Rabu, 10 Juni 2015

Populisme ala Thaksin di Thailand

Laporan Diskusi Kompas-Murdoch University
Populist Politics in Southeast Asia: Transforming or Impending Democracy?

Populisme ala Thaksin di Thailand

KOMPAS, 09 Juni 2015



                                                                                                                                                           
                                                
Fenomena populisme di Thailand mewujud dan sering diasosiasikan dengan kiprah Thaksin Shinawatra. Politisi berlatar belakang pengusaha tersebut akhirnya tersingkir dari arena politik negeri itu dan tinggal di pengasingan, akibat visi populismenya berbenturan dengan elite politik dan militer di Thailand.

Situasi Thailand pada dekade 1990-an, awal Thaksin berkiprah di politik, menjadi lahan subur tumbuhnya populisme. Thailand dihantam krisis politik sejak tahun 1991, disusul krisis ekonomi 1997-1998.

Masyarakat Thailand merasakan eksploitasi ekonomi, jurang ketidakadilan antara kaya dan miskin, meningkatnya angka kemiskinan dan pengangguran, serta represi politik melanda negeri itu. Kehidupan politik lesu, aspirasi mahasiswa dibungkam.

Ekspansi ekonomi yang dinikmati Thailand sejak Perang Dunia II hingga terjadi krisis ekonomi hanya menguntungkan segelintir elite dan kelompok warga kaya. Kesenjangan di negeri itu menjadi salah satu yang terburuk di Asia. Di tengah situasi tersebut muncullah Thaksin. Sebagai ketua Partai Thai Rak Thai (Thailand Cinta Thailand/TRT), dia terpilih menjadi Perdana Menteri pada 2001.

Terdapat tiga faktor penyebab kemenangan Thaksin dan TRT. Pertama, Thaksin menjanjikan alternatif dari kebijakan "neoliberalisme" yang dijalankan pemerintahan Partai Demokrat. Untuk mengatasi krisis ekonomi, Demokrat menerapkan kebijakan ekonomi liberal, tunduk pada Dana Moneter Internasional (IMF).

Langkah tersebut dianggap seperti menjual negara. Thaksin menawarkan kebijakan ekonomi yang lebih nasionalis dengan menekankan pertumbuhan ekonomi.

Kedua, berdasarkan Konstitusi 1997, Thaksin dan partainya harus membangun keterkaitan dengan warga daerah pemilihan. Sejak mendirikan TRT, Thaksin mengubah praktik berpolitik sebuah partai di Thailand. Sebagai pengusaha, ia mempraktikkan model korporasi untuk merebut "pasar" politik. Ia menawarkan ide pengurangan angka kemiskinan, moratorium utang petani, pinjaman lunak bagi komunitas, layanan kesehatan, dan isu-isu lokal lain.

Ketiga, TRT dan Thaksin menekankan inklusivitas. Di masyarakat yang merasakan ketidakadilan, ide-ide TRT dan Thaksin yang pro warga miskin pedesaan dirasakan sangat inovatif dan belum pernah dilakukan pemerintah sebelumnya. Inilah yang membuat Thaksin populer dan meraup basis dukungan kuat di pedesaan.

Dibenci dan disuka

Ide-ide Thaksin dan TRT untuk menarik simpati warga miskin pedesaan-terutama di wilayah utara dan timur laut Thailand-kerap disebut gagasan populisme. Sebelum itu, istilah "populisme" kurang dikenal dalam kamus politik Thailand. Istilah tersebut baru digunakan media Barat dan sejumlah akademisi sebagai label atas kebijakan Thaksin dalam kampanye pemilu, akhir tahun 2000.

Setelah Thaksin terpilih, akademisi Thailand, Kasian Tejapira, mengadopsi istilah itu dalam bahasa Thailand menjadi "poppiewlit", kemudian "prachaniyom". Dengan kata lain, istilah itu diciptakan khusus untuk menjelaskan Thaksin.

Thaksin dan TRT tidak terlalu peduli dengan label terminologis tersebut. Bagi Thaksin dan TRT, fokus mereka adalah merebut simpati warga untuk memenangi pemilu. Saat dia terpilih menjadi PM, janji kampanye itu dijadikan kebijakan nasional untuk mengatasi krisis ekonomi.

Seiring meroketnya popularitas Thaksin, mengalir deras kritik atas kebijakan itu. Bahkan, perlawanan telah muncul sebelum pemilu. Pada Desember 2000, Komisi Antikorupsi Nasional (NACC) menyebut Thaksin menyembunyikan aset-asetnya saat menjadi Wakil PM pada 1997.

Pada 2001, kasus itu diajukan ke Mahkamah Konstitusi. Namun, Thaksin tetap memenangi pemilu dengan dukungan 40,6 persen suara dan merebut 248 dari 500 kursi parlemen, terbesar dalam sejarah Thailand. Menghadapi tekanan hukum, saat itulah Thaksin memobilisasi pendukungnya untuk pertama kali.

Belum sempat disumpah sebagai PM, Thaksin kebanjiran kritik dari media arus utama, teknokrat, lembaga swadaya masyarakat, serta akademisi. Para elite royalis, militer, intelektual kelas menengah, dan aktivis sayap kanan bergabung dalam aliansi kelompok penentang populisme Thaksin.

Kebijakan Thaksin dinilai terlalu mahal, menuntut kenaikan pajak terlalu tinggi, dan sulit dijangkau negara seperti Thailand. Thaksin dituding arogan dan dituduh membangun "kultus pribadi".

Ia juga dituding memecah-belah Thailand serta menyingkirkan elite konservatif. Populisme dijadikan istilah untuk merujuk pelanggaran politik, terkait nepotisme, korupsi, dan otoritarianisme, yang hanya menguntungkan TRT, keluarga, dan kroni.

Analis sosial Sulak Srivaraksa menyebut pemerintahan Thaksin sebagai "pemerintahan terburuk yang pernah ada".

Meski diserang dari sana-sini, kebijakan populis Thaksin terbukti mampu mempercepat pemulihan ekonomi. Thailand melunasi utang IMF, perekonomian tumbuh kuat, kemiskinan dan angka pengangguran dikurangi, serta-berdasarkan data-ketidakadilan di masyarakat menurun.

Bagi kaum miskin pedesaan, skema bantuan kesehatan, dana desa, moratorium utang petani, dan lain-lain menjadi penyelamat hidup.

Strategi politik

Thaksin pun menjadi PM Thailand pertama yang menyelesaikan masa jabatan empat tahun. Dia kembali memenangi Pemilu 2005 dengan kemenangan telak, 56,4 persen, dan meraih 325 kursi parlemen. Di bawah kepemimpinannya, Thaksin menyatukan kekuatan rakyat dan demokrasi.

Kemenangan besar pada Pemilu 2005 menjadi bukti strategi politik dan kebijakan populisme. Thaksin awalnya enggan menerima label populis. Baru akhir Januari 2001, Thaksin setengah hati menerima label itu. "Mungkin hanya separuh kebenarannya bahwa kami mengikuti strategi populis," ujar Thaksin. "Apa pun yang ingin Anda sebut, ini kebijakan yang saya yakini yang terbaik bagi Thailand."

Namun, hanya mengandalkan suara rakyat pedesaan membuat posisi Thaksin rentan. Pada 2006, menyusul unjuk rasa kelompok Aliansi Rakyat untuk Demokrasi (kelompok Kaus Kuning) yang didukung elite royalis dan kelas menengah, Thaksin pun digulingkan.

Thaksin menjadi populis karena tuntutan politik. Bukan atas pilihan pribadi, bukan karena secara sengaja memilih populisme sebagai strategi politik. Atau dalam kata lain, pemerintahan populis di Thailand-lah yang menemukan Thaksin dan mengubahnya menjadi pemimpin populis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar