Pancasila
dan Islam
Fahruddin Salim ; Dosen; Tenaga Ahli di DPR RI
|
REPUBLIKA, 01 Juni 2015
Pada suatu hari, Nabi Muhammad SAW berdiskusi dengan para
sahabat mengenai sifat rahmah. Beliau memerintahkan para sahabat agar selalu
menjaga sifat ini pada diri mereka serta menjelaskan pentingnya kedudukan
sifat ini dalam Islam. Sebagian sahabat berkata, ''Sesungguhnya kami
menyayangi para istri kami, anak-anak kami, juga keluarga kami.''
Mendengar jawaban dari para sahabatnya itu, Rasulullah tampaknya
belum puas. Penjelasan mereka hanyalah mengimplikasikan sifat rahmah dalam
ruang lingkup yang sangat kecil, padahal beliau menginginkan sifat rahmah itu
lebih universal, lebih luas maknanya. Karena itu, beliau pun melanjutkan,
"Bukan itu yang aku mau. Sesungguhnya yang aku inginkan adalah rahmah
bagi seluruh alam."
Rahmah atau pengasih adalah sifat yang dimiliki oleh Allah SWT
dan juga hamba-hamba-Nya. Apabila kita melihatnya sebagai salah satu sifat
Allah, maka ia memiliki arti sebagai Maha Pemberi dan Maha Kebaikan; dan bila
kita lihat sebagai salah satu sifat manusia, maka ia berarti sifat lemah
lembut dan penuh kasing sayang kepada sesama.
Satu sifat yang sederhana ini ternyata sangat memiliki peran
penting dalam Islam. Simaklah Allah telah menyifati diri-Nya dengan sifat
rahman dan rahim. Lalu, di setiap awal surat di Alquran kita dapati bacaan
Bismillahi-rahmanirrahim yang dengannya diharapkan kita akan selalu mengingat
dan membacanya di setiap awal langkah dan pekerjaan yang akan kita lakukan. Semua
ini membuktikan bahwa Islam adalah agama yang sangat menekankan kasih sayang,
bukan agama kekerasan.
Muslim yang baik adalah yang selalu menjaga sifat ini dan dapat
menebarkan kebaikannya kepada seluruh alam. Dengan demikian, akan terciptalah
apa yang disebut "Islam sebagai rahmah bagi seluruh alam".
Banyak hal yang patut direnungkan dan dicermati dalam kehidupan
kebangsaan dan kenegaraan kita, terutama kita kaitkan dengan hari lahir
Pancasila, 1 Juni, yang banyak diilhami oleh pemikiran para tokoh tokoh
Muslim.
Kehidupan kebangsaan kita sekarang ini masih banyak diwarnai
oleh berbagai sikap yang seolah bertolak belakang dengan sifat rahmah pada
diri warganya. Dari hari ke hari, berbagai rentetan peristiwa yang memilukan,
seperti kekerasan antarpemeluk agama, penutupan tempat ibadah, aksi kekerasan
(terorisme) yang mengatasnamakan agama, kekerasaan antarumat karena perbedaan
pendapat, tindak kekerasan rumah tangga dan kekerasan dalam masyarakat hingga
perilaku korupsi yang mewabah dari pusat hingga daerah.
Bentuk-bentuk sikap tersebut jauh dari mencerminkan sifat
rahmah, sebagaimana menjadi salah satu pesan kenabian tersebut. Fenomena
tersebut tentu saja mengentak kesadaran kita, sebagai sebuah negara yang
mengklaim sebagai negara yang religius, yang menempatkan sila pertama dasar
negara adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Sementara pada sisi lain, ada problem
mendasar yang belum terselesaikan menyangkut penghayatan terhadap agama
sebagai kumpulan doktrin yang mewujud dalam perilaku kehidupan sosial masyarakat.
Sifat rahmah tentu saja mewujud dalam doktrin agama yang harus
menjiwai semua pemeluknya. Maknanya bukan hanya dihayati tetapi juga dalam
level pengamalan setiap hari. Oleh sebab itu, agama sebagai sumber moral dan
etika dalam kehidupan kebangsaan kita akan terasa indah jika sifat rahmah
benar-benar menemukan relevansinya dalam bangunan negara kita yang plural,
baik dari sisi agama, suku, dan adat istiadat.
Sifat rahmah juga harus menemukan relevansinya dalam membimbing
umat Islam sehingga agama (Islam) tidak terjebak pada simbol kekerasan atau
pengikutnya melegalkan cara-cara kekekerasan dalam metode dakwahnya.
Harus diakui bahwa agama pada satu sisi sebagai sumber moral dan
etika sering kali menghadapi tantangan modernitas, yakni sebagai doktrin di
satu pihak akan bersinggungan dengan perilaku para penganut agama yang gagal
atau tidak siap dalam menghadapi modernitas. Oleh sebab itu, pemeluk agama
harus merenungkan arti perubahan sosial yang mereka alami dan merenungkan
perilakunya terhadap situasi baru yang berkembang.
Jika pemeluk agama gagal merespons perubahan sosial yang sangat
cepat, terutama dengan hadirnya paham atau isme-isme baru dalam masyarakat,
baik yang bercorak agama maupun sekuler, bisa membawa penganut agama pada
pemahaman agama yang keliru.
Sekarang ini muncul pemahaman dan paham-paham baru yang
cenderung radikal dan menepikan sifat rahmah, yang bisa membawa sikap-sikap
anggota masyarakat untuk meminggirkan pluralisme dan toleransi dalam
pemikiran dan ibadah keagamaan.
Dengan kata lain, jika pesan agama dalam membawa rahmah
kehilangan pengaruh dan relevansinya dalam kehidupan keseharian, akan mudah
memunculkan konflik dan kekerasan yang mengancam toleransi keberagamaan,
terutama yang dipicu oleh motif tertentu, seperti politik, ekonomi, sosial,
dan kekuasaan.
Peradaban Indonesia yang dibangun di atas landasan ideologi
Pancasila harus selalu disegarkan dan disemai dalam setiap kesempatan agar
kehidupan berbangsa dan bernegara tidak mudah terjerembab dalam pusaran
kekerasan dan pertentangan dalam masyarakat. Indonesia akan tetap tegak jika
UUD 1945 dan Pancasila sebagai filosofi bangsa dipertahankan dan
diimplementasikan dengan sikap beragama yang penuh rahmah.
Pancasila bukanlah agama atau kitab suci tetapi pandangan hidup
bangsa, dan Pancasila adalah hasil dari kesepakatan oleh para pendiri bangsa
ini dalam menentukan arah bangsa dengan roh Islam di dalamnya. Kita
selaraskan sikap hidup beragama kita dengan sikap penuh rahmah agar Indonesia
dengan ideologi Pancasila bisa menjadi tempat bersemayam semua penduduknya
dengan latar belakang yang beragam dalam beragama, bermahzab, bersuku-suku,
dan warna kulit. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar