifi kasi, potensi yang hilang tersebut bisa diminimalkan. Jika para
eksportir melakukan transaksinya di Indonesia dan dengan mata uang rupiah,
cadangan devisa akan naik berkali lipat. Selama ini, banyak sekali eksportir
yang melakukan transaksi di luar Indonesia dan dengan mata uang asing
sehingga tidak masuk dalam perhitungan devisa Indonesia.
Jika pemerintah serius ingin menjadikan nilai
mata uang rupiah kuat, setidaknya pemerintah harus menyelesaikan dua masalah
utama di atas, yaitu menghilangkan defisit neraca perdagangan dengan
melakukan industrialisasi di sektor-sektor strategis, terutama industri
substitusi impor dan industri target pasar ekspor. Dengan melakukan proses
industrialisasi tersebut, impor dapat dikurangi dan sebaliknya ekspor dapat
ditingkatkan. Namun, pengurangan impor dan peningkatan ekspor itu harus
didukung oleh pembatasan kebijakan rezim devisa bebas. Para pelaku industri
yang melakukan ekspor wajib untuk melakukan transaksi perdagangannya di
Indonesia dan dengan menggunakan mata uang rupiah. Jika dua hal itu bisa
dilakukan, rupiah bisa perkasa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar