Jumat, 05 Juni 2015

Swasembada Jagung, Mungkinkah?

Swasembada Jagung, Mungkinkah?

Arief Daryanto  ;   Direktur Program Pascasarjana Manajemen dan Bisnis IPB
MEDIA INDONESIA, 05 Juni 2015


                                                                                                                                                           
                                                
JAWAHARLAL Nehru, Perdana Menteri India yang pertama, pada 1948 menyatakan “Every thing else can wait but not agriculture”, semua yang lain dapat menunggu, tetapi tidak untuk pertanian. Mengapa pertanian tidak dapat menunggu? Presiden pertama RI, Soekarno, memberikan jawaban pada tahun 1952 bahwa ‘Pangan merupakan soal mati-hidupnya suatu bangsa. Apabila kebutuhan pangan rakyat tidak dipenuhi, malapetaka akan terjadi. Oleh karena itu, perlu usaha secara besar-besaran, radikal, dan revolusioner.’

Sejalan dengan betapa pentingnya peranan pertanian, Nawa Cita atau Sembilan Program Prioritas Kabinet Kerja memberikan perhatian yang besar kepada pembangunan pertanian untuk mewujudkan kedaulatan pangan.

Menteri Pertanian diberi target swasembada pangan dalam kurun waktu tiga tahun, salah satunya ialah swasembada jagung.

Ekstensifikasi dan intensifikasi

Jagung merupakan salah satu komoditas strategis dalam pembangunan pertanian di Indonesia. Permintaan jagung akan terus meningkat seiring dengan pertumbuhan penduduk, pertumbuhan pendapatan, semakin banyaknya penduduk kelas menengah, urbanisasi, dan perubahan gaya hidup (lifestyle).
Jika daya beli masyarakat semakin tinggi, permintaan terhadap komoditas daging, terutama daging ayam, akan semakin meningkat pula. Peningkatan daya saing komoditas daging ayam sangat bergantung pada ketersediaan dan keberlanjutan jagung domestik sebagai bahan baku utama pakan karena 60%-70% biaya produksi daging ayam berasal dari pakan.

Ironisnya, saat ini, Indonesia ma sih mengimpor sebesar 3 juta ton jagung untuk kebutuhan pakan na sional. Karena itu, swasembada jagung dapat dilihat sebagai upaya ‘substitusi impor’.

Terkait dengan pengembangan komoditas jagung, Rencana Strategis Kementerian Pertanian 2015-2019 menyebutkan langkah operasional peningkatan produksi jagung terbagi menjadi dua, yaitu peningkatan luas penanaman (ekstensifikasi) dan peningkatan produktivitas (intensifikasi). Tidak hanya itu, dalam rangka menyukseskan target swasembada, Kementerian Pertanian juga bekerja sama dengan beberapa institusi, misalnya, TNI dan Perhutani. Langkah-langkah itu diharapkan dapat meningkatkan produksi jagung sebesar 5% jika dibandingkan dengan 2014, yaitu menjadi sebesar 20,33 juta ton.

Titik kritikal

Tentu kita semua sepakat bahwa yang langkah terbaik dalam rangka peningkatan produksi jagung ialah melalui keduanya, yaitu ekstensifikasi dan intensifikasi. Namun demikian, pertanyaan sederhananya ialah cukupkah lahan pertanian kita untuk ditanami padi, jagung, kedelai, dan produk pertanian lainnya yang juga penting? Terlebih lahan pertanian juga semakin berkurang akibat dikonversi menjadi permukiman dan industri.

Oleh karena itu, solusi terbaik saat ini ialah dengan intensifikasi, tanpa melupakan upaya ekstensifikasi. Dengan kata lain, peningkatan produksi jagung dengan cara intensifikasi melalui peningkatan produktivitas merupakan cara yang paling mungkin dilakukan untuk men capai swasembada, mengingat sulit dan mahalnya upaya ekstensifi kasi saat ini.

Persoalan kritis lain yang perlu diperhatikan ialah petani jagung ti dak mampu merespons permintaan pasar. Hal tersebut disebabkan keterbatasan atau faktor-faktor penghalang yang terjadi akibat buruknya infrastruktur yang menghubungkan sentra permintaan (kota) dengan sentra produksi, lemahnya kelembagaan petani dan kelembagaan pasar, tingginya biaya transaksi, dan rendahnya aktivitas penciptaan nilai tambah di perdesaan.

Pendekatan holistik

Swasembada jagung jangan hanya berorientasi pada aspek kuantitas saja, tetapi juga kualitas agar sesuai dengan kebutuhan konsumen. Swasembada harus memberikan nilai tambah kepada seluruh pelaku bisnis di sepanjang rantai nilai (value chains). Karena itu, pencapaian swasembada membutuhkan dukungan yang holistik dan tidak bersifat fragmented.

Kebijakan yang bersifat holistik tersebut antara lain peningkatan akses terhadap benih baru, pengembangan keterkaitan dan informasi pasar kepada para petani, peningkatan kapasitas kelembagaan untuk mencapai economies of scale, peningkatan keahlian budi daya jagung, dan dukungan kebijakan untuk para petani kecil agar lebih berorientasi pada peningkatan komoditas dan kontinuitas produk serta ketepatan waktu dalam penghantaran.

Demi memenuhi peningkatan kebutuhan jagung, pengembangan biotek menjadi keharusan. Meskipun dalam praktiknya, penggunaan benih hasil rekayasa genetika di Indonesia hingga saat ini belum dilegalkan serta masih terkendala aspek izin keamanan pakan, pangan, dan lingkungan.

Namun, perkembangan terakhir menunjukkan bahwa beberapa varian sudah memenuhi standar keamanan pangan, lingkungan, dan hanya standar keamanan pakan yang belum terpenuhi.

Dukungan pemerintah

Agar cita-cita swasembada jagung bukan hanya mimpi, pemerintah dan parlemen harus memiliki political will yang kuat dan konsisten untuk mendukung penerapan agrobioteknologi dengan tetap mengedepankan pendekatan kehati-hatian. Belajar dari pengalaman di Filipina, adopsi agrobioteknologi memiliki risiko yang minim. Risiko terbesar justru karena tidak menggunakannya. Kerja sama triple helix antara perusahaan agen benih, para petani, dan penyuluh pertanian mempunyai peran penting dalam adopsi agrobioteknologi.

Namun demikian, tentu saja agrobioteknologi bukanlah senjata yang ajaib untuk mengembangkan produksi jagung karena memerlukan pendekatan yang holistik dalam mengembangkan enabling environments, misalnya, infrastruktur, logistik, pembiayaan pertanian yang bersahabat dengan petani, riset, pengembangan, dan penyuluhan pertanian.

Last but not the least, mengingat kompleksnya permasalahan pencapaian swasembada jagung, pemerintah memerlukan peta jalan (road map) yang disusun dengan sangat baik dan pendekatan yang holistik. Selanjutnya, perlu diimplementasikan secara sungguh-sungguh sehingga peta jalan tersebut nantinya bukan hanya sebagai dokumen ‘pepesan kosong’. Hal itu tentu saja patut kita hindari bersama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar