Laporan Diskusi
Kompas-Murdoch University
Populist Politics in Southeast Asia:
Transforming or Impending Democracy?
Populisme ala Thaksin
di Thailand
KOMPAS,
09 Juni 2015
|
Fenomena populisme di
Thailand mewujud dan sering diasosiasikan dengan kiprah Thaksin Shinawatra.
Politisi berlatar belakang pengusaha tersebut akhirnya tersingkir dari arena
politik negeri itu dan tinggal di pengasingan, akibat visi populismenya
berbenturan dengan elite politik dan militer di Thailand.
Situasi Thailand pada
dekade 1990-an, awal Thaksin berkiprah di politik, menjadi lahan subur
tumbuhnya populisme. Thailand dihantam krisis politik sejak tahun 1991,
disusul krisis ekonomi 1997-1998.
Masyarakat Thailand
merasakan eksploitasi ekonomi, jurang ketidakadilan antara kaya dan miskin,
meningkatnya angka kemiskinan dan pengangguran, serta represi politik melanda
negeri itu. Kehidupan politik lesu, aspirasi mahasiswa dibungkam.
Ekspansi ekonomi yang
dinikmati Thailand sejak Perang Dunia II hingga terjadi krisis ekonomi hanya
menguntungkan segelintir elite dan kelompok warga kaya. Kesenjangan di negeri
itu menjadi salah satu yang terburuk di Asia. Di tengah situasi tersebut
muncullah Thaksin. Sebagai ketua Partai Thai
Rak Thai (Thailand Cinta Thailand/TRT), dia terpilih menjadi Perdana
Menteri pada 2001.
Terdapat tiga faktor
penyebab kemenangan Thaksin dan TRT. Pertama, Thaksin menjanjikan alternatif
dari kebijakan "neoliberalisme" yang dijalankan pemerintahan Partai
Demokrat. Untuk mengatasi krisis ekonomi, Demokrat menerapkan kebijakan
ekonomi liberal, tunduk pada Dana Moneter Internasional (IMF).
Langkah tersebut
dianggap seperti menjual negara. Thaksin menawarkan kebijakan ekonomi yang
lebih nasionalis dengan menekankan pertumbuhan ekonomi.
Kedua, berdasarkan
Konstitusi 1997, Thaksin dan partainya harus membangun keterkaitan dengan
warga daerah pemilihan. Sejak mendirikan TRT, Thaksin mengubah praktik
berpolitik sebuah partai di Thailand. Sebagai pengusaha, ia mempraktikkan
model korporasi untuk merebut "pasar" politik. Ia menawarkan ide
pengurangan angka kemiskinan, moratorium utang petani, pinjaman lunak bagi
komunitas, layanan kesehatan, dan isu-isu lokal lain.
Ketiga, TRT dan
Thaksin menekankan inklusivitas. Di masyarakat yang merasakan ketidakadilan,
ide-ide TRT dan Thaksin yang pro warga miskin pedesaan dirasakan sangat
inovatif dan belum pernah dilakukan pemerintah sebelumnya. Inilah yang
membuat Thaksin populer dan meraup basis dukungan kuat di pedesaan.
Dibenci dan disuka
Ide-ide Thaksin dan
TRT untuk menarik simpati warga miskin pedesaan-terutama di wilayah utara dan
timur laut Thailand-kerap disebut gagasan populisme. Sebelum itu, istilah
"populisme" kurang dikenal dalam kamus politik Thailand. Istilah
tersebut baru digunakan media Barat dan sejumlah akademisi sebagai label atas
kebijakan Thaksin dalam kampanye pemilu, akhir tahun 2000.
Setelah Thaksin
terpilih, akademisi Thailand, Kasian Tejapira, mengadopsi istilah itu dalam
bahasa Thailand menjadi "poppiewlit", kemudian
"prachaniyom". Dengan kata lain, istilah itu diciptakan khusus
untuk menjelaskan Thaksin.
Thaksin dan TRT tidak
terlalu peduli dengan label terminologis tersebut. Bagi Thaksin dan TRT,
fokus mereka adalah merebut simpati warga untuk memenangi pemilu. Saat dia
terpilih menjadi PM, janji kampanye itu dijadikan kebijakan nasional untuk
mengatasi krisis ekonomi.
Seiring meroketnya
popularitas Thaksin, mengalir deras kritik atas kebijakan itu. Bahkan,
perlawanan telah muncul sebelum pemilu. Pada Desember 2000, Komisi
Antikorupsi Nasional (NACC) menyebut Thaksin menyembunyikan aset-asetnya saat
menjadi Wakil PM pada 1997.
Pada 2001, kasus itu
diajukan ke Mahkamah Konstitusi. Namun, Thaksin tetap memenangi pemilu dengan
dukungan 40,6 persen suara dan merebut 248 dari 500 kursi parlemen, terbesar
dalam sejarah Thailand. Menghadapi tekanan hukum, saat itulah Thaksin
memobilisasi pendukungnya untuk pertama kali.
Belum sempat disumpah
sebagai PM, Thaksin kebanjiran kritik dari media arus utama, teknokrat,
lembaga swadaya masyarakat, serta akademisi. Para elite royalis, militer,
intelektual kelas menengah, dan aktivis sayap kanan bergabung dalam aliansi
kelompok penentang populisme Thaksin.
Kebijakan Thaksin
dinilai terlalu mahal, menuntut kenaikan pajak terlalu tinggi, dan sulit
dijangkau negara seperti Thailand. Thaksin dituding arogan dan dituduh
membangun "kultus pribadi".
Ia juga dituding
memecah-belah Thailand serta menyingkirkan elite konservatif. Populisme
dijadikan istilah untuk merujuk pelanggaran politik, terkait nepotisme,
korupsi, dan otoritarianisme, yang hanya menguntungkan TRT, keluarga, dan
kroni.
Analis sosial Sulak
Srivaraksa menyebut pemerintahan Thaksin sebagai "pemerintahan terburuk
yang pernah ada".
Meski diserang dari
sana-sini, kebijakan populis Thaksin terbukti mampu mempercepat pemulihan
ekonomi. Thailand melunasi utang IMF, perekonomian tumbuh kuat, kemiskinan
dan angka pengangguran dikurangi, serta-berdasarkan data-ketidakadilan di
masyarakat menurun.
Bagi kaum miskin
pedesaan, skema bantuan kesehatan, dana desa, moratorium utang petani, dan
lain-lain menjadi penyelamat hidup.
Strategi politik
Thaksin pun menjadi PM
Thailand pertama yang menyelesaikan masa jabatan empat tahun. Dia kembali
memenangi Pemilu 2005 dengan kemenangan telak, 56,4 persen, dan meraih 325
kursi parlemen. Di bawah kepemimpinannya, Thaksin menyatukan kekuatan rakyat
dan demokrasi.
Kemenangan besar pada
Pemilu 2005 menjadi bukti strategi politik dan kebijakan populisme. Thaksin
awalnya enggan menerima label populis. Baru akhir Januari 2001, Thaksin
setengah hati menerima label itu. "Mungkin hanya separuh kebenarannya
bahwa kami mengikuti strategi populis," ujar Thaksin. "Apa pun yang
ingin Anda sebut, ini kebijakan yang saya yakini yang terbaik bagi Thailand."
Namun, hanya
mengandalkan suara rakyat pedesaan membuat posisi Thaksin rentan. Pada 2006,
menyusul unjuk rasa kelompok Aliansi Rakyat untuk Demokrasi (kelompok Kaus
Kuning) yang didukung elite royalis dan kelas menengah, Thaksin pun
digulingkan.
Thaksin menjadi
populis karena tuntutan politik. Bukan atas pilihan pribadi, bukan karena
secara sengaja memilih populisme sebagai strategi politik. Atau dalam kata
lain, pemerintahan populis di Thailand-lah yang menemukan Thaksin dan
mengubahnya menjadi pemimpin populis. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar