Pengawasan
Dana Desa
M Zainal Anwar ; Manajer Program Governance and Policy
Reform Institute
for Research and Empowerment (IRE) Yogyakarta
|
KORAN TEMPO, 04 Juni 2015
Perlahan tapi pasti,
dana desa tahap pertama mulai mengalir ke 73.709 desa di Indonesia (BPS, Mei
2015). Mengucurnya dana desa telah menjadi babak baru bertambahnya sumber
keuangan desa. Sementara selama ini APBN tidak "mengenal" desa,
mulai tahun ini APBN menjadi salah satu sumber keuangan desa.
Jika dirunut, pada
awal kemunculan UU Desa, tidak sedikit kalangan yang meragukan kemampuan desa
mengelola dana desa. Dalam konteks tersebut, dana desa yang sudah mulai
dikucurkan April 2015 harus menjadi titik pijak pembuktian pemerintah dan
warga desa terhadap kalangan yang pesimistis tersebut. Desa harus membuktikan
bahwa dengan adanya dana desa bisa menghadirkan manfaat bagi pemerintah dan
warga desa dan bisa dikelola dengan jujur.
Pertanyaannya,
bagaimana mengoptimalkan penggunaan dana desa? Yang utama tentu saja prinsip
pengelolaan. Memang, kepala desa adalah kuasa pengguna anggaran desa. Tapi,
kekuasaan ini tidak boleh digunakan semena-mena. Jajaran pemerintah desa
harus mengutamakan prinsip keterbukaan, bertanggung jawab, dan partisipasi
dalam mengelola dana desa. Informasikan berapa dana desa yang diterima desa,
untuk apa saja akan digunakan, di mana lokasinya, dan siapa penerima
manfaatnya. Informasi ini harus diketahui seluruh elemen di desa tanpa terkecuali.
Jika peran pemerintah
desa lebih pada aspek eksekusi anggaran, Badan Permusyawaratan Desa (BPD)
harus aktif mengontrol penggunaan dana desa. Jika selama ini BPD terkesan
sebagai lembaga stempel kebijakan pemerintah desa, sekarang hal itu tidak
boleh terjadi lagi. Peningkatan kapasitas pengetahuan dan peran BPD harus
segera dijalankan. Memang sudah ada pelatihan maupun sosialisasi dari pihak
pemerintah. Tapi berdasarkan pengalaman penulis, pelatihan atau sosialisasi
tidak pernah ada tindak lanjut dalam bentuk supervisi dan fasilitasi.
Di samping pemerintah
desa dan BPD, Warga desa tidak boleh pasif. Warga yang aktif bukan dalam arti
mengkritik tanpa memberi solusi. Tidak pula berpretensi menjatuhkan atau
mencari-cari kesalahan kepala desa agar bisa dipidanakan. Warga aktif yang
dimaksud adalah warga desa yang mau terlibat dalam pembahasan dana desa dan
secara sukarela ikut mengawasi. Jika ada indikasi penyalahgunaan, warga aktif
bisa segera berkomunikasi dengan BPD agar bisa segera diselesaikan.
Yang tidak boleh
dilupakan adalah peran kabupaten. Dalam UU Desa, Pemerintah Kabupaten dapat
mengawasi pengelolaan keuangan desa (UU Desa, Pasal 115 g). Dengan begitu,
Kabupaten tidak boleh "berpangku tangan", melainkan harus
meningkatkan pengawasannya agar dana desa bisa dikelola dengan benar sesuai
dengan kaidah administrasi pemerintahan. Tidak boleh ada pikiran, karena dana
desa berasal dari APBN dan diberikan ke desa, kabupaten tidak punya urusan.
Ini jelas pikiran yang berbahaya.
Jika berbagai pihak di
atas bekerja sama dengan prinsip saling menghormati peran masing-masing dan
berkomitmen tinggi untuk memajukan desa, keraguan pihak terhadap kapasitas
desa dalam mengelola dana desa akan terpatahkan. Jika peran antarpihak tidak
dipahami dengan baik sehingga tidak ada kerja sama, dana desa ini bisa
menjadi awal bencana bagi desa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar