Rokok
Picu Kemiskinan
Umar Sholahudin ; Dosen Sosiologi Universitas Muhammadiyah
Surabaya
|
REPUBLIKA, 01 Juni 2015
Salah satu persoalan krusial yang dihadapi Indonesia saat ini
adalah masalah kemiskinan. Berdasarkan data BPS 2010, saat ini angka
kemiskinan Indonesia mencapai 32 juta jiwa atau sekitar 16 persen. Menurut
Sekjen ASEAN, Surin Pitsuwan yang menjadi salah satu pembicara dalam sebuah
seminar Asia Pasific Conference on
Tobacco of Health (APACT) di Sydney, Australia, yang berlangsung 2010,
mengatakan, konsumsi tembakau, terutama rokok, memperburuk kemiskinan. Karena
itu, kondisi ini harus menjadi kekhawatiran, terutama negara-negara
berkembang, termasuk Indonesia, sebagai negara pengonsumsi rokok ketiga
terbesar di dunia setelah Cina dan India.
Indikasi besarnya konsumsi rokok pada kelompok masyarakat miskin
juga ditegaskan oleh hasil penelitian Rijo M John, PhD dari American Cancer Society AS, yang
mengatakan, di India konsumsi tembakau meningkatkan angka kemiskinan 1,6
persen di desa dan 0,8 persen di daerah perkotaan serta menambah sekitar 15
juta orang miskin di India. Penelitian lain yang terkait, dari lembaga
Demografi UI, menurut Abdilah Hasan; uang untuk rokok sembilan kali
pengeluaran pendidikan dan 15 kali pengeluaran kesehatan. Data dan fakta ini
semakin menguatkan, masyarakat miskin sebagai kelompok terbesar dalam
konsumsi rokok. Dan konsumsi rokok di kalangan masyarakat miskin semakin
memperburuk kemiskinan mereka.
Konsumsi rokok kaum miskin
Secara kasat mata, jika kita melihat kehidupan masyarakat
miskin, maka kita tidak terlalu sulit menemukan para kepala keluarga miskin
(gakin) mengonsumsi rokok. Bahkan, di kalangan masyarakat miskin, rokok
dianggap sebagai "obat stres" dari impitan kemiskinan. Kepala
keluarga miskin lebih mengutamakan kebutuhan "isap asap" daripada
memberikan konsumsi gizi yang baik bagi anak-anaknya. Karena itu, tak
mengherankan jika keluarga miskin identik dengan gizi buruk. Bagaimana mau
memperbaiki kesehatan anak dan gakin, jika salah satu anggotanya masih
menjadi perokok aktif.
Menurut Sekjen Komnas Perlindungan Anak, Arist Merdeka Sirait,
dari angka kematian balita sebesar 162 ribu per tahun sesuai data Unicef
2006, konsumsi rokok pada gakin telah menyumbang 32.400 kematian setiap tahun
atau hampir 90 kematian balita per hari. Hal ini ditegaskan dengan survei
tahun 1999-2003 yang menemukan, pada lebih dari 175 ribu gakin perkotaan di
Indonesia yang di survei, tiga dari empat keluarga (73,8 persen) adalah
perokok aktif.
Sementara itu, hasil riset Studi Demografi UI menyebutkan,
banyak rumah tangga termiskin atau berpenghasilan rendah yang terperangkap
konsumsi rokok; sebanyak 7 dari 10 rumah tangga di Indonesia (hampir 70
persen) memiliki pengeluaran untuk membeli rokok. Sedangkan, 6 dari 10 rumah
tangga termiskin (57 persen) memiliki pengeluaran untuk membeli rokok.
Studi sejenis tahun 2002-2003 pada lebih dari 360 ribu rumah
tangga miskin perkotaan dan perdesaan membuktikan, kematian bayi dan balita
lebih tinggi pada keluarga dengan orang tua merokok daripada tidak merokok.
Kerugian yang diderita anak akibat merokok tidak hanya permasalaan
malnutrisi. Ketika mereka beranjak remaja, kembali rokok menjadi suatu pokok
persoalan yang mendera mereka karena mereka menjadi target sasaran iklan
rokok.
Perilaku merokok pada sebuah keluarga miskin mengakibatkan gizi
buruk pada anak karena orang tua lebih mengutamakan membeli rokok dibanding
membeli beras, telur, ikan, dan makanan bergizi lainnya. Belanja rokok telah
menggeser kebutuhan terhadap makanan bergizi yang esensial untuk tumbuh
kembang anak balita.
Tingginya angka balita yang bergizi buruk tentunya akan
berpotensi meningkatkan angka kematian balita. Dalam hal angka kematian bayi,
Indonesia (31/1.000 kelahiran) hanya lebih baik dibandingkan dengan Kamboja
(97/1.000) dan Laos (82/1.000). Jika dibandingkan dengan negara-negara lain,
kita masih tertinggal. Singapura dan Malaysia memiliki angka kematian bayi
amat rendah, masing-masing 3 dan 7 per 1.000 kelahiran. Ini menunjukkan
besarnya perhatian negara itu terhadap masalah gizi dan kesehatan yang dihadapi
anak-anak.
Sinergi dengan program kesehatan
Melihat fakta di atas, sudah saatnya program penanggulangan
kemiskinan harus disinergikan dengan pengurangan konsumsi rokok pada kelurga
miskin. Program penyadaran kepada maskin untuk berhenti merokok harus terus
digalakkan dan dikampanyekan. Memang tidak mudah mengubah kebiasaan merokok
di kalangan masyarakat miskin. Apalagi bagi perokok dari gakin yang
menganggap rokok sebagai alat penghilang stres. Menghilangkan konsumsi rokok
pada keluarga miskin tentu saja tidak sekadar melalui penyadaran dan kampanye
yang masif.
Dalam kajian sosiologi hukum, mengubah kebiasaan buruk
masyarakat tidak sekadar dilakukan melalui pidato dan kampanye, tapi harus
diperkuat dengan adanya regulasi. Dalam konteks ini, mengubah kebiasaan
merokok dan mengurangi angka kemiskinan harus didukung dengan kebijakan yang
memungkinkan gakin bisa berhenti merokok. Salah satunya dengan tidak
memberikan kartu Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) atau Jamkesda.
Kebijakan tersebut sudah dilakukan DKI Jakarta, di mana Dinas
Kesehatan DKI Jakarta telah memasukkan satu syarat tambahan bagi gakin
penerima kartu Jamkesda. Kartu Jamkesda hanya diberikan kepada gakin
nonperokok. Pemberian kartu Jamkesda bagi gakin perokok hanya akan memperburuk
kualitas kemiskinan mereka. Tambahan syarat ini cukup beralasan karena
semakin meningkatnya gakin yang kepala rumah tangganya adalah perokok. Karena
itu, kebijakan Dinas Kesehatan DKI Jakarta tersebut patut didukung dan perlu
diadopsi oleh provinsi lain di Indonesia.
Tepat sasaran
Pemerintah provinsi di Indonesia, saya pikir, perlu mengadopsi
kebijakan DKI Jakarta. Sehingga pemanfaatan kartu Jamkesda akan lebih tepat
sasaran dan lebih produktif. Pemberian kartu Jamkesda yang diberikan kepada
Gakin tanpa persyaratan nonperokok akan kontraproduktif dengan upaya
pemerintah dalam memperbaiki dan meningkatkan kualitas kesehatan dan
kehidupan gakin.
Peningkatan kualitas kesehatan, terutama perbaikan gizi buruk
gakin melalui pemanfaatan kartu Jamkesda harus didukung dengan kesadaran para
orang tua untuk tidak menghancurkannya, yakni dengan mengonsumsi rokok. Para
orang tua gakin perlu diberikan pemahaman yang baik bahwa konsumsi rokok yang
tinggi akan berakibat buruk pada kesehatan anak dan keluarganya. Jamkesmas
yang diberikan gakin akan sia-sia belaka jika masih ada para orang tua gakin
yang menjadi perokok aktif. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar